
WARTAIDAMAN.com
Banjarbaru, Kalimantan Selatan
– Pagi itu, Senin, 2 Desember 2024, udara Banjarbaru masih diselimuti embun tipis. Di tengah barisan ratusan massa yang mulai memadati depan Gedung DPRD Kota Banjarbaru, tampak seorang pria berjalan perlahan.
Punggungnya sedikit membungkuk, kedua tangannya menggenggam erat sepasang kruk alumunium. Dialah Mursalin—sosok yang hari itu hadir bukan sekadar sebagai warga, tapi sebagai simbol perjuangan di tengah keterbatasan.
Ketika sebagian orang memilih mengamati dari kejauhan, Mursalin menempuh langkah beratnya menyusuri trotoar, menyatu dengan deru suara massa yang menuntut keadilan atas hasil Pilkada Banjarbaru 2024.
“Ini bukan soal siapa yang menang Pilkada, tetapi kami tidak mau suara kami dianggap tidak sah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ucap Mursalin saat ditemui di tengah aksi.
Ucapannya sederhana, namun mewakili kekecewaan mendalam ribuan pemilih.
Pilkada Banjarbaru 2024 menjadi peristiwa politik yang tak biasa.
Saat pesta demokrasi tinggal hitungan hari, pasangan calon nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin – Said Abdullah, didiskualifikasi oleh KPU Banjarbaru. Diskualifikasi ini dilatarbelakangi dugaan pelanggaran menjelang pelaksanaan pemungutan suara.
Dengan waktu yang terlalu mepet, KPU Banjarbaru tidak sempat mencetak ulang surat suara, sehingga nama paslon nomor 2 tetap tertera dalam bilik suara.
Secara hukum, hanya satu paslon yang sah: Erna Lisa Halaby – Wartono. Namun, hasil di lapangan menunjukkan realitas yang bertolak belakang.
Tabulasi perhitungan dari Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi Banjarbaru mengungkap bahwa justru pasangan yang telah didiskualifikasi itu meraih suara hingga 70 persen.
Rakyat Banjarbaru, dalam diamnya, menyuarakan penolakan melalui kertas suara.
Apa yang terjadi kemudian adalah kegelisahan yang meluas. Warga mempertanyakan integritas penyelenggaraan Pilkada.
Mereka merasa aspirasinya dipatahkan secara prosedural. Dan dari kegelisahan itulah, ratusan orang—termasuk Mursalin—turun ke jalan.
Bagi Mursalin, ikut turun ke jalan bukanlah hal mudah. Ia mengalami gangguan pada kakinya sejak beberapa tahun terakhir akibat kecelakaan.
Geraknya terbatas, namun tekadnya tak terbendung. “Saya tidak bisa berjalan cepat, tapi saya tidak ingin tertinggal dalam menyuarakan keadilan,” katanya sambil menghela napas.
Di tengah barisan demonstran, ia bukan hanya peserta, tapi simbol—bahwa demokrasi adalah milik semua orang, termasuk mereka yang seringkali dianggap berada di pinggiran sistem.
Mursalin adalah wajah dari rakyat biasa yang menolak tunduk pada keputusan yang dianggap tidak mewakili kehendak suara terbanyak.
Aksi demonstrasi ini menjadi titik kulminasi dari ketegangan pasca Pilkada. Spanduk besar bertuliskan “Lawan Sampai Tumbangkan Tirani” dibentangkan di depan Gedung DPRD, diiringi orasi dan yel-yel. Warga menuntut agar suara mayoritas yang memilih paslon yang didiskualifikasi tidak dianggap gugur begitu saja.
Mereka ingin pemilu ulang, atau minimal kejelasan dan keadilan yang berpihak pada rakyat, bukan semata prosedur kaku.
“Kalau semua ini dibiarkan, lalu untuk apa kami datang ke TPS? Untuk apa kami memilih?” tanya Mursalin, yang merasa bahwa hak suaranya diperlakukan seperti angka yang tak bermakna.
Kisah Mursalin adalah kisah tentang keberanian sipil. Tentang seseorang yang tak membiarkan keterbatasan fisik menghalanginya dalam memperjuangkan haknya sebagai warga negara.
Tentang bagaimana demokrasi tidak hanya dijaga oleh suara mayoritas di TPS, tetapi oleh kesadaran warga biasa yang tidak mau tinggal diam ketika haknya dikebiri.
Hari itu, Mursalin tidak hanya membawa kruk sebagai alat bantu berjalan, tapi juga sebagai simbol: bahwa siapa pun, dari latar belakang apapun, bisa menjadi bagian dari perjuangan menjaga nyala demokrasi tetap hidup di Banjarbaru.
Oleh: GMPD Banjarbaru/ 20 Juni 2025
Views: 6