
WARTAIDAMAN.com
Pada dasarnya, setiap umat beragama memiliki “tahun baru” sesuai dengan keyakinan keagamaan yang mereka anut, seperti: Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Nasrani, Islam, dan lainnya. Namun mengapa momentum tahun baru “01 Januari Masehi” menjadi istimewa? Hal ini setidaknya karena tiga aspek atau konteks berikut.
Pertama, istilah “Masehi” atau “Christmas” dianggap sebagai tren peradaban dunia yang direpresentasikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika, juga beberapa negara Balkan dan Amerika Latin.
Kedua, perayaan tahun baru 01 Januari menjadi “tradisi dunia” sekaligus “liburan hari dunia” ini juga berimbas pada berbagai program dan agenda yang dijalankan oleh mayoritas negara di dunia, termasuk di dalamnya instansi pemerintah, perusahaan swasta, dan berbagai organisasi sosial.
Ketiga, tahun baru 01 Januari ini mengisyaratkan bahwa peradaban global bisa mendominasi berbagai aspek kehidupan umat manusia di dunia. Tahun baru 01 Januari itu lebih berkaitan dengan tradisi, bukan agama. Misalnya untuk umat Islam, ikut memeriahkan atau tidak, tidak serta-merta dan tidak harus dihubungkan dengan akidah atau keyakinan keagamaan.
Dari ketiga alasan tersebut di atas, kita sebagai umat beragama di Indonesia, tidak perlu harus menghujat dan/atau menggiring opini ke arah yang tendensius dan bermotif “perang keyakinan”. Tahun baru 01 Januari harus ditempatkan dalam konteks tradisi dan budaya yang—kebetulan—didominasi oleh pandangan global (global view) di berbagai belahan dunia.
Hal lain yang perlu dipahami dan dicermati lebih obyektif dan kritis adalah, bahwa setiap pergantian tahun baru (apapun itu dan dari tradisi dan agama apapun), hakikatnya itu hanya mengikuti “garis edar alam” yang bersifat kuantitatif: hanya beberapa detik melewati pukul 00.00; sehingga hakikatnya tidak berpengaruh terlalu signifikan pada situasi dan kondisi setiap insan yang merayakannya. Pergantian tahun baru hanya menyisakan kenangan semalam, mencetak memori sesaat, dan membangun energi instan.
Saat Tahun Baru Masehi tiba, umat Islam di seluruh dunia juga merayakan momen pergantian tahun ini. Bagi umat Islam, perayaan ini bukan hanya sekadar merayakan awal tahun baru dalam kalender Masehi, tetapi juga menjadi kesempatan untuk merenung dan meningkatkan spiritualitas sesuai ajaran Islam.
Sebagian besar umat Islam melihat Tahun Baru Masehi sebagai waktu yang tepat untuk introspeksi diri, mengevaluasi perjalanan spiritual dan pencapaian di tahun sebelumnya, serta merencanakan perbaikan dan peningkatan di tahun yang akan datang. Berikut adalah beberapa cara memaknai Tahun Baru Masehi menurut ajaran Islam:
1. Bersyukur : Kita umat Islam diajarkan untuk selalu bersyukur atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan Allah SWT. Oleh karena itu, Tahun Baru Masehi dapat dijadikan momen untuk merenung tentang nikmat-nikmat yang telah kita terima dan menyampaikan rasa syukur kita kepada Allah. Selama perayaan Tahun Baru Masehi, umat Islam dapat merayakan dengan penuh kesyukuran, kegembiraan, dan kepedulian terhadap sesama, maka hal itu bisa menjadi sikap yang positip. Nah. Dengan memadukan tradisi perayaan tahun baru Masehi dan nilai-nilai Islam, umat Islam dapat menjalani tahun baru dengan penuh makna dan tujuan spiritual.
2. Taubat : Memaknai awal tahun baru dapat dijadikan momentum refleksi dan peningkatan Spiritual dengan melakukan taubat. Bertaubat kepada Allah adalah praktik amalan hati yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ini merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan dosa-dosa yang telah dilakukan dan berkomitmen untuk memperbaiki diri di masa yang akan datang. Memulai tahun baru dengan doa dan munajat kepada Allah SWT adalah cara umat Islam memohon petunjuk dan perlindungan-Nya di setiap langkah hidup. Doa ini juga mencakup permohonan ampunan, kekuatan, dan kemudahan dalam menjalani tahun yang baru. Memaknai tahun baru juga berarti bertambahnya usia. Kita umat Islam diajarkan untuk menghargai setiap waktu yang diberikan oleh Allah dan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk berbuat kebaikan dan beribadah.
3. Renungan Spiritual : Kita umat Islam juga dimotivasi untuk melakukan renungan spiritual, memikirkan tujuan hidup, dan menetapkan resolusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini dapat mencakup peningkatan dalam ibadah, kebaikan sosial, dan pengembangan pribadi. Dengan meningkatkan zakat, infaq dan shadaqah dapat menjadi kesempatan untuk meningkatkan amal ibadah. Memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan adalah bagian penting dari ajaran Islam, dan perayaan tahun baru dapat menjadi momen untuk berbagi keberkahan dengan sesama.
Bukankah mempersiapkan diri demi mencapai masa depan yang cerah itu diperintahkan Tuhan. Dalam QS al- Hasyr ayat 18 Allah SWT memerintahkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang (telah) diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr [59: 18).
Dari ayat tersebut di atas dapat diperoleh pelajaran,
Pertama bahwa bekal utama untuk mengisi masa depan (termasuk dalam menyongsong tahun baru) adalah takwa. Takwa menjadi bekal terbaik bagi kita dalam mengisi kehidupan sehari-hari (QS al-Baqarah [2]: 197).
Semua aktivitas yang kita lakukan harus bermuara pada satu identitas, yakni identitas takwa. Takwa diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan segala dari apa yang diperintahkan Allah SWT dan berusaha dengan sungguh-sungguh pula dalam menjauhi segala yang dilarang oleh Allah SWT. Maka orang-orang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang-orang yang menjalankan perintah-perintah Allah SWT, takut terhadap siksa-Nya, serta menjauhi maksiat kepada-Nya.
Kedua, Pentingnya bermuhasabah (introspeksi diri). Muhasabah diartikan sebagai upaya dalam menghitung dan mencermati apa-apa yang telah dilakukan di masa lampau dan mempersiapkan diri untuk masa yang akan datang. Maka terkait dengan bermuhasabah, Nabi SAW bersabda: “Hasibu anfusakum qabla an tuhasabu (Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab).” (HR Tirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).
Dengan demikian, dua hal di atas kiranya tepat apabila dijadikan pegangan oleh kita dalam menyongsong tahun baru ini sehingga apa-apa yang akan kita lakukan di masa depan dapat sesuai dengan arah dan tujuan yang diridai Allah SWT. “Barang siapa yang hari sekarang lebih baik dari pada hari kemarin, maka ia termasuk orang-orang yang beruntung. Barang siapa yang hari sekarang sama dengan hari kemarin, berarti ia adalah orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari sekarang lebih buruk dari pada hari kemarin, maka ia termasuk orang yang terlaknat.”
*ed/ pjmi/ wi
Views: 5