
WARTAIDAMAN.com
Oleh : Ismail Fahmi
Founder Drone Emprit dan PT Media Kernels Indonesia
Bukan fiksi. Ini kenyataan. Disinformasi hari ini tidak lagi sekadar menyebabkan kesalahpahaman — ia menyebabkan kematian nyata. Ribuan, bahkan jutaan orang, kehilangan nyawa karena percaya pada informasi yang salah: bahwa vaksin membunuh, bahwa virus adalah konspirasi, bahwa air garam menyembuhkan COVID-19.
Dr. Eckart von Hirschhausen, seorang dokter, jurnalis sains, dan pendiri Foundation GECM, menyampaikan di Global Media Forum 2025:
> “Disinformasi bukan sekadar tantangan komunikasi. Ia adalah darurat medis.”
Dan ketika kita terus menganggapnya remeh, kita sedang berjalan dengan sadar menuju bencana berikutnya — tidak hanya epidemi penyakit, tetapi epidemi ketidakpercayaan.
1. Disinformasi menyebabkan kematian—secara langsung
Selama pandemi COVID-19, jutaan orang di seluruh dunia menolak vaksin atau perawatan medis karena percaya pada narasi yang menyesatkan. Di Amerika Serikat saja, lebih dari 1 juta orang meninggal karena COVID-19, dan menurut data yang dikutip Eckart, sekitar 12% dari angka itu diperkirakan terjadi akibat disinformasi. Itu berarti lebih dari 120.000 kematian yang sebenarnya bisa dicegah — seandainya mereka mendapatkan informasi yang benar.
Contohnya?
Seseorang yang percaya bahwa virus itu hoaks memilih untuk tidak mengisolasi diri. Seorang ibu hamil menolak vaksin karena takut menjadi mandul, hasil dari video viral TikTok. Seseorang minum cairan disinfektan karena mendengar pejabat publik mengisyaratkannya di konferensi pers. Semua ini bukan anekdot — ini realitas tragis.
> “Ada orang yang percaya saya menyarankan obat tertentu padahal saya tidak pernah mengatakannya. Tapi wajah saya digunakan untuk menjualnya.” – Eckart von Hirschhausen
2. Media dan algoritma memperparah krisis
Media arus utama masih terjebak dalam mitos “keseimbangan”—menyediakan ruang debat antara ilmuwan dan tokoh yang tak punya basis sains, seolah keduanya setara. Ini menciptakan ilusi 50:50, padahal realitasnya jauh dari itu.
> “Jika 98 dari 100 ilmuwan mendukung satu posisi, dan dua lainnya ragu, lalu media menghadirkan satu dari tiap sisi, publik akan mengira ini debat terbuka. Padahal, itu bukan.” – Eckart
Di sisi lain, platform digital seperti YouTube, Facebook, dan TikTok menjadi ladang subur penyebaran disinformasi. Algoritma memprioritaskan keterlibatan, bukan kebenaran. Semakin mengejutkan dan emosional kontennya, semakin tinggi jangkauannya.
> “Kita tidak bisa bertarung melawan disinformasi dengan fakta saja, karena fakta tidak viral.” – Eckart
3. Kepercayaan publik menjadi korban utama
Disinformasi tidak hanya membunuh individu. Ia melumpuhkan masyarakat.
Kepercayaan pada institusi kesehatan, ilmu pengetahuan, bahkan demokrasi mulai terkikis. Dalam sesi tersebut, Eckart menyebut bahwa di beberapa negara Eropa, kepercayaan terhadap tenaga medis dan jurnalis terus menurun, karena warga dibombardir dengan pesan yang saling bertentangan.
Dan siapa yang paling rentan?
> “Orang tua, yang mempercayai saya sebagai dokter dan jurnalis, menjadi sasaran empuk. Wajah saya digunakan dalam iklan palsu. Saya merasa tidak berdaya.” – Eckart
Disinformasi hari ini adalah senjata pemusnah massal yang disamarkan sebagai opini pribadi. Dan kita terlalu sering memperlakukannya sebagai hiburan atau ‘sisi lain dari argumen’.
Kita harus berhenti bermain-main.
Sebagai jurnalis, pendidik, pembuat kebijakan, dan warga negara, kita punya kewajiban untuk:
Melindungi ruang informasi publik dari kebohongan berbahaya
Mendorong platform digital bertanggung jawab terhadap algoritma mereka
Meningkatkan literasi informasi dan sains secara massif, khususnya di kalangan muda dan lansia
Mengakhiri “false balance” di media—fakta tidak butuh lawan tanding jika lawannya adalah kebohongan
Seperti yang diingatkan Eckart, sains bukan dogma. Ia berubah, berkembang, dan memperbaiki dirinya sendiri. Tetapi ketika sains dilawan dengan manipulasi sistematis, maka kita sedang mempercepat kehancuran bersama.
Jika kita tidak bertindak sekarang, akan tiba saat di mana bukan hanya pasien yang mati karena disinformasi, tapi seluruh masyarakat.
> “Kita tidak sedang berhadapan dengan pendapat berbeda. Kita sedang berhadapan dengan kebohongan yang mematikan.” – Dr. Eckart von Hirschhausen
IF/AI
*ha9000/ wi/ nf/ 100725
Views: 47