
Dr.H.M.Suaidi,M.Ag.
Berorentasi,Pernyataan Menteri Agama RI. Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar (dalam Tempo.co., 06/08/2025) tentang perlunya pendekatan kurikulum berbasis cinta menjadi tawaran visioner yang melampaui sekadar kebijakan administratif. Ia mengusulkan agar pendidikan agama tidak lagi berpusat pada principle of negation (penekanan pada perbedaan) melainkan beralih ke principle of identity, yaitu pengakuan atas kesamaan sebagai sesama anak bangsa dan sesama makhluk ciptaan. Kurikulum ini dirancang untuk menanamkan empati, penghargaan atas martabat manusia, dan semangat belas kasih sebagai prinsip hidup beragama, bukan sekadar pengetahuan formal.
Gagasan ini sejalan dengan pandangan Islam tentang dialog antar Agama sebagaimana diuraikan oleh Dr. Salih bin Humaid melalui karyanya “The Islamic View of Dialogue with The Other Dalam Islam, dialog bukan sekadar alat diplomasi, melainkan ekspresi dari nilai-nilai tauhid yang mengakui keragaman sebagai kehendak Allah SWT. QS. Al-Hujurat: 13.
يايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم ان الله عليم خبير .
bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal, bukan saling meniadakan. Dialog dalam Islam bertujuan menyampaikan pesan dengan hikmah, membangun koeksistensi damai, dan menolak kekerasan dalam urusan keyakinan. Etika dialog menuntut kejujuran intelektual, penghormatan terhadap keyakinan lain, dan penolakan terhadap debat yang merendahkan.
Prof. Dr. K.H.Nasaruddin Umar mengedepankan kembali konsep ukhuwah makhlukiyah untuk memperluas cakrawala spiritual kita. Ukhuwah makhlukiyah adalah konsep persaudaraan yang melampaui batas manusia dan agama, mencakup seluruh makhluk ciptaan Allah SWT (manusia, hewan, tumbuhan, bahkan unsur alam semesta). Dalam pandangan nya .
Konsep ini mengajak kita untuk memperluas cakrawala persaudaraan: dari sesama manusia (اخوة البشرية), sesama bangsa (اخوة الوطنية), sesama umat beriman (اخوة الاسلامية), hingga sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Jika direnungkan lebih dalam maka dapat dikatakan bahwa konsep ini merupakan sebuah spiritualitas yang menyatukan cinta, ekologi, dan etika dalam satu napas.
Karena itu, kurikulum berbasis cinta bukan sekadar silabus, melainkan cara hidup. Ia mengajarkan bahwa empati lebih penting daripada dogma, bahwa belas kasih lebih kuat daripada klaim kebenaran tunggal. Dalam dialog antaragama, kurikulum ini menjadi jembatan spiritual yang menghubungkan tradisi, bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk saling memperkaya pemahaman.
*anwi/ wi/ nf/ 140825
Views: 22