Oleh Aswar Hasan
Setiap Tanggal 1 Februari kaum muslimat sedunia memeringatinya sebagai Hari Hijab Sedunia atau World Hijab Day. Ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesadaran global tentang hijab serta membela hak perempuan muslim untuk mengenakan hijab tanpa diskriminasi.
Hari Hijab Sedunia pertama kali diperingati pada 1 Februari 2013 sebagai bentuk penghormatan kepada jutaan wanita Muslim yang memilih mengenakan hijab dan menjalani kehidupan dengan prinsip kesederhanaan serta kesopanan.
Penggagas gerakan ini adalah Nazma Khan, seorang aktivis asal Bangladesh yang dibesarkan di New York, yang ingin mendorong kebebasan berekspresi dalam beragama serta meningkatkan pemahaman antarbudaya. Ia mengundang perempuan dari berbagai latar belakang untuk merasakan pengalaman mengenakan hijab selama satu hari setiap tanggal 1 Februari. Melalui gerakan ini, dia berharap bisa mengatasi berbagai kontroversi mengenai alasan muslimah memilih berhijab.
Diperkirakan lebih dari 150 negara turut memperingati Hari Hijab Sedunia setiap tahunnya. World Hijab Day juga memiliki banyak sukarelawan dan duta dari berbagai kalangan di seluruh dunia.
Sejak berdirinya, World Hijab Day telah meraih banyak pencapaian penting. Salah satunya adalah pengakuan resmi oleh Negara Bagian New York sejak tahun 2017. Pada tahun yang sama, House of Commons di Inggris menyelenggarakan acara untuk memperingati hari tersebut, di mana mantan Perdana Menteri Inggris Theresa May juga turut hadir. Acara ini diselenggarakan oleh Tasmina Ahmed-Sheikh, anggota parlemen SNP untuk Ochil dan South Perthsire.
Pada tahun 2018, Parlemen Skotlandia juga menyelenggarakan pameran selama tiga hari untuk memperingati Hari Hijab Sedunia. Banyak politisi termasuk Nicola Sturgeon, Mantan Menteri Pertama Skotlandia, menunjukkan dukungannya terhadap Hari Hijab Sedunia. Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Filipina mengesahkan rancangan undang-undang dalam pembacaan kedua untuk menetapkan tanggal 1 Februari sebagai Hari Hijab Nasional di Filipina (Republika, 1/2- 2025). Pertanyaannya, bagaimana di Indonesia?
TANTANGANYA DI INDONESIA
Meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas Muslim, hijabers tetap menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Masalah ini tidak hanya terkait dengan aspek agama, tetapi juga mencakup sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Beberapa perusahaan di industri perhotelan, penerbangan, dan hiburan menerapkan kebijakan melarang karyawati berhijab. Misalnya, beberapa maskapai penerbangan internasional yang beroperasi di Indonesia dulu melarang pramugarinya mengenakan hijab. Meskipun aturan itu, tidak dinyatakan secara resmi.
Di samping itu, ada anggapan bahwa perempuan berhijab kurang fleksibel atau tidak cocok untuk posisi tertentu, terutama di industri kreatif atau perbankan. Padahal, profesionalitas seharusnya tidak diukur dari penampilan. Di sisi lain, di komunitas tertentu, ada perempuan yang terpaksa memakai hijab karena tekanan sosial atau norma budaya, bukan karena kesadaran pribadi. Ini menimbulkan konflik batin bagi mereka yang belum siap.
Sebaliknya, di kalangan hijabers muda, muncul tekanan untuk selalu tampil modis mengikuti tren. Ini menciptakan standar kecantikan baru yang justru bisa membuat perempuan merasa kurang percaya diri jika tidak memiliki akses ke fashion hijab yang “trendy.”
Sementara itu, dalam beberapa konteks, hijab digunakan sebagai alat untuk menunjukkan identitas politik atau ideologi tertentu. Misalnya, hijab sering dikaitkan dengan kelompok Islam konservatif atau menjadi bagian dari kampanye politik. Hal ini berisiko menghilangkan makna personal dan spiritual hijab, bahwa hijab adalah kewajiban individual yang bersifat imaniah.
Beberapa daerah di Indonesia menerapkan aturan wajib berjilbab di sekolah negeri atau instansi pemerintah, bahkan untuk siswa non-Muslim. Ini menciptakan kontroversi soal kebebasan beragama dan hak individu.
Hijab telah menjadi industri bernilai miliaran rupiah di Indonesia. Brand besar berlomba-lomba menjual hijab dengan harga tinggi, menciptakan kesenjangan antara makna religius dan tren komersial. Sementara itu, banyak influencer hijab yang mendapatkan sorotan karena penampilan mereka, tetapi terkadang mereka hanya diposisikan sebagai “pajangan” tanpa benar-benar memperjuangkan isu-isu perempuan Muslimah.
HIJAB SYAR’I VS HIJAB GAUL
Hijabers yang mengenakan hijab modis sering dianggap tidak cukup religius, sementara yang mengenakan hijab syar’i dianggap terlalu konservatif. Pola pikir ini menciptakan pembelahan sosial di antara perempuan Muslim sendiri. Akibatnya, di media sosial, hijabers kerap menjadi sasaran komentar negatif, baik dari kelompok konservatif maupun liberal. Mereka bisa dikritik karena dianggap terlalu tertutup atau justru terlalu “gaul.” Media sering menyoroti hijabers hanya dari sisi visual tanpa menggali lebih dalam tentang prestasi, pemikiran, dan kontribusi mereka di masyarakat.
Perlu ruang aman untuk Hijabers karena hijabers di Indonesia bukan hanya soal pakai atau tidak pakai hijab, tetapi tentang bagaimana perempuan Muslim memiliki kebebasan, keamanan, dan dukungan untuk menjalani pilihan mereka tanpa tekanan sosial, diskriminasi, atau politisasi.
Berhijab seharusnya menjadi pilihan sadar yang dilindungi. Berhijab sebagai kewajiban syar’i. Mayoritas ulama, baik dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hanbali, sepakat bahwa menutup aurat, termasuk dengan berhijab bagi perempuan, adalah bagian dari kewajiban dalam syariat Islam. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis. Beberapa ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan rujukan adalah, Surah An-Nur (24:31):
“…Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya, menjaga kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” Dan, Surah Al-Ahzab (33:59):
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu…”
Persatuan hijaber diharapkan mampu memperkuat hubungan sesama Muslimah tanpa terpecah karena perbedaan latar belakang, pandangan, atau gaya berhijab. Mereka seharusnya saling menguatkan Identitas dan kebanggaan sebagai muslimah. Bersatu dalam komunitas hijaber dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk tetap teguh menjalankan syariat Islam, sekaligus menunjukkan bahwa hijab adalah simbol kemuliaan, bukan sekadar tren. Untuk itu, mereka perlu untuk saling mendukung dalam kebaikan:
Persatuan tersebut perlu umtuk saling mendorong, menginspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, baik dalam hal ibadah, akhlak, maupun kontribusi positif di masyarakat. Perlu hijaber bersatu dalam menghadapi stigma, diskriminasi, atau tantangan di lingkungan yang mungkin kurang memahami makna hijab. Solidaritas tersebut, perlu untuk membantu memperjuangkan hak-hak mereka dengan penuh martabat.
Seruan persatuan ini juga mengajak hijaber untuk aktif di berbagai bidang—pendidikan, bisnis, sosial—dengan tetap memegang teguh nilai-nilai Islam. Seruan ini seharusnya disampaikan dengan semangat persatuan yang penuh cinta, jauh dari sikap menghakimi, agar bisa merangkul semua Muslimah dari berbagai latar belakang. Wallahu a’ lam bisawwabe.
*wa/ pjmi/ wi/ nf/ 020225