
“Danang, kau akan kuturunkan di Punung dan menikahlah dengan Dewi Anya, puteri Kades di Punung. Dia masih ada darah keturunan Majapahit. Kecantikannya luar biasa dan masih terjaga, apalagi dia hidup di desa. Tapi ingat jadikan dia selirmu, Danang!” seru Nyi Ronggeng.
“Nyi Ronggeng?” lirih Danang.
“Waktumu sudah habis di sini, Danang!” tambah Nyi Ronggeng.
Belum lagi bisa menjawab, tubuh Danang seperti sudah melayang jatuh dari udara. Dia pun gelapan, tetapi tidak dapat berbuat banyak.
‘Astagfirullah. Akan jadi apa badanku ini nanti?’ pikir Danang.
***
“Sampai kapan kita di sini, Ki Ageng?” tanya Miss Kiara, tidak sabar ingin menggunakan ‘Perahu Surya’ lagi.
“Sampai kalian berdua dinyatakan positif!” seru Ki Ageng Batman.
“Ki Ageng, sarapan apa kita pagi ini?” Tiba-tiba ada suara wanita yang memanggil Ki Ageng Batman.
“Lontong pecel, mau kan Mbak 00 WeIBe?” balas Ki Ageng Batman.
“Ke sinilah dulu, Ki Ageng,” seru Mbak 00 WeIBe dari dalam kamar.
Mendengar mereka saling bermesraan, Miss Kiara pun lalu keluar dari penginapan untuk mencari ‘Lontong Pecel’ sesuai tawaran Ki Ageng Batman.
‘Kayaknya bakalan lama nih bulan madunya di Njurug ini,’ pikir Miss Kiara.
***
“Cepat jawab, Niki! Atau kau akan merasakan pukulan Selendang Biruku!” seru Putri Selendang Biru, Ayu, sambil tangannya bersiap akan melepaskan selendang biru senjata andalannya.
“Ayo, Niki! Katakan dengan jujur. Adi ini anakmu dengan siapa?” tambah Miss Tami Zen.
Niki tertawa gelak melihat Miss Tami Zen dan Putri Selendang Biru yang mendesak dirinya untuk mengakui ayahnya Adi.
“Ha ha. Kalian pasti tidak akan menyangka! Kalian pasti akan terkejut, melihat kenyataan. Anakku Adi ini adalah pewaris tahta Kerajaan Matraman Raya yang sebenarnya!” seru Niki.
“Jelaskan maksudmu, Niki! Jangan bicara ngaco!” seru Miss Tami Zen.
“Raja Adi tidak mempunyai anak dari wanita-wanita selirnya!” tambah Miss Tami Zen.
“Siapa bilang Adi tidak mempunyai anak dari wanita selirnya?” seru Niki sambil tertawa terbahak-bahak.
“Maksudmu!” seru Miss Tami Zen kaget.
“Adi adalah anakku dari hubungan gelap dengan Raja Adi! Bukankah dia begitu mirip dengan ayahnya. Apakah kau buta, Miss Tami Zen!” seru Niki penuh semangat.
“Serang dia Ayu! Adi ini bisa membahayakan posisi Danang, Sayidin Panotogomo Raja Kerajaan Matraman Raya!” perintah Miss Tami Zen.
Ayu si Putri Selendang Biru terkejut mendengar perintah Miss Tami Zen. Ancaman dia tadi kepada Niki hanyalah gertak sambal agar Niki mau menyebut nama bapak si Adi, bukan untuk membunuh. Namun, begitu Miss Tami Zen melihat gelagat buruk kalau Putri Selendang Biru ragu-ragu menjalankan perintahnya, dia pun kembali bicara keras kepada Ayu.
“Ayu. Cepat lakukan perintahku!”
Niki yang melihat keadaan yang tidak menguntungkan untuk dia dan Adi tetap berada di situ, lalu menggandeng Adi untuk keluar lewat pintu belakang dan mengunci pintunya. Putri Selendang Biru yang mencoba melemparkan Selendang Biru andalannya pun terlambat menyadari hal itu. Memang sebetulnya, Putri Selendang Biru tidak begitu setuju dengan perintah Miss Tami Zen.
‘Dulu memang Putri Selendang Biru adalah binaan Miss Tami Zen, tetapi kini dia adalah istri Bupati Bejo Cinekel yang terkenal welas asih.
Tidak tega rasanya, kalau hanya karena Niki melahirkan anak Raja Adi, lalu anak itu yang juga diberi nama Adi, harus dibunuh,’ pikir Putri Selendang Biru.
Segera Putri Selendang Biru mengejar Niki sampai ke pintu belakang yang sudah terkunci. Putri Selendang Biru pun pura-pura mencoba membuka pintu yang terkunci itu dengan kedua tangannya. Miss Tami Zen yang melihat ulah Putri Selendang Biru itu pun terkekeh-kekeh.
“Kalau mau buka pintu yang terkunci, pakai Selendang Birumu, Ayu! Bukan pakai kedua tanganmu!”
“Ayo kita kejar! Sebelum mereka sempat pergi jauh!” seru Miss Tami zen sambil berlari ke arah depan untuk keluar rumah. Ayu —dengan malu-malu karena ketahuan telah berpura-pura berusaha membuka pintu dengan kedua tangannya— lalu mengikuti langkah Miss Tami Zen.
***
Danang, merasa mendengar suara mirip gamelan ketika tubuhnya sudah terasa dekat dengan permukaan bumi.
Tampak ada pohon-pohon saat dia meluncur turun, juga perbukitan. Bahkan saat tubuhnya jatuh ke tanah, suara gamelan itu terdengar semakin keras. Begitu Danang merasa selamat sampai dapat berdiri tegak di atas tanah, Danang mulai mencari arah sumber suara yang seperti gamelan.
Danang melihat ada sebuah gua. Suara gamelan itu muncul dari sana. Namun sebelum Danang melangkah maju, tiba-tiba Danang dikejutkan oleh suara orang yang menyapanya dari samping.
“Ki sanak ingin menyaksikan pertunjukkan seni Stalagtit Stalagmit?”
“Maaf, Bapak siapa, ya? Kenalkan saya Danang, Sayidin Panotogomo,” seru Danang.
“Paduka Raja … Kerajaan Matraman?” seru orang yang menyapanya itu terkejut, melihat Rajanya berada di tempat itu.
“Betul, Paman. Paman siapa namanya?” tanya Danang tersenyum.
“Dewi Anya, ke sinilah, Paduka Raja ada sini,” teriak orang itu sambil memanggil nama seorang wanita.
“Maaf … beribu maaf, Paduka … hamba Lurah Brewok dan ini Dewi Anya … putri tunggal saya, dia pandai menari, Paduka,” ucap lelaki yang mengaku Lurah Brewok.
“Dewi Anya. Ayo tunjukkan keahlianmu di depan Paduka Raja Kerajaan Matraman Raya!” seru Lurah Brewok.
Dewa Anya yang menggunakan pakaian tari khas Jawa itu pun lalu meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama gending dari batu-batu Stalagmit dan Stalagtit yang ditabuh oleh anak buah Ki Lurah Brewok. Danang terpesona melihat tarian yang dipersembahkan Dewi Anya. Tanpa basa-basi Danang pun bertanya kepada Ki Lurah Brewok.
“Ki Lurah, apakah Dewi Anya masih lajang?”
“Dewi Anya, hentikan tarianmu. Segera menghadap Paduka Raja ke sini!” bukannya menjawab pertanyaan Danang, tetapi Ki Lurah Brewok justru menyuruh Dewi Anya menghentikan tariannya. Padahal Danang sedang asyik menikmati kecantikan Dewi Anya.
Tadinya Danang ingin marah kepada Ki Lurah Brewok karena menghentikan Dewi Anya menari. Namun karena Dewi Anya tiba-tiba mendatanginya dan duduk bersimpuh di depannya, bersamaan dengan Ki Lurah Brewok, maka Danang pun tidak jadi marah. Kecantikan Dewi Anya membuat hati Danang runtuh.
“Paduka Raja, kami persembahkan Dewi Anya, putri Lurah Brewok untuk dipersunting Paduka, apa pun statusnya,” seru Ki Lurah Brewok.
“Dewi Anya, maukah engkau menjadi selir pertamaku?” tanya Danang serius.
“Hamba bersedia, Paduka,” jawab Dewi Anya tanpa pikir panjang.
“Kalau begitu segera adakan pesta, tidak usah menunggu ke istana. Ki Lurah Brewok, pasang baliho pesta pernikahan kami. Buat gambar Raja Kerajaan Matraman Raya bersama Permaisuri Nyi Ronggeng di sebelah kiri dan Dewi Anya di sebelah kanan. Jangan lupa pakai jilbab, ya!’ perintah Danang.
***
Al kisah, Putri Raisa dengan rombongan bersama Putri Biyan dan Wahyudi yang pergi meninggalkan kota Solo untuk menghindari keterkejutan setelah bertemu dengan pemuda yang wajahnya mirip dengan Raja Adi, sampailah mereka bertiga ke Punung. Putri Raisa terkejut di jalan terdapat baliho besar yang berisi pengumuman pesta perkawinan Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya, anak tunggalnya.
“Putri Biyan, Wahyudi lihat ada gambar Danang di baliho itu!” seru Putri Raisa.
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 210925
Views: 19