
WARTAIDAMAN.com
Jakarta, 1 Juli 2025 — Dalam semangat peringatan Hari Bhayangkara ke-79, bangsa ini dihadapkan pada satu pertanyaan fundamental: Apakah kepercayaan rakyat yang perlahan tumbuh akan dijaga dengan kesungguhan, atau justru direduksi menjadi seremonial belaka?
Kepercayaan publik bukanlah warisan, melainkan amanat yang lahir dari pengalaman panjang — penuh gejolak, luka, dan pembelajaran. Dalam beberapa tahun terakhir, ekspektasi terhadap Polri sebagai alat negara semakin tinggi. Harapan ini tumbuh seiring dengan sensitivitas nurani publik yang kian terasah. Rakyat, dengan mata hatinya, mudah mengenali ketika idealisme mulai bergeser menjadi kepentingan, ketika pengabdian berubah menjadi komoditas kekuasaan.
Sebagai garda depan dalam penegakan hukum, Polri dituntut untuk terus meneguhkan komitmennya pada nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya. Kepemimpinan yang dibangun di atas pondasi pengabdian mesti disertai dengan semangat kolektif, budaya patuh terhadap etika profesi, dan penghayatan terhadap kehormatan sebagai pelindung rakyat, bukan pengabdi kekuasaan.
Kehadiran Presiden Prabowo dengan visi Polisi Masa Depan — yang telah digagas sejak 2015 melalui pidato “Good Cop, Bad Cop” di Lembang, dan kemudian dituangkan dalam karya “Kado untuk Presiden” — menjadi penanda penting akan arah transformasi institusi Polri. Instruksi ini bukan sekadar wacana, tetapi seruan tegas untuk memperkuat posisi Polri sebagai alat negara yang bekerja dalam koridor hukum dan bukan menjadi perpanjangan tangan kepentingan pragmatis.
Dalam konteks itu, dua hal utama perlu segera diwujudkan:
1. Transformasi Ideal POLRI: Menata ulang paradigma institusi sebagai alat negara yang netral, profesional, dan tunduk pada supremasi hukum serta kepemimpinan nasional — bukan sekadar pelengkap kekuasaan yang temporer.
2. Reaktualisasi Semangat Tribrata dan Catur Prasetya: Memastikan bahwa setiap insan Bhayangkara — dari pucuk pimpinan hingga lini terbawah — bekerja berdasarkan dedikasi, bukan sekadar formalitas. Profesionalitas, integritas, dan keberanian untuk menolak budaya narsisme struktural harus menjadi roh baru dalam setiap pengambilan keputusan.
Kami di Komite Pendukung dan Pengawas Presisi Polri (KP3 POLRI) mendukung penuh upaya transformasi ini. Namun, kami juga akan terus menjaga agar prosesnya tidak disusupi oleh praktik-praktik manipulatif yang dibalut dengan narasi kosmetik. Reformasi bukan hanya soal struktur, tetapi juga kultur.
Salam Presisi. Salam ProDemokrasi.
ADE ADRIANSYAH UTAMA, SH, MH, SIP
Direktur Eksekutif
Komite Pendukung dan Pengawas Presisi Polri (KP3 POLRI)
Pengamat Kepolisian & Aktivis ProDemokrasi
*anwi/ pjmi/ wi/ nf/ 010725
Views: 37