
Gambar: Di rumah duka Prof DR Bambang Cipto MA.
WARTAIDAMAN.com
Begitu mendapat beasiswa S2 di UGM Jogja, maka saya pun menabung gaji saya untuk dapat berangkat haji. Selama menempuh pendidikan S2, bersama istri yang juga sudah terlebih dahulu mendapatkan beasiswa S2, dan membawa anak-anak kami hidup di Jogja, dengan dana beasiswa.
Hidup di Jogja serba murah, apalagi istri saya suka belanja ke pasar dan masak sendiri untuk keperluan keluarga. Tentu saja dana beasiswa itu cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga di Jogja. Alhamdulillah.
Dua tahun kuliah di Jogja tabungan gaji saya, Insya Allah cukup untuk berangkat ke tanah suci dalam rangka menjalankan ibadah haji. Tetapi pada saya sudah berketetapan hati ingin berangkat haji, tiba-tiba istri saya ingin ikut berangkat haji juga. Dengan begitu kami menunda keberangkatan haji, menunggu istri saya menabung. Begitu tabungan istri saya sudah dirasa cukup, maka kami pun mendaftar haji berdua, suami istri.
Saat itu kami bersemangat mau berangkat haji. Pulanglah kami ke Jawa di Idul Fitri sekalian minta doa kepada keluarga di kampung, karena kami berdua merantau di Riau. Mbak Dhaniek tinggal dan bekerja di Jakarta dan Mas Bambang tinggal dan bekerja di Jogja.
Saat kami berjumpa Rahimahullah Mbak Dhaniek dan Mas Bambang Cipto, mereka berdua tidak bercerita kalau mau berangkat haji juga.
Tahu-tahu Mbak Dhaniek dengan suaminya justru berangkat lebih dulu, bahkan bukan dengan haji reguler.
Begitu juga Mas Bambang Cipto sudah di tanah suci dengan gelombang pertama. Jadi ke Madinah dulu.
Kami berangkat ke tanah suci termasuk gelombang ke dua kloter terakhir, jadi langsung ke Mekah.
Mbak Dhaniek dan suaminya mencari kami di maktab.
Saya jalan-jalan mencari Maktab Mas Bambang Cipto. Kebetulan saya mendapat info kalau jemaah haji DIY banyak di Misfalah. Di salah satu hotel di Misfalah saya bertemu dengan Mas Bambang Cipto. Masya Allah.
Tetapi sesungguhnya itu pertemuan yang membahagiakan yang bercampur dengan kesedihan.
Saya temukan Mas Bambang Cipto tidur di lorong antara kamar-kamar. Beliau sakit batuk, tidak tahan terkena AC.
Akhirnya kami semua bertemu di tanah suci. Suatu hal yang bahkan sulit terjadi di tanah air.
Alhamdulillah.
Saat Kembali Jumpa di Tanah Air
Mas Bambang Cipto cerita kalau saat di Musdhalifah setelah ambil batu untuk melempar jumrah, dia kembali ke tikarnya.
Maksudnya mau minum obat batuk, lalu tidur.
Tiba-tiba botol obat batuknya jatuh, menimpa Al Qur’an.
Botolnya pecah, obat batuknya tumpah semua. Al Qur’annya basah.
Pada saat sedang kebingungan, tiba-tiba terdengar ada suara teman memanggil,”mas Bambang sudah dapat batu?”
“Sudah.”
“Sinilah, bantu mbah mbah yang belum dapat batu.” Seru temannya.
Mas Bambang pun pergi membantu mencari batu untuk mbah mbah teman hajinya.
Tetapi Mas Bambang terkejut, saat dia sampai di tikarnya lagi.
Tampak oleh Mas Bambang botol obat batuknya utuh dan obat batuknya masih ada.
Sementara Al Qur’annya masih basah dengan obat batuk yang tadi tumpah.
Masya Allah Baarakallah.
Beberapa tahun kemudian setelah pulang haji, Mas Bambang dikukuhkan sebagai Profesor, bahkan kemudian juga terpilih sebagai Rektor.
Berbuat baik kepada orang lain saat diri menerima musibah ternyata kadang justru mendapat balasan nikmat Allah Ta’ala, yang tak terduga dari yang kita pikirkan.
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 240825
Views: 48