Era Baru: Sebuah Kantor Berita

Posted by : wartaidaman 16/05/2025

 

WARTAIDAMAN.com 

 

Oleh: Yons Achmad
(Praktisi media. CEO Brandstory.id)

 

Louis Bloom, seorang pekerja serabutan, tepatnya seorang pengangguran. Suatu ketika, dia mengamati seorang jurnalis lapangan yang sedang bekerja. Meliput sebuah berita kecelakaan di Los Angeles. Ia mengamati bagaimana sang jurnalis itu bekerja, memotret dan merekam situasi. Terjadi perbincangan antar mereka, Lou bertanya, apakah pekerjaan itu bisa dapat menghasilkan uang? Dijawabnya, bisa.

Tanpa pikir panjang, karena tuntutan ekonomi yang semakin menghimpitnya, Lou mencoba peruntungan menjadi seorang jurnalis. Dia mulai bekerja dengan peralatan sederhana. Karena merasa peralatan tak cukup, ia sampai menjual barang-barang yang dipunyainya untuk membeli peralatan yang lebih memadai seperti kamera dan pernak-perniknya.

Dia punya kemampuan teknis yang luar biasa dan kerja keras yang luar biasa pula. Selalu berusaha menjadi yang terdepan dan tercepat di lokasi kejadian saat ada peristiwa-peristiwa yang penting. Ia kemudian merekam, mengemasnya menjadi sebuah tayangan tanpa sensor, karya videonya dipublikasikan dan bahkan diantaranya dibeli secara eksklusif oleh industri televisi arus utama (mainstream). Ia sukses. Tapi, satu hal yang dilupakannya, dia tidak punya “Ilmu Jurnalisme” yang cukup. Akibatnya, banyak melanggar beragam kode etik jurnalistik.

Sepenggal kisah di atas, adalah cerita dari Louis Bloom dalam film “Nightcrawler” dengan Jake Gyllenhaal, sebagai pemeran utama. Film yang sudah agak lama saya tonton, tapi masih terngiang diingatan. Saya kira, dalam konteks yang agak berbeda, relevan dengan kondisi sekarang. Banyak orang yang punya kemampuan teknis merekam dengan kamera, mengeditnya dengan canggih dan menayangkannya begitu saja di berbagai platform media sosial. Dapat uang? Sangat mungkin.

Tapi itu bukan jurnalisme, bukan produk jurnalistik.

Produk jurnalistik sendiri, bisa berupa berita (news), opini (views) yang disiarkan oleh sebuah industri media. Layaknya sebuah industri media, jelas nama medianya, jelas nama-nama redaksinya dan jelas alamat (kantor) medianya. Lebih bagus lagi, tentu terdaftar dan terverifikasi sebagai industri media (pers) di Dewan Pers. Untuk menghasilkan karya jurnalitik yang bermutu, tentu SDM di dalamnya, terutama wartawan (jurnalisnya), punya pengetahuan ilmu jurnalistik dan kode etik jurnalistik yang cukup (memadai).

Kalau persyaratan di atas dipenuhi, bolehlah bangga menyebut pers sebagai pilar demokrasi. Layaknya sebuah industri pers, kapan dan di manapun harus independen. Tak boleh diintervensi pemerintah, kepentingan bisnis (korporasi), kelompok kepentingan (semisal ormas) juga oleh individu (personal).

Sebagai pilar keempat demokrasi, pers bukan hanya sebagai watchdog yang berperan mengawasi, mengevaluasi dan mengingatkan kinerja, mengawasi dan memberi kritikan terhadap siapapun yang memimpin lembaga legislatif, eksekutif dan lembaga-lembaga yang terkait penegakan hukum. Tetapi media juga perlu mengangkat atau merespons isu yang berkembang di dalam masyarakat baik terkait ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan.

Meski selalu dituntut independen, media sebenarnya wajar memiliki orientasi tertentu atau keberpihakan selama orientasi atau keberpihakan tersebut masih dalam koridor kepentingan publik. Artinya untuk kepentingan masyarakat, kinerja-kinerja media masih mengawal kepentingan publik. Hal itu bisa dilakukan media entah dalam rangka mengkritisi atau bahkan memberikan masukan pada lingkar kekuasaan eksekutif, legislatif dan lembaga-lembaga penegak hukum.

Kini, di tengah perkembangan platform digital dan media sosial, media tetap dituntut profesional dalam membuat cover boothside, melakukan verifikasi, mencerna dan menyaring informasi hingga menghasilkan sebuah sumber berita yang dipercaya (kredibel). Berita-berita yang mencerdaskan, mendidik, dan mencerahkan. Sebuah peran yang tentu saja sungguh mulia.

Walaupun kehadiran pers begitu penting, nyatanya, kini banyak industri media baik radio, televisi dan koran cetak berguguran. Banyak faktor yang membuatnya begitu. Kali ini, saya tak akan bahas penyebabnya. Saya, malah menyebut kondisi demikian sebagai momentum “Era Baru: Sebuah Kantor Berita”.

Sebuah industustri media, sebuah kantor berita yang masih memungkinkan dijalankan era sekarang adalah kantor berita berbasis media online. Dengen bendera PT apapun namanya di mana industri medianya punya izin, terdaftar dan terverifikasi di Dewan Pers plus punya punggawa jurnalis tersertifikasi Dewan Pers. Jadilan industri media itu dijalankan.

Saya kira, industri media berbasis media online inilah yang saat ini masih cukup terjangkau untuk didirikan dan dijalankan. Cukup dimulai dengan tim tak lebih dari 10 orang saja bisa. Memang, persaingan di industri media online sangat ketat. Satu-satunya jalan untuk bisa bersaing adalah kreativitas konten. Mulai dari memadukan unsur teks, audio, video sampai mengintegrasikan dengan trend terbaru yaitu media yang didukung dengan “Podcast”. Juga yang terpenting, bisa menemukan “model bisnis” yang tepat untuk tetap bisa menjalankan roda perusahaan, dengan menyeimbangkan antara “kepercayaan publik” dan “bisnis”.

Hanya saja, walaupun dalam versi online (digital), tetap perlu juga dengarkan kata “senior”, seperti ujaran seorang Ryszard Kapuściński, seorang jurnalis kelahiran Belarus, “Good journalism is not about speed, but about understanding.” Di mana, jurnalisme memang bukan sekadar kecepatan, tapi tentang pemahaman. Ia, tak sekadar menghadirkan fakta-fakta dengan cepat, tapi juga menghadirkan makna setiap peristiwa. Era Baru (Sebuah Kantor Berita), perlu menghadirkan wajah jurnalisme semacam ini. []

 

 

*edvj/ pjmi gl/ wi/ nf/ 160525

Views: 14

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *