SIAPA KORUPTOR YANG MAU DILINDAS BAN MOBIL RANTIS APARAT? HAYOO…MARI MARI SINI

Posted by : wartaidaman 11/09/2025

 

WARTAIDAMAN.com   

 

 

Supaya Langsung Mati Dan Hartanya Bisa Dirampas Negara

Oleh: H. J. FAISAL*

Mas Menteri….Riwayatmu Kini

Pada 4 September 2025, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook. Dia langsung ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk kepentingan penyidikan selama 20 hari.

Kasus ini disebut merugikan negara hampir Rp2 triliun, dan penyidik telah memeriksa lebih dari 120 saksi serta 4 ahli sebelum menetapkan Nadiem sebagai tersangka. ‘Mas Menteri’ diduga mengarahkan pengadaan agar mengarah ke produk tertentu, yakni Chromebook, yang merupakan produk Google.

Situasi ini tentu memicu berbagai reaksi publik, terutama mengingat peran besar Nadiem dalam transformasi pendidikan digital di Indonesia.

Jabatan publik ternyata memang lebih ditentukan oleh koneksi politik daripada kompetensi teknis. Dalam kasus Nadiem Makarim, latar belakangnya sebagai pengusaha teknologi memang sempat menimbulkan pro dan kontra saat dia ditunjuk sebagai Mendikbudristek. Ada yang melihatnya sebagai angin segar, ada pula yang menilai dia kurang memahami akar persoalan pendidikan nasional.

Menariknya, banyak kebijakan yang dia dorong, seperti Merdeka Belajar dan digitalisasi sekolah sekarang dipertanyakan kembali….apakah itu murni demi kemajuan pendidikan, atau ada kepentingan bisnis di baliknya?

Jadi, penagkapannya dengan status tersangka koruptor tidak perlu kita hubungkan dampaknya dengan psikologi pendidikan Indonesia ya, karena y aitu tadi….dia itu bukan ahli pendidikan, dan hanya beruntung saja dapat memimpin kementrian pendidikan Indonesia.

Gaya Baru Cara Lama

Ya, inti dari praktik korupsi yang sudah lama jadi penyakit kronis di birokrasi kita, yaitu mark-up pengadaan dengan bungkus “modernisasi” atau “transformasi digital.”

Yang bikin makin rumit, alibinya sekarang jauh lebih canggih, pakai narasi inovasi, kemitraan global, dan jargon teknologi yang sulit dibantah secara awam.

Titipan proyek dari berbagai pejabat, termasuk yang menjadi isu sensitif. Banyak pengamat menyoroti bahwa proyek besar seperti ini jarang murni teknokratis. Ada “jatah” yang dibagi ke berbagai pihak, dari vendor sampai elite politik. Bahkan jaksa pun, bisa tergoda kalau tidak punya integritas kuat—karena nilai proyeknya fantastis dan jaringannya luas.

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, korupsi bukan lagi penyakit, tetapi sudah menjadi gaya hidup. Seperti kopi pagi bagi pejabat, atau rokok bagi pengusaha proyek. Nikmat, candu, dan kalau sudah kecanduan, sulit sembuh kecuali lewat satu cara….dilindas ban mobil rantis polisi.

Koruptor di negeri ini bukan sembarang maling. Mereka berdasi, berjas, dan kadang berpidato soal integritas sambil menyelipkan amplop di balik meja. Mereka bukan takut hukum, mereka takut miskin.

Korupsi memang mirip candu, karena intinya bukan cuma soal uang, tapi soal kuasa, gaya hidup, dan rasa kebal hukum. Kalau mentalnya sudah rusak, bahkan sistem yang paling ketat pun bisa ditembus. Seperti yang sering saya tuliskan, “kesempatan bisa diciptakan” dan itu yang bikin korupsi makin licin dan susah diberantas.

Sayangnya, banyak pejabat yang justru merasa makin tinggi jabatan, makin besar peluang “main proyek.” Padahal, makin tinggi jabatan harusnya makin besar tanggung jawab moral.

Seperti ‘Mas Menteri’…. seorang menteri muda, lulusan luar negeri, CEO startup, yang katanya membawa angin segar. Tetapi ternyata angin itu bau markup. Chromebook jadi senjata, bukan untuk belajar, tetapi untuk mengisi kantong.

Ketika jaksa mengetuk pintu, sang menteri tidak melawan. Ia patuh, sopan, bahkan tersenyum. Mungkin karena tahu, di negeri ini, koruptor yang kooperatif bisa dapat diskon hukuman.

Publik bersorak, tetapi juga sinis. “Cepat banget ditangkap,” kata mereka. “Pasti sudah ada deal.” Tetapi siapa peduli? Yang penting satu koruptor masuk bui, meski jaringannya masih bebas berkeliaran di ruang rapat dan grup WhatsApp.

Maka, rasanya tidaklah aneh jika mendengar ada lagi pejabat sekelas menteri di negeri ini yang tertangkap karena korupsi.

Bagaimanapun, saya salut dengan Nadiem Makarim, dia telah berhasil menunjukkan bahwa dia adalah koruptor yang baik dan penurut.

Artinya jaksa agung dan penyidik tidak perlu waktu lama untuk menguak kasus megakorupsi ini.

Di tengah banyaknya kasus korupsi yang berlarut-larut, publik sering merasa frustrasi karena proses hukum bisa sangat lambat, penuh drama, atau bahkan berujung antiklimaks. Jadi ketika ada kasus besar seperti ini yang langsung “meledak” dan cepat ditangani, wajar kalau muncul reaksi campuran, yaitu antara lega, sinis, dan skeptis.

Kalau Nadiem memang kooperatif dan tidak berbelit-belit dalam proses penyidikan, itu bisa jadi dua hal yang dapat terbaca oleh publik, yaitu strategi bertahan Nadiem, dengan bersikap patuh, dia mungkin berharap hukuman lebih ringan atau perlindungan politik. Dan kedua, tanda bahwa bukti sudah sangat kuat,sehingga melawan pun percuma.

Bahwa ketika korupsi sudah menyentuh lingkar kekuasaan tertinggi, harapan akan transparansi dan keadilan sering kali terasa semu. Istilah “ternak buzzer” pun bukan sekadar sindiran, karena itu mencerminkan bagaimana opini publik bisa dikendalikan, dibelokkan, bahkan dibungkam lewat mesin propaganda digital.

Lalu bagaimana dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset? Sudah 17 tahun jadi wacana. Lebih tua dari anak SMA yang sekarang bingung kenapa laptop sekolahnya lemot.

DPR bilang masih dikaji, padahal yang dikaji bukan pasal, tetapi siapa yang bakal kena duluan.

Sistem pengadaan barang? Sudah direformasi berkali-kali. Tetapi koruptor selalu lebih kreatif. Kalau tidak bisa lewat pintu, mereka masuk lewat jendela. Kalau jendela ditutup, mereka buat lubang di lantai.

Mental pejabat? Jangan tanya. Mereka bisa bicara soal nasionalisme sambil transfer dana ke rekening luar negeri. Bisa selfie di acara antikorupsi sambil negosiasi fee proyek.

Dan buzzer? Mereka bukan cuma ternak, mereka sudah jadi pasukan. Siap membela tuan mereka dengan narasi, memei, dan ancaman. Pemeliharanya pun aman, selama ternak ini masih diberi makan.

Tetapi publik tak bodoh. Mereka tahu, korupsi tak akan hilang dengan seminar. Tidak akan lenyap dengan stiker “Saya Anti Korupsi.”

Harus ada yang dilindas. Harus ada yang mati.

Korupsi Tidak Takut, Tetapi Mati Kok Takut?

Hukuman mati? Banyak yang bilang melanggar HAM. Tetapi rakyat bertanya balik: “Korupsi itu HAM siapa?” Anak putus sekolah, pendidikan mahal, biaya kesehatan mahal, pasien gagal operasi, jalan rusak, fasilitas umum tidak terawat, pajak melambung seperti roket….semua itu adalah korban korupsi.

China sudah eksekusi koruptor. Iran sudah menggantung koruptor. Vietnam sudah tembak mati koruptor. Korea Utara sudah mengumpankan koruptor ke kolam Buaya.

Alhamdulillah, di Indonesia masih saja berdebat tentang dilemma hukuman mati. Padahal satu eksekusi bisa bikin seribu pejabat gemetar.

Mengapa demikian? Karena pastinya mereka yakin betul jika malaikat Munkar dan Nakir penjaga kubur tidak akan pernah bisa disuap.

Bayangkan jika satu koruptor dilindas ban rantis Polisi atau rantis Tentara. Bukan karena rakyat dendam, tetapi karena keadilan. Biar hartanya langsung disita, agar rakyat tahu bahwa negara ini serius memberantas korupsi.

Jadi, siapa koruptor pertama yang mau dilindas? Jangan tunjuk orang lain dulu. Lihat daftar proyek, lihat daftar vendor, lihat daftar transfer.

Dan kalau para koruptor masih tertawa membaca ini, selamat. Kalian masih punya harapan. Karena di negeri ini, tawa adalah satu-satunya cara bertahan dari kenyataan.

Kalau Rakyat Biasa Bisa Mati Karena Gas Air Mata, Kenapa Koruptor Tidak Bisa Mati Karena Hukum?

Affan Kurniawan bukan koruptor. Dia bukan pejabat, bukan pengusaha proyek, bukan pemilik saham di startup unicorn. Dia hanya anak muda yang berdiri di tengah jalan, mencari rezeki yang halal.

Tetapi aparat penegak hukum tidak peduli. Da mati dilindas secepat itu, tanpa markup, tanpa tender, tanpa revisi anggaran.

Korban gas air mata lainnya juga bukan koruptor. Mereka tidak pernah ikut rapat anggaran, tidak pernah tanda tangan kontrak fiktif, tidak pernah menyisipkan fee di balik nota dinas. Tetapi mereka bisa mati dalam hitungan menit, karena dianggap Presidennya sendiri sebagai penebar terror, makar, dan ancaman bagi stabilitas negara.

Lalu kita lihat para koruptor. Duduk tenang di ruang tahanan ber-AC, makan siang dengan lauk bergizi, kadang masih sempat update status.

Mereka hidup lebih lama, lebih nyaman, dan lebih strategis. Untuk apa? Supaya bisa jadi caleg lagi? Supaya bisa korupsi lagi?

Mereka bilang, “Kami menyesal.” Tetapi penyesalan itu hanya muncul setelah rekening dibekukan dan nama masuk headline berita. Sebelumnya, mereka tidak menyesal tuh saat tahu saat anak-anak bangsa ini belajar pakai laptop lemot, atau saat pengguna jalan raya mati terperosok lubang di jalan raya, karena dana pajak yang dikorup.

Istilah saya, hukum di negeri ini seperti jaring laba-laba. Kuat untuk menangkap nyamuk kecil, tetapi robek saat disambar pejabat besar. Koruptor bisa bebas karena “bukti kurang kuat,” atau “niat tidak terbukti.” Padahal niat mereka sudah jadi proyek nasional.

Dan ketika rakyat marah, buzzer pun bekerja. Narasi dibalik, opini dibentuk, dan koruptor pun berubah jadi “korban politik.” Mereka bukan maling, katanya, tetapi pejuang digitalisasi. Padahal yang didigitalisasi adalah rekening pribadi.

Jadi, kenapa kita harus membuat hidup para koruptor ini lebih lama? Supaya mereka bisa ikut pemilu lagi, duduk di komisi anggaran, dan mengulangi skema lama dengan vendor baru? Supaya mereka bisa menyusun regulasi yang melindungi diri mereka sendiri?

Sekali lagi, jika rakyat biasa bisa mati karena gas air mata, kenapa koruptor tidak bisa mati karena hukum? Jika memang satu nyawa bisa menyelamatkan triliunan rupiah dan jutaan masa depan anak bangsa, kenapa kita harus ragu?

“Antartika Tetap Sepi, Karena Koruptor Tidak Suka Dingin.”

Hukuman mati bukan soal balas dendam. Ini soal keadilan yang tidak bisa ditawar. Karena korupsi bukan sekadar mencuri uang, tetapi mencuri harapan. Dan harapan yang dicuri harus dibayar mahal, bos….

Jadi, siapa koruptor pertama yang siap dilindas ban rantis? Bukan karena kita kejam, tetapi karena kita sebagai rakyat sudah terlalu lama sabar. Dan kesabaran rakyat, seperti gas air mata, punya batas.

Saran saya, berhentilah omon-omon untuk mengejar koruptor sampai ke Antartika, bos….kejauhan…karena koruptor negeri ini tidak akan ada yang mau ke sana, lebih baik ke Singapura atau ke pulau Cyprus…lebih nyaman.

Koruptor di negeri ini memang bukan tipe petualang kutub. Mereka tidak tertarik pada salju abadi atau Penguin yang tidak bisa diajak kongkalikong.

Percayalah, mereka lebih suka Singapura, tempat berbelanja yang nyaman dengan para selingkuhan, tempat uang bisa disimpan rapi dan hukum tidaak bertanya terlalu banyak….atau Pulau Cyprus, surga kecil dengan bank yang ramah terhadap dana-dana tidak bertuan.

Jadi benar, jangan ke Antartika. Terlalu dingin, terlalu jujur, dan terlalu jauh dari lobi hotel tempat proyek dibicarakan. Kalau mau tangkap koruptor, cukup buka daftar tamu di acara makan malam elite pejabat dan elite politikus sekitarnya saja.

Tetapi siap-siap, karena jika mereka ditangkap semua, kamu akan sendirian.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, Kenapa Belum Disahkan?

Sementara soal RUU Perampasan Aset, kabar terakhir per September 2025, belum disahkan, meski sudah masuk Prolegnas 2025–2029.

DPR baru mengambil alih inisiatif dari pemerintah, artinya prosesnya baru mulai lagi dari nol. DPR bilang, RUU ini baru akan dibahas setelah KUHAP selesai direvisi, jadi masih antre.

Padahal sang Presiden sudah berjanji akan mempercepat pembahasan, tetapi belum ada tanggal pasti.

Kenapa Belum Disahkan? Menurut para ahli hukum tata negara dan perdata, ada lima hal yang menyebabkannya, yaitu:

1. Pasal kontroversial: Misalnya, Pasal 2 memungkinkan perampasan aset tanpa menunggu vonis pidana. Ini membuat banyak anggota DPR yang waswas akan langsung terjerat.

2. Model pembuktian baru: RUU ini mengusung sistem Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), yang memungkinkan aset dirampas meski pelaku kabur, meninggal, atau lolos karena celah hukum.

3. Benturan politik: Tahun pemilu 2024 bikin pembahasan tersendat. Bahkan sempat dikeluarkan dari Prolegnas prioritas.

4. Presiden sudah minta DPR segera membahas RUU ini dan memasukkannya ke Prolegnas 2025–2026.

5. Tapi sampai September 2025, belum ada pembahasan konkret. Banyak pihak, termasuk ICW dan PSI, mendesak agar ini bukan cuma simbol politik buat redam kritik publik.

Padahal, fakta miris yang ada di depan mata, sepanjang tahun 2023/2024 saja, kerugian negara akibat korupsi secara nasional sudah menyentuh angka Rp56 triliun, namun nilai uang yang berhasil ditagih lewat pengadilan hanya Rp7,3 triliun (sekitar 13%) saja.

Sementara itu, rakyat yang demo minta keadilan malah dilindas aparat.

Affan Kurniawan, yang bukan koruptor, justru jadi korban. Ironi yang menyakitkan, bukan…? Koruptor bisa lari ke Singapura, rakyat yang teriak “jangan korupsi” malah kena pentungan dan gas air mata.

RUU ini katanya bisa jadi pisau hukum untuk merampas aset tanpa harus nunggu vonis pidana.

Tetapi kalau pisau itu disimpan terus di laci, ya koruptor tetap bisa makan enak, tidur nyenyak, dan nyalon lagi dan lagi.

Jadi, kapan RUU perampasan aset akan disahkan, dan kapan para koruptor ini dilindas ban rantis aparat penegak hukum sambil ditonton oleh rakyat?

Jangan dibalik, lah wong mereka yang korupsi, kok malah rakyat yang dilindas?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 10 September 2025

 

*Pensyarah/ Director of Logos Institute for Education and Sociology hari Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI

Views: 19

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *