NILAI LUHUR PENDIDIKAN YANG DIKALAHKAN OLEH SYAHWAT POLITIK POPULIS

Posted by : wartaidaman 19/08/2025

 

WARTAIDAMAN.com   

 

 

Oleh: H. J. FAISAL*

 

Peningkatan Kualitas Pendidikan Atau Peningkatan Popularitas?

Senin pagi ini, di hari libur cuti bersama hari kemerdekaan, saya mengisi waktu luang saya untuk membuka beberapa laman portal online berita nasional. Ditemani secangkir kopi manis sedang, dan sedikit camilan, saya scroll portal berita tersebut satu per satu.

Seperti biasa, untuk berita-berita tentang mereka yang mengaku dirinya sebagai ‘artis’, selebgram atau influencer, pasti saya lewatkan, karena menurut saya berita-berita tersebut tidak ada nilai moralnya, dan sangat sangat sangat tidak penting.

Kemudian ada juga berita tentang hakim dan jaksa yang disuap dalam perkara kasus Skin Care palsu, yang melibatkan selebritas papan atas negeri ini. Aahh….ini juga sudah biasa.

Menjijikkan memang, di negeri yang katanya sudah beradab, tetapi sesungguhnya masih bi-adab seperti ini, pejabat dan penguasa negara yang koruptif, kolutif, hipokratif (munafik), dan terseret skandal asmara haram, memang sudah menjadi tipikalnya. Sebab bagi mereka, gaji halal yang mereka terima, tidak akan pernah cukup untuk membiayai gaya hidup haram mereka.

Ya, inilah resikonya jika kita telah ditakdirkan hidup di negeri yang dikaruniakan kekayaan alam yang luar biasa, tetapi kita sebagai rakyatnya masih sangat lemah dalam penggunaan akal sehatnya.

Baik, saya lanjut. Kemudian saya scroll kembali portal-portal berita tersebut.

Akhirnya saya temukan sebuah berita menarik yang sesuai dengan bidang keahlian saya, yaitu pendidikan, ekonomi, dan sosial. Berita yang dituliskan dalam laman Tempo.co per tanggal 18 Agustus 2025 tersebut, berisi tentang nominal anggaran pendidikan tahun anggaran negara 2025/2026 ini.

Dalam berita tersebut dituliskan bahwa pada Sidang Tahunan MPR bersama DPR dan DPD, Presiden Prabowo mengatakan bahwa pemerintah telah mengalokasikan Rp 757,8 triliun untuk sektor pendidikan dalam APBN 2026. Jumlah tersebut disebut dianggap telah memenuhi ketentuan mandatory spending yakni 20 persen dari total APBN di tahun tersebut.

Presiden juga mengklaim alokasi pendidikan di masa pemerintahannya merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Menurut dia, peningkatan anggaran ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih bermutu.

Namun yang mengejutkan adalah ketika secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merincikan peruntukan anggaran pendidikan pada RAPBN 2026. Berdasarkan data yang ditampilkan dalam konferensi pers Jumat, 15 Agustus 2025, sebesar 44,2 persen dari total anggara pendidikan itu dialokasikan untuk kegiatan Makan Bergizi Gratis (MBG), yaitu sebanyak Rp 335 triliun.

Ini yang membuat saya sedikit bingung, karena amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 juncto Undang-Undang Dasar Amandemen 2002, merujuk Pasal 31, menyebutkan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar, dan tentu saja, tidak ada perintah makan gratis dalam konstitusi kita tersebut.

Jika kita melihat angka seperti itu, Rp757, 8 triliun untuk pendidikan, lalu Rp335 triliun dialokasikan untuk makan siang gratis, saya rasa wajar saja jika banyak pihak yang bertanya-tanya….apakah anggaran ini benar-benar untuk prioritas pendidikan, atau justru hanya cara rezim penguasa untuk menyelamatkan ‘muka’ mereka atas janji-janji bombastis mereka ketika berkampanye dulu?

Entahlah……

Pertanyaan yang muncul kemudian di dalam pemikiran saya yang sederhana ini adalah…. Bukankah anggaran pendidikan seharusnya menyasar untuk peningkatan kualitas guru, fasilitas sekolah, kurikulum, akses teknologi, dan beasiswa, yang kesemuanya Itu inti dari praktek mencerdaskan bangsa?

Makan bergizi gratis, meski terdengar politis, dan mempunyai argumen sosial, yaitu dianggap dapat mengatasi stunting, meningkatkan kehadiran siswa, dan membantu keluarga miskin. Tetapi… 44% dari total anggaran pendidikan? Saya rasa itu bukanlah angka nominal yang kecil.

Menurut saya, itu bukanlah sekadar tambahan, tetapi lebih merupakan sebuah dominasi yang dipaksakan untuk tujuan tersembunyi tertentu.

Pertanyaan galau saya berikutnya adalah, jika makan bergizi gratis menghabiskan hampir separuh anggaran, bagaimana nasib program literasi, pelatihan guru, dan pembangunan sekolah di daerah tertinggal di negeri ini?

Meskipun program seperti ini mudah dijual secara politis dan menjadi populis, tetapi menurut saya justru dapat mengaburkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu dari mencerdaskan anak bangsa, menjadi mengenyangkan anak bangsa di siang hari, karena memang belum ada studi atau penelitian dampak jangka panjang dari program makan bergizi gratis ini terhadap prestasi akademik siswa.

Seandainya nominal sebesar Rp335 trilliun itu benar-benar digunakan secara efektif tanpa dikorupsi atau ‘diakal-akali’, saya yakin akan terbangun puluhan ribu sekolah baru, puluhan ribu perbaikan sarana pendidikan di seluruh Indonesia, akan terbeli jutaan lap top yang dapat dibagikan secara gratis kepada siswa Indonesia, akan terbaginya beasiswa secara merata dan adil kepada jutaan siswa miskin, dan akan terbentuk ratusan ribu perpustakaan keliling sampai pelosok negeri, guna mencerdaskan anak-anak bangsa, bahkan sekolah-sekolah di pelosok negeri ini akan dapat menimati akses internet gratis. Dan saya yakin, program makan bergizi gratis pun akan tetap dapat dilakukan.

Atau seandainya jika nominal sebesar Rp335 trilliun tersebut dibelikan cendol, maka saya juga yakin negeri ini akan berenang cendol, sehingga seluruh rakyat ini akan dapat menikmati cendol yang segar dan manis.

Indonesia 80 Tahun, Tetapi Masih Bingung dan Cemas Mau ke Mana

Indonesia genap berusia 80 tahun. Usia yang seharusnya matang, bijak, dan tahu arah hidupnya. Tetapi justru di usia ini, negeri kita seperti anak muda yang baru lulus kuliah….penuh semangat, tapi bingung mau kerja di mana.

Di tengah pesta rakyat, parade budaya, dan kembang api di istana negara tanggal 17 Agustus kemarin, kita disuguhi mimpi besar, yaitu Indonesia Emas 2045. Sebuah visi yang katanya akan membawa kita menjadi negara maju, berdaulat, dan sejahtera. Tetapi seperti cendol yang disajikan tanpa sendok, kita bingung cara menikmatinya.

Pemerintah lewat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 sudah menyusun peta jalan menuju Indonesia Emas. Tetapi peta tersebut hanya penuh jargon tentang transformasi ekonomi, indeks modal manusia, ekonomi hijau, dan digitalisasi.

Rakyat kecil seperti saya dan anda pasti hanya bisa bertanya, “Itu artinya kita bakal dapat kerja tetap atau tidak?”

Salah satu indikator utama menuju Indonesia Emas adalah peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tahun 2024, IPM Indonesia mencapai 75,02. Naik, tapi masih jauh dari target Human Capital Index 0,73 yang dicanangkan Bappenas. Artinya, kita masih belum cukup sehat, belum cukup pintar dan cerdas, dan belum cukup sejahtera.

Tetapi lucunya, di tengah upaya meningkatkan IPM, kita justru mengalokasikan Rp335 triliun dari anggaran pendidikan untuk makan siang gratis. Seolah-olah nasi dan lauk bisa langsung menaikkan angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah.

Dalam konfrensi pers tersebut, Menkeu Sri Mulyani juga sudah mengingatkan bahwa anggaran harus digunakan secara efektif dan akuntabel. Tetapi entah kenapa, efektivitas kini diukur dari jumlah piring yang dibagikan, bukan dari jumlah anak yang lulus dengan kompetensi abad 21.

Indonesia Emas 2045 menargetkan pendapatan per kapita USD 23.000–30.300. Tetapi kalau anak-anak kita lebih sibuk antre makan daripada belajar coding, bagaimana kita bisa bersaing dengan negara-negara lain yang sudah melatih Artificial Intelligent anak-anak mereka sejak Taman Kanak-kanak?

Rasio Gini (rasio kesenjangan pendapatan) ditargetkan turun ke 0,29–0,32. Tetapi jika anggaran pendidikan lebih banyak untuk makan daripada belajar, ketimpangan justru bisa makin lebar. Anak kaya belajar di sekolah internasional, anak miskin antre belajar di sekolah rakyat miskin.

Pemerintah ingin Indonesia masuk 15 besar Global Power Index. Tetapi kekuatan sejati bukan dari parade militer saja, melainkan dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dan SDM itu dibentuk di ruang kelas, di ranah pendidikan, bukan di ruang makan.

Di usia ke-80, Indonesia seharusnya sudah tahu bahwa pendidikan bukan sekadar soal hadir di sekolah, tetapi soal apa yang dipelajari, bagaimana diajarkan, dan bagaimana hasilnya diukur. Tetapi yang terjadi saat ini Adalah, kita masih sibuk debat….Makan dulu atau belajar dulu?

Pemerintah, dengan semangat yang katanya pro-rakyat, memutuskan bahwa perut kenyang adalah jalan pintas menuju kecerdasan. Maka lahirlah program makan bergizi gratis, yang konon akan menyelamatkan generasi dari stunting, kemiskinan, dan kebodohan. Tapi apakah benar begitu?

Jika kita memang serius menuju Indonesia Emas, maka indikatornya harus jelas, yaitu rata-rata lama sekolah naik, angka partisipasi pendidikan tinggi meningkat, literasi digital merata, dan kualitas guru meningkat. Bukan sekadar jumlah nasi kotak yang dibagikan.

Jika hanya makan bergizi gratis yang diutamakan, maka saya yakin bahwasanya sekolah-sekolah Indonesia akan berubah fungsi. Dari tempat belajar menjadi kantin raksasa. Guru-guru tidak lagi sibuk menyusun RPP, tetapi sibuk menghitung porsi ayam dan tahu. Kepala sekolah tidak lagi mengurus kurikulum, tetapi lebih mengurus tender catering di sekolahnya.

Di ruang kelas, anak-anak kini lebih antusias menunggu jam makan daripada jam pelajaran. Matematika terasa hambar dibandingkan aroma ayam goreng atau telur rebus. Bahasa Indonesia juga pasti akan kalah saing dengan suara sendok dan garpu.

Sementara itu, di pelosok negeri, masih banyak sekolah yang dindingnya bolong, lantainya tanah, dan gurunya datang sebulan sekali. Jika siswa-siswanya ingin datang belajar ke sekolah mereka nun jauh terpencil, maka mereka pun harus menerobos hutan, mendaki gunung, lewati lembah, dan menyeberangi lautan, persis seperti ‘Sang Ninja Hatori’.

Tetapi tidak apa, sebab bagi rezim yang berkuasa sekarang, selama ada makan bergizi gratis, semua dianggap beres. Karena bagi mereka, kenyang adalah indikator keberhasilan pendidikan versi baru.

Tentu saja tulisan ini bukan untuk meremehkan makan bergizi gratis. Tetapi untuk mengingatkan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang. Dan investasi itu tidak dapat dibayar hanya dengan potongan ayam goreng kecil, sayur hambar, telur rebus, dan kerupuk.

Di usianya yang ke-80 ini, sebenarnya Indonesia punya kesempatan emas untuk introspeksi. Apakah kita benar-benar sedang membangun masa depan, atau hanya sedang mengemas masa kini agar terlihat manis?

Jadi, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mendoakan para pahlawan bangsa yang telah gugur mengorbankan harta dan jiwa mereka. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka, agar bangsa ini dapat merdeka sepenuhnya, tidak menjadi budak kepentingan asing, atau tidak merelakan diri untuk selalu diperbudak.

Masa depan Indonesia Emas 2045 sejatinya harus dibangun dengan ilmu, etos kerja, dan visi yang jelas. Sebab kalau tidak, kita akan terus berenang dalam lautan cendol, tanpa tahu ke mana arah arusnya.

Sebenarnya saya juga yakin, jika seandainya Ki Hajar Dewantara masih hidup, mungkin beliau akan menggeleng pelan sambil menyeruput cendol.

Bukan karena cendolnya enak, tetapi karena pastinya beliau akan bingung…….mengapa nilai-nilai luhur pendidikan yang dulu dia perjuangkan demi harga diri bangsa, kini malah disajikan dalam bentuk menu makan siang, bukan dalam bentuk ilmu pengetahuan?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 18 Agustus 2025

 

 

*Dosen Prodi PAI, dan Pascasarjana UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pimpinan Lembaga Nizhamia Learning Center (NLC)/ Anggota Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia

Views: 51

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *