KISAH RIDAR HARAHAP 62 TAHUN, SANG WARTAWAN YANG SUDAH BERJUANG DAN MASIH BERJUANG

Posted by : wartaidaman 22/12/2024

 

WARTAIDAMAN.com   

 

 

Membuka tulisan singkat ini saya terlahir ke dunia merupakan anak ketiga dari saudara sekandung tujuh anak anak lelaki dan tujuh anak wanita dari pasangan suami isteri Achmad bin H Nurhasan dan ibu Syahroini Nasution. Saya dilahirkan di Kota Bengkalis Riau tanggal 21 Desember 1962. Ayahku bekerja sebagai pegawai negeri sipil di jawatan Departemen Perindustrian RI dengan Nomor Induk Pegawai (NIP) 09……..NIP pertama kali dikeluarkan pemerintah.

Dari 14 saya bersaudara kandung kami dilahirkan di berbagai kota di Indonesia ada yang dilahirkan di Pekanbaru Riau, di Medan Sumatera Utara, Bukit Tinggi Sumatera Barat, Jakarta dan di Kota Sampit Kalimantan Tengah yang  memegang rekor terbanyak dilahirkan delapan orang saudaraku. Maklum saja kami sekeluarga mengikut panggilan kedinasan ayah kami sebagai PNS tahun 1967 membuka Kantor Dinas Perindustrian di Sampit Kalimantan Tengah.

 

Masjid Agung Assalam tahun 1967. Alhamdulilah aku (Ridar Harahap) ada di barisan terdepan di tengah puluhan santri.
Kami sekeluarga merantau tahun 1967 dan pertama kali tinggal di samping Masjid tersebut.

 

Dari 14 orang bersaudara hanya aku sebagai anak laki laki paling sulung setamat menyelesai sekolah di SMP Negeri Nomor 1 Sampit melanjutkan sekolah ke Jogjakarta. Aku masih ingat aku meninggalkan bandara H Hasan dengan pesawat Twin Otter tahun 1980 mendarat di lapangan terbang Syamsudin Noor (d/h lapter Ulin) dengan pesawat Bouraq mendarat di bandara Adi Sucipto Jogjakarta.

Usai menempuh pendidikan di Jogjakarta aku kembali ke Kalimantan Tengah langsung bekerja sebagai pegawai honorer Dinas Perindustrian dengan kerja sambilan di Asuransi Bumiputera 1967 sebagai tenaga pemasaran di perusahaan asuransi inilah aku mengenal ilmu marketing AIDA (action interest derection dan attitude) yang sampai hari ini aku terapkan di dunia jurnalis dalam memasarkan dan mencari iklan koran media cetak di Koran Kalteng Pos (d/h Koran Pelita Pembangunan). Aku bekerja sebagai seorang jurnalis secara otodidak dan belajar banyak bagaimana sikap seorang jurnalis yang disegani dari pamanku Zulkifli Nasution wartawan Koran Media Indonesia milik Surya Paloh. Aku mulai bekerja sebagai wartawan tahun 1991 dan tergabung di PWI Perwakilan Sampit dan duduk sebagai Bendahara tahun 1993 yang dikukuhkan Tarman Azam Ketua PWI Pusat yang datang bersama wartawan tiga zaman Rosihan Anwar.

 

Idolaku: Pangeran Muhammad Noor,  Gubernur Pertama Kalimantan – Bung  Karno, Presiden Pertama RI – Cilik Riwut, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Tengah. 

 

Banyak suka duka yang kualami dalam menjalankan profesi sebagai jurnalis di Kalimantan Tengah. Aku dalam menulis berita dengan komputer windows 4 dan mengirim berita menggunakan alat komunikasi modem namanya ke kantor redaksi Kalteng Pos di Palangkaraya. Berjam jam lamanya bila cuaca tidak bersahabat aku harus sabar menunggu untuk mengirim berita ke Palangkaraya waktu itu.

Itu kendala yang saya hadapi masih banyak kendala yang tidak cukup aku tuangkan dan uraikan termasuk sulitnya medan yang harus ditempuh menembus hutan belantara menyusuri sungai sungai besar dengan menumpang perahu klotok namanya. Dan yang paling menegangkan pada saat terjadinya perang suku Dayak dan Madura. Kegiatan jurnalistik harus benar benar hati hati dan harus imbang sebab yang berseteru bangsa sendiri.

 

Senampan, Kartu Pers-ku

 

Aku merasa bangga berprofesi sebagai seorang jurnalis. Salah satu kebanggaan itu tanpa melupakan keberhasilan membela kepentingan umum adalah diminta Bupati Kotim Kolonel Inf Didik Salmijardi dan Wabup Kaspul Anwar untuk menulis penelusuran sejarah kota Sampit yang terbit di halaman satu Kalteng Pos sebulan penuh tanpa henti dengan melakukan wawancara dengan berbagai kalangan tokoh pejuang, tokoh masyarakat dan menyusuri semua tapak tapak sejarah yang tersisa yang hasilnya menetapkan Hari Jadi Kota Sampit tanggal 7 Januari. Mengacu peraturan pemerintah tentang terbentuknya Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur tanggal 7 Januari 1953 dengan Bupati pertama Tjilik Riwut.

 

 

Dua tahun usai tragedi Sampit aku memilih hijrah dengan memboyong isteri dan tiga orang anak anakku ke Jogjakarta demi menyelamatkan masa depan ketiga untuk beroleh pendidikan yang jauh lebih baik. Akupun mulai banting setir dengan mencoba usaha kecil-kecilan di pasar tradisional tanpa meninggalkan profesiku sebagai jurnalis di beberapa koran nasional termasuk Harian Pelita dan terakhir aku aktif sampai sekarang ini di media indonesiaexpose.co.id di Jogjakarta ini. 

 

Aku dan istriku

 

Aku, istriku, anakku, menantuku, dan cucuku

 

Di kota ini aku jatuh bangun bersama kawan kawan mendirikan koran dengan keterbatasan yang ada terhitung delapan koran yang kami dirikan dari yang terbit bulanan dua mingguan satu mingguan. “Biaya cetak lebih mahal dari biaya operasi. Untuk beli rokok saja tak bisa” itu yang sering diungkapkan kawan kawanku akhirnya kami tutup. (Ridar pjmi-diy)

 

Aku dan Ompungku Srikandi Tapanuli, pejuang kemerdekaan, makamnya TMP Kalibata, almarhumah Syahrani Tiamima Harahap asal ayahnya Kapau Bukit tinggi bernama Sutan Barayun Datuk Bongsu yang mendirikan Desa Pasar Matanggor di kabupaten Paluta. Menurut cerita suku suku Minang yang hijrah ke Tapanuli secara tidak langsung berubah marganya. Sutan Barayun Datuk Bongsu kalau di kampungnya marganya Caniago pindah ke Tapanuli bermarga Harahap.

 

Aku, sekarang

 

Tulisanku ini ku hadiahkan kepada Istriku, Anakku, Cucuku, Menantuku

Selamat Hari Ulang Tahun RIDAR HARAHAP ke 62, tanggal 21 Desember 2024

Semoga Selalu Berkah Usia, Berkah Ibadah, Berkah Kesehatan, Berkah Keluarga, Berkah Ilmu, Berkah Rezeki dari ALLAH TA’ALA

 

 

 

Views: 27

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *