Antara Beijing dan Guangdong

Posted by : wartaidaman 23/09/2025

 

WARTAIDAMAN.com 

 

 

Amin Sudarsono

 

Aih, saudara-saudara, kalau bicara soal China, jangan langsung bayangkan satu mangkuk besar yang isinya sama rata. China itu seperti sup tomyam yang campur aduk: pedas, asam, manis, dan kadang bikin kaget.

Saya ingat waktu pertama kali ke sini, saya pikir semua orang China bicara Mandarin seperti di film-film Jackie Chan. Eh, ternyata enggak! Di selatan, khususnya Guangdong, ada yang namanya budaya Kanton—atau Cantonese, kalau bahasa Inggrisnya.

Cantonese beda banget dengan Mandarin yang standar, seperti bedanya orang Jawa bicara halus sama orang Sunda yang ngobrol cepat. Mari kita bedah ya?

Pertama-tama, soal bahasa. Mandarin itu seperti bahasa resmi China, yang dipakai di Beijing dan sekolah-sekolah nasional. Pengucapannya lebih sederhana: cuma empat nada, plus satu netral. Bayangkan nada seperti naik turun tangga: tinggi, naik, turun-naik, turun. Gampang, kan?

Nah, Kanton? Wah, ini level advance! Ada enam sampai sembilan nada, tergantung dialeknya. Logatnya lebih kasar, lebih “berat”, seperti orang lagi ngunyah dim sum sambil bicara. Misalnya, kata “ma” di Mandarin bisa berarti “ibu” atau “kuda” tergantung nada.

Di Kanton, yang disebut Yue, pengucapannya lebih rumit—bisa berubah jadi “maa” atau “maah” dengan nada yang bikin lidah muter-muter.

Saya pernah coba belajar: “Nei hou maa?” yang artinya “apa kabar?” di Kanton. Hasilnya? Teman Kanton saya malah ketawa, katanya saya seperti lagi marah-marah. Bedanya lagi, Kanton pakai karakter tradisional yang lebih rumit, sementara Mandarin pakai yang simplifikasi. Jadi, kalau baca tulisan, mirip-mirip, tapi bicara? Bisa-bisa salah paham total!

Trus, tradisinya? Mandarin lebih “nasional”, ikut festival besar seperti Imlek atau Mid-Autumn dengan cara standar: makan mooncake, nonton lion dance. Tapi Kanton punya ciri khas sendiri, seperti yum cha—tradisi minum teh sambil makan dim sum di pagi hari. Bayangkan sarapan bukan nasi goreng, tapi keranjang-keranjang kecil isi pangsit udang, siomay, dan kue-kue aneh yang enaknya kebangetan.

Opera Kanton juga beda: lebih dramatis, kostum warna-warni, dan nyanyiannya tinggi melengking seperti ayam lagi bertelur. Sementara opera Mandarin lebih halus, seperti Beijing Opera dengan topeng dan gerakan akrobatik.

Budaya Kanton lebih “lokal pride”, dipengaruhi perdagangan laut sejak zaman dulu, jadi lebih terbuka sama pengaruh luar. Mandarin? Lebih sentral, lebih “imperial”. Pokoknya, kalau Kanton itu seperti pesta keluarga rame-rame, Mandarin lebih seperti upacara resmi.

Nah, bicara Kanton, tak lengkap tanpa Guangzhou—ibukotanya Guangdong, kota yang seperti pelukan hangat buat semua orang. Guangzhou ini multikultural abis, saudara! Sejarahnya ribuan tahun, dari zaman Dinasti Qin, jadi pusat perdagangan Silk Road laut.

Sekarang? Campur aduk: mayoritas Han Cina, tapi ada Hakka, Tanka (orang laut), Hui (Muslim Cina), dan bahkan komunitas Afrika yang disebut “Chocolate City”. Saya pernah jalan-jalan di sana, lihat pedagang Nigeria jualan kain, restoran India, sampai masjid kuno.

Kota ini welcome banget sama banyak hal: makanan halal, festival internasional, bahkan Canton Fair yang bikin ribuan ekspat datang tiap tahun. Enggak heran, Guangzhou disebut salah satu kota paling liveable di Cina—budaya Lingnan-nya (sebutan buat selatan) campur modern, tapi tetep ramah. Kalau kamu foreigner, mereka senyum-senyum aja, meski bahasa Inggrisnya pas-pasan.

Tapi jangan salah, welcoming bukan berarti chaos. Lalu lintas di Guangzhou tertib luar biasa, seperti tentara lagi baris-berbaris. Mobil-mobil ngantri rapi, pejalan kaki nunggu lampu hijau. Meski, ya, ada aja yang bandel: nyelonong lampu merah atau speeding. Apa yang terjadi kalau kena tilang? Wah, CCTV di mana-mana, polisi langsung datang atau kirim notif via app.

Dendanya? Bisa 200-2000 RMB (sekitar 400 ribu sampai 4 juta rupiah) buat speeding, plus poin dikurang di SIM. Kalau red light, 6 poin plus denda—kalau poin habis, SIM disita! Saya lihat sendiri: satu sopir taxi kena, langsung bayar online, muka pucet seperti ketemu hantu. Tapi overall, aman kok—enggak kayak di Jakarta yang kadang seperti balapan liar.

Dan jalanannya? Bersih dari polusi knalpot! Guangzhou gencar promosi electric vehicle (EV). Bus-busnya hampir semua listrik, mobil pribadi juga banyak yang hum-humming tanpa asap. Hasilnya? Udara lebih segar, emisi NOx turun ribuan ton per tahun. Saya lihat bus di sana, rasanya seperti naik kereta api—senyap, enggak bau solar. Cina memang juara EV: Guangzhou punya 18 juta penduduk, tapi rush hour enggak lagi berisik seperti dulu.

Yang bikin kagum lagi, lampu merahnya terintegrasi dengan Amap—itu loh, app navigasi ala Google Maps versi Cina, punya Alibaba. Amap ini pintar banget: pakai data crowdsourcing dari jutaan pengguna, hitung waktu lampu merah sampe ke detiknya!

Bayangkan, lagi nyetir, app bilang: “Lampu merah depan 45 detik lagi.” Akurat, bro! Enggak perlu tebak-tebakan, langsung gas pas hijau. Ini bikin lalu lintas lancar, kurangi kemacetan 11% di jam sibuk. Saya coba, rasanya seperti punya mata ketiga—valid banget, enggak bohongan.

Terakhir, bepergian di Guangzhou? Gampang pakai Didi—app ride-hailing seperti Gojek versi Cina. Pesan via app (ada versi English di Alipay atau WeChat), bayar cashless pakai kartu asing. Driver-nya ramah luar biasa, meski tak sepatah kata pun seluar! Mereka enggak lancar Inggris, saya pun nol Mandarin, tapi lancar jaya. Senyum, tunjuk peta di app, atau pakai fitur bilingual chat.

Saya pernah naik malam-malam: driver manggut-manggut, kasih air minum gratis, dan antar tepat waktu. Enggak ada scam, aman, murah. Kalau ada masalah bahasa? App translate otomatis. Pokoknya, Didi bikin Guangzhou seperti rumah sendiri—welcoming, meski kita cuma tamu.

Jadi, itulah Guangzhou dan budaya Kanton: beda tapi seru, seperti tambahan bumbu di masakan Cina. Kalau ke sana, coba sendiri—tapi ingat, jangan coba-coba speeding, nanti tilangnya bikin kantong bolong! Hehe.

 

 

 

 

 

*iwsa/ pjmi/ wi/ nf/ 190925

Views: 16

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *