WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. FAISAL |
Apapun konsep yang ditawarkan oleh para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia, dan para calon legislator (caleg) yang sedang ‘manggung’ dan ‘berlenggak lenggok’ di pentas panggung suksesi politik saat ini, pastinya merupakan konsep-konsep pembangunan dan konsep-konsep kesejahteraan yang sangat ideal untuk di dengar di telinga kita. Apalagi ketika mereka mengeluarkan kata-kata indah dan bombastis mengenai cara untuk membuat bangsa ini sejahtera.
Begitupun dengan visi dan misi kepemimpinan yang sedang mereka tawarkan kepada rakyat Indonesia saat ini, yang sepertinya terlihat sangat ‘visible’. Tetapi permasalahannya, apakah visi, misi dan program-program kerja yang mereka tawarkan tersebut dapat menjadi possible untuk diwujudkan dan dijalankan, atau malah menjadi visi, misi, dan program kerja yang impossible untuk diwujudkan? Wallahu’allam bisshowab.
Sesungguhnya ada tiga komponen dasar normatif, yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin maupun wakil rakyat yang ideal bagi bangsa yang besar ini, selain sehat jasmani dan mental tentunya, yaitu keterampilan dalam memimpin (leadership skill), kemudian sedalam apa pengetahuan yang dimilikinya sebagai bekal kepemimpinannya kelak (knowledge), dan terakhir adalah bagaimana sikap atau adabnya dalam memegang kepemimpinan tersebut (attitude and behaviour).
Mengapa sikap dan adab pemimpin menjadi sebuah persyaratan normatif yang masuk ke dalam kategori utama? Karena ketika mereka menjadi pemimpin kelak, sesungguhnya mereka juga menjadi ‘role model’ atau keteladanan bagi seluruh rakyat bangsa ini.
Dan malu sekali rasanya jika bangsa ini mendapatkan kembali pemimpin yang baru kelak, yang mencontohkan ‘keteladanan’ yang menyimpang kepada rakyatnya, seperti yang sedang dicontohkan oleh pemimpin yang sekarang sedang berkuasa. “Amit-amit, jangan lagi deh….” begitu kata emak-emak sekarang.
Jadi, bukan karena hanya terlihat tampan, cantik, tenar, artis, keturunan kyai besar, pengusaha besar, teman dekat, dan latar belakang lainnya, yang sesungguhnya tidak berhubungan dengan kualitas diri mereka yang sebenarnya.
Ketika bangsa ini sudah terjebak dengan peraturan akal-akalan yang dicetuskan dari konsensus partai-partai politik di negara ini, seperti aturan tentang Presidential Threshold sebesar 20 persen, maka sesungguhnya hal ini telah menutup hak rakyat Indonesia yang sebenarnya lebih mampu dari ketiga calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung saat ini dalam hal leadership skill, knowledge, dan attitude, untuk ikut berkontestasi di panggung politik Indonesia, sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Dan menurut para pengamat perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya inilah akar masalah dari carut-marutnya dunia perpolitikan Indonesia saat ini. Tapi ya memang begitulah kenyataan watak perpolitikan di negara Indonesia ini. Siapa yang sedang berkuasa, maka mereka juga merasa ‘berkuasa’ untuk membuat segala aturannya.
Sedangkan untuk urusan para calon legislator pun setali tiga uang, yang memang sepertinya tidak terlalu istimewa menurut saya. Karena siapapun mereka yang mampu membayar mahar yang ditentukan oleh partai politik tunggangan yang ‘disewanya’, dapat dipastikan mereka akan masuk untuk didaftarkan menjadi calon anggota legislator pusat (DPR) maupun legislator daerah (DPRD).
Tidak perduli mereka mempunyai skill kepemimpinan atau tidak, berpengetahuan atau tidak, bahkan ber’attitude’ atau tidak, asalkan mampu membayar maharnya kepada partai politik tunggangannya tersebut, pasti akan mendapatkan nomer urut pencalonannya. Dan nomer urut pencalonannya tersebut juga ditentukan oleh banyak atau sedikitnya jumlah mahar yang dibayarkannya tersebut. Sangat miris memang keadaan politik bangsa ini.
Dengan demikian, dapat dipastikan akan ada sangat sedikit sekali para calon anggota legislator yang benar-benar memiliki kemampuan leadership skill, knowledge, dan attitude yang memadai untuk menjadi wakil-wakil rakyat yang ideal di parlemen. Tapi ya memang begitu kenyataannya. Kualitas dikalahkan oleh ‘isi tas’. Partai politik di Indonesia memang tidak ubahnya seperti perusahaan, tetap harus mencari profit juga untuk membiayai kelangsungan hidupnya.
Maka tidaklah aneh jika suatu saat, mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid pernah mengatakan bahwa para anggota legislator atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak ubahnya seperti kumpulan anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK), hanya berkerumun, pura-pura meributkan sesuatu, tetapi tetap mengatur siasat dibalik keributan tersebut, terutama jika keributan tersebut terlihat sangat menguntungkan dan dapat menambah pundi-pundi tabungan mereka, untuk mengembalikan modal kampanye juga, pastinya.
Dan menjadi tidak aneh pula jika perundang-undangan yang mereka hasilkan, sebagian besar merupakan peraturan atau perundangan hasil pesanan pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari peraturan perundangan tersebut, dan bukan perundangan yang memang benar-benar memihak kepada rakyat.
Adapun untuk para capres dan cawapres, kebetulan sekali ada dua calon presiden yang sedang manggung saat ini, yang memang mempunyai pengalaman sebagai pemimpin kepala daerah setingkat provinsi, dan satu calon wakil presiden ‘karbitan’ (bahkan ada yang menyebutnya sebagai anak haram konstitusi), yang ‘pernah atau sedang’ memimpin daerah setingkat kota.
Kini, setelah ketiganya telah sah menjadi para calon presiden dan calon wakil presiden, rakyat Indonesia seharusnya dapat melihat seluruh rekam jejak mereka secara jeli, jangan hanya memilih dikarenakan seringnya mereka ‘nongol’ di TV, atau seringnya mereka menebar uang di saat kampanye, banyaknya baliho mereka yang terpasang di tempat-tempat umum yang sesungguhnya ‘merusak pemandangan’ dan sangat mengganggu kenyamanan umum, atau seringnya mereka menebar janji-janji politik, yang terkadang mereka sendiri tidak memahami apa yang sedang mereka janjikan dan apa yang sedang mereka bicarakan tersebut.
Sebab, dapat dipastikan, apa yang mereka tampilkan sekarang ke hadapan publik adalah sebuah sikap atau ‘attitude’ yang dibentuk oleh tim pemenangan atau tim kampanye para calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing tersebut.
Senyum yang harus terkembang di wajah mereka, kegiatan-kegiatan sosial yang dihadiri oleh mereka, undangan-undangan untuk menjadi pembicara yang harus mereka penuhi, bahkan sampai warna baju apa yang harus mereka pakai saat tampil di publik, sesungguhnya hanyalah lipstik-lipstik politik yang sudah diatur dengan detail, oleh para tim kampanye mereka di belakang layar.
Sesungguhnya rakyat harus melihat dengan jeli siapa mereka sesungguhnya. Lihatlah dengan jeli apa latar belakang pendidikan mereka, berijazah palsu atau tidak. Lihat juga dengan jeli, partai-partai pendukung di belakangnya, apakah partai-partai tersebut merupakan partai yang amanah, yang sedikit tingkat korupsi para kadernya, dan terafiliasi dengan paham komunis atau tidak.
Lihatlah dengan jeli juga, siapa saja negara-negara luar yang berkepentingan terhadap mereka, berafiliasi dengan Yahudi dan komunisme atau tidak. Perhatikan dengan jeli, bagaimana tingkat ilmu pengetahuan para capres, cawapres, dan caleg-caleg tersebut, pelanga-pelongo atau tidak.
Pelajari benar-benar tentang visi, misi, dan program kerja yang mereka tawarkan. Jika visi, misi, dan program kerja yang mereka tawarkan hanya ingin melanjutkan atau ‘mengekor’ dari pemimpin atau presiden sebelumnya, maka dapat dipastikan negara ini akan tidak mengalami perubahan kemajuan di bawah kepemimpinan mereka kelak.
Perhatikanlah dengan seksama juga rekam jejak media sosial mereka. Dan lihatlah bagaimana bahasa tubuh mereka saat berkampanye, asli merupakan cerminan dari akhlak mereka yang sesungguhnya, atau settingan tim kampanye pemenangan belaka. Terlalu banyak mengedipkan matanya karena sedang berbohong atau tidak. Juga lihatlah bagaimana latar belakang keluarga mereka, apakah mereka berasal dari keluarga yang dibenci oleh masyarakat atau tidak. Dan hal-hal penting lainnya yang harus diperhatikan dengan seksama.
Dan yang paling penting, lihat juga siapa penyandang dana atau bohir dari masing-masing capres dan cawapres tersebut, apakah para bohir mereka tersebut berasal dari kelompok oligharki hitam, kelompok oligharki putih, atau bahkan kelompok oligharki abu-abu. Tetapi untuk urusan yang satu ini, sepertinya agak sulit bagi rakyat untuk mendapatkan informasi validnya. Karena dapat dipastikan untuk urusan ‘dapur utama’ ini, sifatnya pasti akan sangat rahasia (highly classified).
Jangan sampai bangsa ini, dan kita sebagai rakyat Indonesia terjerumus untuk yang kesekian kalinya dalam hal memilih pemimpjn. Jangan lagi tertipu dengan segala pencitraan yang ditampilkan. Jangan lagi terlena dan terhanyut dengan gimik-gimik politik dan sandiwara-sandiwara dari para calon pemimpin bangsa dan para politikus yang tidak berkualitas.
Dan jangan pula terima sogokan uang yang akan mereka berikan kepada kita, agar kita memilih mereka. Sebab rasanya terlalu tinggi harga diri kita sebagai rakyat, jika dapat ‘dibeli’ dengan uang-uang sogokan ‘serangan fajar’ seperti itu. Mari kita mencoba untuk belajar beradab sebagi seorang manusia, dan sebagai sebuah komunitas rakyat dalam berbangsa.
Ingat, kitalah rakyat yang sedang memegang posisi kunci atas ‘keberhasilan’ atau ‘kegagalan’ mereka. Maka cerdaslah dalam memilih, wahai sahabat-sahabatku sesama rakyat jelata. Saat ini kita memang sedang dalam keadaan miskin, tetapi para politikus itulah yang sesungguhnya sedang ‘mengemis’ kepada kita.
Lihatlah bagaimana mereka sedang berusaha mati-matian agar mereka berhasil menjadi presiden, wakil presiden, dan berhasil masuk menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Dan lihat pula bagaimana persiapan beberapa rumah sakit jiwa di daerah-daerah di Indonesia yang siap menampung para caleg yang kalah, yang tidak mampu menerima ‘kenyataan’.
Mengapa demikian? Karena sejatinya rakyat Indonesia memerlukan para calon pemimpin bangsa dan para negarawan yang notabene sumbernya berasal dari para politikus yang amanah, cerdas, bukan tukang bohongi rakyat, dan benar-benar mampu memberikan solusi bagi bangsa ini atas segala permasalahannya, terutama permasalahan di bidang ekonomi, hukum, dan pendidikan. Dan bukan para politikus yang hanya mengundi nasib dan peruntungannya di dunia perpolitikan Indonesia.
Sudah saatnya, rakyat harus memiliki kecerdasan, kejelian, dan harga diri yang tinggi, serta tidak terlalu naif dalam ‘melihat’ mereka, agar rakyat tidak selalu kalah ‘perang psikologi’ (psychology war) dengan sandiwara, janji, dan gimik para politikus calon-calon pemimpin bangsa dan calon-calon legislator yang sedang berada dalam situasi ‘harap-harap cemas’ tersebut.
Pahamilah, mereka boleh berpolitik, baik dengan cara yang benar maupun dengan cara yang curang, tetapi rakyat juga yang menilai dan menentukan keberhasilan berpolitik mereka.
Semoga pemikiran yang cerdas dari rakyat Indonesia akan melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang cerdas pula, demi kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Mari kita sukseskan Pemilihan Umum 2024, dan terus awasi juga dan lawan segala macam bentuk kecurangan yang akan terjadi dalam prosesnya……
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 20 November 2023
*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI