
WARTAIDAMAN.com
Banjarbaru – Isak tangis pecah di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru, Selasa sore (17/6/2025).
Suasana yang semula tegang berubah menjadi penuh haru, ketika majelis hakim membacakan putusan perkara Syarifah Hayana, Ketua Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan.
Majelis hakim menyatakan Syarifah bersalah, namun tidak harus menjalani hukuman penjara. Ia dijatuhi hukuman satu tahun pidana penjara dengan masa percobaan dua tahun. Artinya, Syarifah tidak akan masuk bui selama dua tahun ke depan—selama tidak melakukan pelanggaran hukum lainnya.
Tangis keluarga, sahabat, dan pendukungnya pecah. Beberapa memeluk satu sama lain, beberapa lainnya menunduk tak kuasa menahan isak.
Bagi mereka, ini adalah vonis yang separuh melegakan, separuh menyakitkan.
Yang membuat semuanya terasa lebih pilu, adalah kenyataan bahwa proses hukum ini terjadi di saat panggung Pilkada sebenarnya sudah selesai.
Bahkan, Wali Kota Banjarbaru terpilih telah mengajak seluruh warga untuk bersatu kembali.
“Pilkada telah usai, Pilkada telah berakhir, mari kita merajut kembali, bersatu menyudahi perselisihan,” ucap sang Wali Kota dalam pidato pertama kemenangannya.
Namun, kenyataan di ruang sidang memperlihatkan sebaliknya. Ajakan tersebut itu seakan tak didengar. Proses hukum tetap bergulir. Ketegangan belum sepenuhnya reda.
Bayang-bayang politik elektoral masih menyelimuti Banjarbaru.
Tak lama usai sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Banjarbaru langsung bereaksi. “Pada intinya kita sebagai JPU pasti akan melaporkan dulu ke Sentral Gakkumdu terkait putusannya gimana,” ujar seorang jaksa.
Setelah berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari unsur kejaksaan, kepolisian, dan Bawaslu, diputuskan: langkah banding akan ditempuh.
Ini menandakan bahwa drama hukum belum benar-benar berakhir.
Meski vonis telah dijatuhkan, kini bola panas berpindah ke Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin.
Meski luput dari jeruji besi, beban psikologis Syarifah tetap besar. Selama dua tahun ke depan, ia harus berjalan di atas tali tipis bernama masa percobaan.
Satu kesalahan bisa membuatnya menjalani hukuman yang sebelumnya ditangguhkan.
“Ini bukan kemenangan, ini semacam penangguhan penderitaan,” ujar seorang pendukungnya dengan mata sembab.
Bagi Syarifah, putusan ini menjadi jalan dua sisi. Di satu sisi ia tidak harus mendekam di penjara. Tapi di sisi lain, masa percobaan dua tahun tetap menjadi beban psikologis dan sosial yang tak ringan. Setiap langkahnya kini berada di bawah pengawasan, dan bayang-bayang proses hukum masih terus membayangi.
“Ini seperti menang setengah hati,” ujar seorang kerabatnya sambil menghapus air mata. “Kami bersyukur, tapi kami juga masih cemas.”
Syarifah sendiri tak banyak bicara. Ia hanya tersenyum tipis dan memeluk erat anaknya usai sidang.
Tak ada selebrasi, hanya diam yang panjang—seperti seseorang yang tahu badai belum benar-benar berlalu.
Kasus Syarifah menjadi simbol kompleksitas demokrasi Banjarbaru.
Bukan hanya tentang pidana pemilu, tapi juga bagaimana figur perempuan vokal dalam pengawasan demokrasi bisa menjadi target dari dinamika hukum dan politik yang tak selalu hitam putih.
Para aktivis lokal menganggap vonis ini berbahaya jika dimaknai sebagai preseden kriminalisasi terhadap kontrol masyarakat atas proses pemilu.
Tapi pihak kejaksaan melihatnya sebagai konsekuensi atas pelanggaran hukum.
Wali Kota sudah mengajak semua pihak untuk bersatu. Tapi di lapangan, langkah hukum masih diperdebatkan.
Narasi rekonsiliasi belum sepenuhnya menjadi kenyataan.
Sore itu, ruang sidang menjadi saksi dari ketegangan dua kutub: harapan akan keadilan dan kenyataan bahwa perpecahan politik masih membekas.
Dan di tengah semua itu, Syarifah Hayana berdiri sebagai simbol—dari seseorang yang tak menyerah, tapi juga belum benar-benar bebas.
Kini, semua mata tertuju pada Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin. Di sana, banding yang diajukan JPU akan diuji kembali.
Putusan baru akan menjadi penentu akhir: apakah masa percobaan tetap dipertahankan, ditingkatkan menjadi hukuman penjara, atau bahkan dibatalkan sama sekali.
Sementara itu, masyarakat Banjarbaru dan para penggiat demokrasi menanti dengan napas tertahan.
Proses hukum belum selesai, tetapi pada sore yang penuh haru itu, tangis di ruang sidang telah berbicara lebih banyak daripada seribu kata: tentang harapan, tentang ketakutan, dan tentang harga keadilan.
Oleh: GMPD Banjarbaru/ 20 Juni 2025
Views: 6