
WARTAIDAMAN.com
Setelah UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta muncul tahun 2012, Garebeg Sawal, Garebeg Besar, dan Garebeg Mulud berjalan dengan tata cara yang sama. Keraton mengeluarkan lima macam gunungan pada tiap Garebeg. Gunungan atau Pareden tersebut dibawa ke Masjid Gedhe, Kepatihan menujuhan, dan Pura Pakualaman. Selain Hajad Dalem Pareden, terdapat dua acara lain yang dapat disaksikan oleh wisatawan, yaitu Gladhiresik Prajurit dan Numplak Wajik.
Gladhiresik Prajurit biasa dilaksanakan sore hari pada hari Minggu terdekat sebelum Garebeg berlangsung. Gladhiresik ini adalah latihan terakhir sebelum para prajurit mengawali gunungan saat Garebeg berlangsung. Kesepuluh Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta akan bernyanyi sambil memainkan gendhing keprajuritan masing-masing dari Pracimasana (di sisi barat Pagelaran), melalui Jalan Rotowijayan, berbelok memasuki Plataran Kamandhungan Lor, naik ke Sitihinggil Lor, lalu lurus ke Alun-Alun Utara melewati Bangsal Pagelaran. Di Alun-Alun utara mereka tegang dan berdiri mengapit jalan antara Pagelaran dan Ringin Kurung (Kiai Dewatadaru dan Kiai Wijayadaru). Setelah itu, bregada prajurit kembali ke Pracimasana. Selama gladhiresik berlangsung, Prajurit Keraton Yogyakarta belum mengenakan seragam kesatuannya. Seluruh kesatuannya mengenakan busana pranakan.
Numplak Wajik dilaksanakan tiga hari sebelum Garebeg di Panti Pareden, Plataran Kemagangan. Upacara ini menandai dimulainya proses merangkai gunungan. Numplak Wajik dilaksanakan sore hari selepas waktu Ashar, sekitar pukul 15.30 WIB.
Istilah Numplak Wajik mengacu pada kegiatan upacara tersebut. Sebakul wajik, kue dari ketan yang direbus dengan gula merah dan santan kelapa, ditumplak (dituan) untuk dijadikan pondasi Gunungan Wadon. Gejog lesung, musik dari bunyi lesung yang dipukul dengan alu, dimainkan selama upacara berlangsung. Saat upacara usai, lulur berwarna kuning pucat yang terbuat dari dlingo dan bengle dibagikan kepada Abdi Dalem maupun pengunjung yang hadir. Gejog lesung dan lulur dlingo bengle tersebut dipercaya sebagai penolak bala.
Keraton Yogyakarta mengeluarkan tiga Gunungan Kakung, satu Gunungan Estri, satu Gunungan Darat, satu Gunungan Gepak, dan satu Gunungan Pawuhan pada tiap Garebeg. Pagi-pagi sekali, semua gunungan tersebut sudah disiapkan di emper Bangsal Pancaniti, Plataran Kamandhungan Lor atau yang biasa dikenal Plataran Keben.
Sekitar pukul 08.00, delapan Bregada Prajurit Keraton Yogyakarta keluar dari Pracimasana dengan urutan Bregada Wirabraja, Bregada Dhaeng, Bregada Patangpuluh, Bregada Jagakarya, Bregada Prawiratama, Bregada Nyutra, dan Bregada Ketanggung. Mereka mengambil rute melewati Jalan Rotowijayan ke selatan menuju Plataran Kemagangan, lalu ke utara memasuki Plataran Kedhaton, terus melewati Plataran Srimanganti, untuk selanjutnya ke Plataran Kamandhungan Lor, dan naik ke Sitihinggil Lor. Di Plataran Kamandhungan Lor telah bersiap dua bregada prajurit keraton yang bertugas mengawal gunungan ke Masjid Gedhe dan Kepatihan, yaitu Bregada Surakarsa dan Bregada Bugis. Selain kedua bregada tersebut, hadir pula dua bregada dari Pakualaman, yaitu Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir. Dari sana, gunungan digotong oleh narakarya (tenaga angkut) yang mendapat tugas secara bergilir dari daerah-daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gunungan tersebut digotong melewati Sitihinggil Lor, turun ke Pagelaran, lalu keluar menuju Alun-Alun Utara. Delapan prajurit bregada muncul lebih dulu dengan urutan yang sama ketika keluar dari Pracimasana. Satu persatu prajurit dari delapan bregada tersebut mengambil posisi mengapit jalan yang membelah Alun-Alun Utara. Setelah seluruh prajurit menempati posisi masing-masing dan diinspeksi oleh Manggalayuda (Panglima), barulah gunungan dan rombongan yang menyertainya dibawa keluar.
Saat gunungan memasuki alun-alun, prajurit keraton memberikan penghormatan dengan tembakan salvo. Prosesi pertama dikawal oleh Bregada Surakarsa. Prosesi tersebut membawa satu Gunungan Kakung, Gunungan Estri, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, dan Gunungan Pawuhan. Di depan gunungan tersebut dibawa satu buah picisan dan dua buah songgom. Picisan adalah koin-koin timah yang dirangkai menjadi seperti bunga, sedang songgom adalah rangkaian janur kuning. Keduanya berfungsi sebagai hiasan.
Rombongan pertama yang menuju Masjid Gedhe berbelok ke barat sebelum mencapai Ringin Kurung di tengah alun-alun. Di halaman Masjid Gedhe, gunungan diserahkan kepada penghulu masjid. Gunungan-gunungan yang diletakkan di halaman masjid tersebut kemudian didoakan. Setelah doa selesai, barulah masyarakat diperkenankan mengambil bagian-bagian gunungan yang ada.
Prosesi kedua membawa satu Gunungan Kakung menuju Pura Pakualam. Setelah keluar dari Pagelaran, Prosesi yang dikawal oleh Bregada Lombok Abang dan Bregada Plangkir tersebut berjalan lurus ke utara lalu berbelok ke timur di perempatan titik nol kilometer.
Prosesi ketiga membawa satu Gunungan Kakung menuju Kepatihan. Prosesi yang dikawal oleh Bregada Bugis ini berjalan terus ke utara menuju Kepatihan yang terletak di sisi timur Jalan Malioboro.
Setelah semua keluar dari keraton, delapan bregada yang berjaga di alun-alun kembali bersiap memasuki Pagelaran, kemudian naik ke Sitihinggil Lor, masuk ke Plataran Kamandhungan Lor, berbelok ke barat ke Jalan Rotowijayan, lalu kembali ke Pracimasana. Dengan dibagikannya seluruh gunungan kepada masyarakat, maka berakhirlah upacara Garebeg.
Tata cara ini memiliki pengecualian pada Garebeg Mulud Dal yang terjadi delapan tahun sekali. Pada saat itu, keraton mengeluarkan satu gunungan tambahan, yaitu Gunungan Bromo. Gunungan Bromo diangkut bersama gunungan yang lain ke halaman Masjid Gedhe. Setelah didoakan, Gunungan Bromo dibawa kembali masuk keraton dan disebarkan pada kerabat Sultan dan bupati nayaka di depan Gedhong Jene, Plataran Kedhaton.
sumber: Keraton Jogjakarta
*riha/ wi/ nf/ 010625
Views: 12