
WARTAIDAMAN.com
Oleh: [Update Nusantara]
31 Mei 2025
Dalam era digital saat ini, medan perang tidak hanya terletak di tanah yang disengketakan, tetapi juga dalam algoritma dan moderasi platform media sosial. Meta—perusahaan induk Facebook dan Instagram—berada di pusat tudingan keras selama lima tahun terakhir karena diduga secara sistematis menyensor konten pro-Palestina. Dugaan ini bukan sekadar asumsi publik, tetapi didukung oleh laporan organisasi hak asasi manusia dan investigasi media internasional.
Sejak serangan Israel ke Gaza pada Mei 2021, aktivis, jurnalis, dan warga biasa melaporkan bahwa unggahan mereka yang menyoroti penderitaan rakyat Palestina dihapus tanpa penjelasan yang memadai. Meta berdalih ada “kesalahan teknis”, namun pola berulang yang terjadi setiap kali konflik memanas menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini benar-benar soal teknis, atau politis?
Laporan dari Human Rights Watch dan organisasi 7amleh memperkuat kekhawatiran ini. Pada 2023, investigasi The Intercept mengungkap adanya jalur komunikasi langsung antara Meta dan pemerintah Israel untuk menghapus konten secara cepat. Hasilnya, lebih dari 65.000 insiden sensor tercatat pada tahun itu saja. Tahun 2024 mencatat rekor baru—lebih dari 90.000 kasus, menjadikan Meta sebagai platform dengan tingkat pembungkaman suara Palestina tertinggi.
Puncaknya datang pada April 2025, ketika RT Arabic melaporkan bahwa 94% konten pro-Palestina dihapus atas permintaan entitas Israel. Angka ini memang belum diverifikasi secara independen, namun konsistensi laporan dari tahun-tahun sebelumnya membuat kita tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Yang paling mencemaskan adalah bahwa sebagian besar konten yang dihapus ditandai sebagai “terorisme” atau “penghasutan”—dua label yang begitu fleksibel sehingga mudah disalahgunakan. Padahal, banyak dari konten tersebut berupa dokumentasi lapangan, pendapat aktivis HAM, hingga ekspresi solidaritas damai dari warga dunia.
Apakah Meta sedang menjaga “standar komunitas” atau sedang menjalankan sensor selektif atas dasar tekanan politik?
Sebagai platform global, Meta memiliki kekuatan yang luar biasa dalam membentuk opini publik. Namun kekuatan itu datang dengan tanggung jawab. Ketika suara dari wilayah yang tertindas justru dibungkam, maka media sosial telah gagal menjalankan perannya sebagai ruang bebas berekspresi.
Meta perlu lebih dari sekadar revisi algoritma. Diperlukan transparansi total, audit independen, dan pengakuan bahwa kebijakan moderasi tidak boleh berpihak dalam konflik geopolitik. Jika tidak, maka “komunitas global” yang dibangun Meta tidak lain hanyalah ilusi—tempat di mana suara yang tidak nyaman bagi kekuasaan akan selalu dimatikan.
⸻
Catatan: Artikel ini ditulis untuk memberikan sudut pandang kritis terhadap praktik penyensoran konten digital, berdasarkan laporan dan data yang tersedia secara publik. Penulis tidak mewakili institusi atau organisasi manapun.
sumber : FB UPDATE NUSANTARA
*mdp/ pjmi/ wi/ nf/ 010625
Views: 36