WARTAIDAMAN.COM
Oleh: H. J. FAISAL
Hengkangnya Presiden Jokowi dan anaknya, Gibran RR dari PDIP, sepertinya memang sudah diperkirakan oleh banyak pihak. Ketika ide melanjutkan tiga periode kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden Indonesia muncul ditolak mentah-mentah oleh Megawati, maka sesungguhnya itu menjadi awal ‘perceraian’ itu terjadi.
Megawati sebagai pucuk pimpinan partai PDIP tentunya juga menolak keras ide perpanjangan tiga periode kepemimpinan Jokowi ini. Hal ini juga sudah dapat dibaca oleh masyarakat, selain dikarenakan tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, beliau juga pastinya telah mempunyai kader pilihan untuk dijadikan calon Presiden berikutnya, yaitu Puan Maharani. Namun dikarenakan elektabilitas anaknya tersebut sangat rendah di tengah rakyat Indonesia, akhirnya pilihannya jatuh kepada kadernya yang dianggap masih setia, yaitu Ganjar Pranowo, yang dianggap memiliki elektabilitas yang cukup tinggi.
Kini, Megawati dan para kader partai PDIP lainnya merasa telah dihianati oleh Jokowi. Mereka pun akhirnya merasa terdzalimi, dan merasakan ‘kesedihan’ yang mendalam. Langkah untuk ‘meredakan’ rasa sakit hati itupun akhirnya disusun.
Meskipun PDIP terlihat cukup tenang dalam menghadapi peristiwa hengkangnya Jokowi dari partai mereka, namun pastinya mereka tidak akan tinggal diam. Terbukti dari langkah yang diusulkan oleh anggota DPR dari kader PDIP, Masinton Pasaribu, yang mengusulkan agar DPR menggulirkan hak angket terkait polemik yang terjadi saat ini di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini disampaikan Masinton di saat interupsi Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta hal ini tentu saja disebabkan karena masuknya Gibran RR sebagai calon wakil presiden dari calon presiden Prabowo dilakukan dengan cara yang tidak biasa, dan sangat mencederai rasa keadilan mansyarakat Indonesia, menurut para kader PDIP. Yaitu dengan ‘memanfaatkan’ Mahkamah Konstitusi (MK), yang notabene ketua MK, Anwar Usman adalah paman dari Gibran RR itu sendiri, yang mendapat ‘tugas’ untuk merubah aturan hukum tentang syarat batas usia capres dan cawapres pada tanggal 16 Oktober 2023 yang lalu.
Gimik ‘sakit hati’ dan ‘merasa terdzalimi’ ini pun sebenarnya sudah pernah ‘dimainkan’ oleh partai PDIP, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maju sebagai calon presiden di tahun 2004 yang lalu.
Dalam sebuah artikel yang pernah dilansir oleh Tempo.co (2022), naiknya SBY sebagai kontestan pilpres pun membuat hubungan renggang dengan Megawati selaku mantan bos yang kemudian menjadi rival politiknya. Megawati menyayangkan sikap SBY yang seharusnya meminta izin dan konfirmasi kepada dirinya terlebih dahulu sebelum maju capres.
Bahkan efek hubungan tak sehati ini terasa ketika ia menjabat sebagai presiden. Suatu kali, SBY menghadiri pesta kesenian Bali di Denpasar, beberapa bulan setelah terpilih menjadi Presiden pada 2004. Acara Presiden itu diboikot oleh sejumlah Bupati yang berasal dari PDIP. Padahal menurut SBY, para Bupati wajib loyal serta mendukung pemimpinnya siapa pun presidennya.
Namun ternyata, meskipun Megawati dan partai PDIP nya yang merasa tersakiti, tetapi justru rakyat pada waktu itu melihat bahwa SBY-lah pihak yang sebenarnya dalam posisi yang tersakiti. Sakitnya tuh di sini….begitu kata SBY pada waktu itu.
Dan seperti yang telah kita ketahui bersama, akhirnya SBY pun berhasil mengalahkan Megawati dengan dua kali putaran pemilu, dengan perbandingan jumlah suara yang cukup signifikan, yaitu pada putaran pertama, SBY – Jusuf Kalla (JK) unggul dengan perolehan suara 33,58 persen suara atau meraup sebanyak 36.070.622 pemilih. Kedua adalah Megawati – Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 28.186.780 atau 26,24 persen.
Dan di putaran kedua semakin membuat SBY – JK menang telak dengan suara 69.266.350 atau 60,62 persen, sedangkan pesaingnya Megawati-Hasyim mendapat suara 44.990.704 atau 39,38 persen.
Belajar dari peristiwa di tahun 2004 tersebut, kini sepertinya PDIP tidak terlalu ingin ‘mengumbar’ rasa tersakiti mereka oleh tingkah laku Presiden Jokowi dan anaknya tersebut saat ini. PDIP sepertinya tetap mengambil langkah tenang, tetapi tetap berstrategi dalam menghadapi masalah ini.
PDIP sepertinya tidak ingin salah menafsirkan kembali tentang siapa yang tersakiti dan menyakiti dalam hal ini. Jangan sampai peristiwa pada tahun 2004 yang lalu terulang kembali, mengingat mantan petugas partai mereka yang bernama Jokowi ini dianggap telah cukup lihai dalam bermain politik selama 10 tahun terakhir ini. Ditambah lagi pengaruhnya terhadap para pemimpin daerah dan masyarakat akar rumput juga sudah cukup kuat.
Ya, cara-cara untuk mendapatkan simpati rakyat dengan modus tersakiti atau terdzalimi seperti itu mungkin sudah tidak mempan lagi bagi rakyat, dikarenakan rakyat Indonesia sudah semakin cerdas dalam melihat siapa yang yang benar, kurang benar, pura-pura benar, apalagi tidak benar.
Analoginya, seperti yang sudah pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu, dalam melihat para tokoh politik yang sedang ‘manggung’ dan sedang ‘mengemis’ suara rakyat saat ini, rakyat kini sudah semakin paham mana minyak unta cap babi, minyak babi cap babi, minyak babi cap unta, dan minyak unta cap unta itu sendiri.
Kini kami hanya melihat saja bagaimana percaturan politik yang sedang terjadi saat ini. Kami sebagai rakyat jelata hanya bisa menonton saja, hanya bisa tertawa jika ada adegan yang lucu dan terkesan bodoh, tetapi tidak ingin terlarut dalam rasa sedih jika ada adegan yang sendu, karena kami sebagai rakyat Indonesia sudah cukup bersedih dengan keadaan kami sendiri yang semakin sengsara, dan perut keluarga kami yang sudah semakin lapar.
Jadi, silahkan kalian bersandiwara di pentas panggung politik, tetapi ingat…..jika kami sudah tidak tahan dengan kesengsaraan dan rasa lapar kami, kami sebagai rakyat tidak akan pernah bersandiwara untuk menuntut dan mengambil hak-hak kami kelak, bagaimanapun caranya. Karena saat ini, jelas sekali bahwa sebenarnya kami lah rakyat yang sedang tersakiti dan terdzalimi.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 2 November 2023
*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI