
WARTAIDAMAN.com
Setiap tahun, ribuan calon jamaah haji dari seluruh dunia berbondong-bondong menuju Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. Ibadah haji bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga simbol dari ketundukan total kepada Allah, kedisiplinan, dan kebersamaan dalam umat Islam.
Namun, nilai-nilai luhur ini tak harus menunggu usia dewasa untuk diajarkan. Salah satu langkah strategis untuk menanamkannya sejak dini adalah melalui kegiatan manasik haji di tingkat Sekolah Dasar, khususnya bagi siswa kelas 5.
Kegiatan manasik haji di sekolah seringkali dianggap sebatas simulasi ibadah. Padahal, jika dikemas dengan baik, kegiatan ini dapat menjadi ruang edukasi multidimensional: spiritual, sosial, bahkan emosional. Bayangkan anak-anak usia 10–11 tahun mengenakan kain ihram, berjalan bersama dalam barisan teratur, melafalkan niat, thawaf mengelilingi replika Ka’bah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah buatan, lalu melempar jumrah dengan kerikil simbolik. Ini bukan sekadar “bermain peran”, melainkan latihan konkret menumbuhkan nilai-nilai luhur yang selama ini hanya mereka pelajari secara teoritis.
Secara pedagogis, manasik haji adalah bentuk pembelajaran kontekstual dan holistik. Anak-anak belajar bukan hanya melalui buku, tapi dengan mengalami langsung bagaimana tata cara ibadah dilakukan. Aktivitas ini melatih daya ingat, pemahaman, bahkan empati. Mereka jadi tahu betapa sulitnya ibadah haji, dan mengapa butuh kesiapan fisik, mental, dan spiritual. Dalam waktu bersamaan, mereka juga belajar untuk saling membantu, bersabar dalam antrean, serta menjaga kekompakan dan kebersihan.
Selain itu, manasik haji juga menjadi ruang pembentukan karakter keislaman yang kuat. Nilai-nilai kesederhanaan, ketaatan, keikhlasan, dan persaudaraan antar sesama muslim terasa nyata dalam kegiatan ini. Bagi sebagian siswa, ini bisa jadi momen pertama mereka merasakan indahnya ukhuwah dan makna ibadah yang bukan hanya “menghapal rukun”, tetapi benar-benar meresap di hati.
Sayangnya, masih ada sekolah yang memandang kegiatan manasik sekadar formalitas tahunan atau tuntutan kurikulum. Akibatnya, pelaksanaannya minim makna. Tidak ada pembimbing yang menjelaskan hikmah di balik setiap rukun haji, atau refleksi setelah kegiatan usai. Padahal, momen ini sangat berharga untuk dijadikan titik tolak pendidikan karakter Islami yang berkelanjutan.
Sudah saatnya sekolah dan orang tua bersinergi untuk menjadikan kegiatan manasik haji sebagai investasi nilai spiritual jangka panjang. Tidak hanya dipersiapkan secara seremonial, tetapi juga secara substansial. Guru-guru perlu membekali diri dengan pemahaman mendalam tentang filosofi haji agar bisa menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dicerna siswa. Sementara orang tua, bisa memperkuat pemahaman anak di rumah dengan mengaitkan manasik ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan pendekatan yang tepat, kegiatan manasik haji bukan hanya menjadi rutinitas tahunan sekolah, tetapi bisa menjadi pengalaman religius yang membekas seumur hidup. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pendidikan keislaman seperti ini menjadi oase yang menyejukkan dan membentuk generasi muslim yang cerdas secara spiritual, emosional, dan sosial.
Semoga bermanfaat !
*Kyai Juwahir GPAI SDN Makasar 01 Pagi / Ketua Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama Islam ( KKG PAI ) Jakarta Timur II/ Ketua NU Desa Ciangsana
*anwi/ pjmi/ wi/ nf/ 220625
Views: 29