KINERJA TANPA INDIKATOR, KOK BISA DINILAI? PASTI KINERJA ALA ‘NETIZEN PLEASER’

Posted by : wartaidaman 03/02/2025
 
WARTAIDAMAN.com 

 

 

Oleh: H. J. Faisal

Apa Dasar Evaluasinya?

Banyak pihak yang mengevaluasi hasil kerja 100 hari rezim pemerintahan saat ini. Bahkan, banyak pihak juga yang berani menilai kinerja para menteri yang berkategori baik, sedang, dan buruk.

Entahlah, pastinya para penilai itu mempunyai dasar penilaian ilmiah sendiri-sendiri, atau mungkin juga penilaiannya hanya didasarkan kepada pendapat para netizen belaka.

Namun jika model dasar penilaiannya didasarkan kepada kemungkinan yang kedua tadi, maka yang terjadi adalah ibarat penilaian yang dilakukan oleh orang-orang buta terhadap seekor gajah, ada yang menyebut gajah bentuknya lebar, karena secara kebetulan orang buta tersebut hanya memegang telinganya saja, dan ada yang menyebut gajah bentuknya panjang, karena orang buta tersebut secara kebetulan hanya memegang belalainya saja, dan begitu seterusnya.

Bagi saya pribadi, hasil kerja 100 hari rezim pemerintahan saat ini, tetap tidak bisa dinilai secara objektif. Bahkan sampai mereka selesai memerintah 5 tahun kedepan pun tetap tidak bisa dinilai.

Begini…..

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena sesuatu yang dapat dinilai, harus ada dasar atau indikator untuk penilaiannya, bukan?

Dan indikator penilaian kinerja pemerintah Indonesia adalah berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD)1945 (yang sayangnya telah diamandemen menjadi Undang-Undang Dasar 2002), yang seharusnya dituangkan secara teknis ke dalam sebuah Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Nah, dari dua indikator negara yang utama itulah, baru kita bisa menilai hasil kerja para penyelenggara pemerintahan ini, baik, sedang, atau buruk, sesuai atau tidak dengan UUD nya, dan sesuai atau tidak dengan GBHN nya….?

Jadi, jika di negara ini tidak memiliki indikator penilaiannya, seperti UUD dan GBHN, bagaimana kita mendapatkan kategori baik, sedang, atau buruk tersebut?

Sebagai contoh, seperti yang kita ketahui bersama, beberapa faktor utama dari kekacauan negara yang terjadi selama era reformasi ini, terutama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini adalah karena pemimpin rezim pemerintahan yang bodoh, toxic, dan manipulatif (sebut saja….Bunga…ooh bukan, tetapi sebut saja…Mulyono), dan juga disebabkan karena tidak adanya landasan kerja negara jangka panjang (seperti UUD dan GBHN), yang seharusnya menjadi indikator kinerja pemerintahan tersebut.

Justru yang saat ini terjadi hanyalah kebijakan-kebijakan yang bersifat ‘dadakan’ (seperti proses membuat tahu bulat) dan subjektif, dari pemimpin rezim yang bodoh dan manipulatif, yang selalu bertentangan dengan konstitusi UUD negara itu sendiri, bahkan sampai merugikan rakyat, dan celakanya ‘diaminkan’ dan didukung pula oleh para politisi partai pendukung rezim, yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan didukung pula oleh para oknum aparatur keamanan negara dengan pangkat di pundak yang bertabur ‘bintang’.

Dan yang seperti kita ketahui, tentu saja kebijakan-kebijakan subjektif tersebut pastinya hanya akan menguntungkan pihak rezim dan kroninya saja, tanpa memperdulikan bagaimana nasib rakyat yang terkena akses dari kebijakannya tersebut.

Dan dengan bersembunyi di belakang label demokrasi ekonomi dan label ‘kepentingan negara’, sesungguhnya pemimpin rezim pemerintah negeri ini telah memberikan kesempatan yang luas kepada banyak korporasi besar untuk melakukan ‘tukar tambah’ dengan potensi kekuasaan yang dimilikinya. Dan inilah definisi korupsi dan kolusi yang sebenarnya.

Bahkan, hanya karena ingin menyelamatkan muka dan proyek pemimpin rezim, maka kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat menjadi taruhannya.

Tanpa kajian dan analisa yang jelas, seenaknya saja pemimpin rezim melakukan transaksi pertukaran lahan milik rakyat yang sah dengan para korporasi besar tersebut, dengan cara pengambilalihan paksa tanah milik rakyat, yang secara sah menurut hukum, dan telah mereka tinggali seumur hidup mereka.

Itulah yang terjadi di daerah IKN (Ibu Kota Nusantara). Itulah yang terjadi di daerah Rempang. Itulah yang terjadi di Pantai Indah Kapuk (PIK 2). Itulah yang terjadi di laut yang dipagari bambu di Tangerang, Karawang, dan Surabaya. Dan itulah berbagai macam kekacauan dan ‘keanehan’ yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Rezim Netizen Pleaser

Itu jika kita bicara tentang rezim pemerintah yang lalu.

Bagaimana dengan rezim pemerintah yang saat ini sedang berkuasa?

Alhamdulillah, menurut saya, cara kerja rezim pemerintahan yang saat ini sedang berkuasa……ya sama saja.

Pemimpin rezim saat inipun banyak mengeluarkan pernyataan yang sangat subjektif, tanpa konsep, dan sepertinya pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan, hanya untuk memberikan harapan sesaat kepada masyarakat, yang saat ini mayoritas bergelar ‘netizen’.

Begitupun dengan para pembantunya, baik menteri, utusan khusus, staf khusus utusan khusus, atau bahkan staf khusus utusan khusus yang lebih khusus lagi. Semuanya ingin terlihat publik dengan ‘kebijakan-kebijakan’ mereka yang seakan-akan memihak kepada rakyat.

Bagi mereka, mungkin semakin terlihat publik dengan ‘kebijakan-kebijakan baik’ tersebut, maka ada harapan untuk dinilai baik oleh rakyat….oooh maaf, maksudnya oleh para netizen.

Mengapa negara sebesar ini dipimpin dan dijalankan oleh mereka yang hanya ingin menjadi ‘Netizen Pleaser’, ya?

Fenomena kehadiran para netizen baik atau netizen ‘putih’ sebagai ‘watch dog’ untuk menilai kinerja para aparatur negara saat ini, memang patut kita syukuri.

Hal ini dikarenakan rapuhnya kepercayaan rakyat yang menjelma menjadi netizen, terhadap lembaga-lembaga pengawas kinerja di pemerintahan itu sendiri, mulai dari inspektorat di masing-masing kementrian, lembaga keamanan sipil negara, seperti Polisi, komisi Ombudsman, bahkan sampai kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR, yang justru malah sering ‘melindungi’ dan menjadi kakitangan dari kegagalan kinerja para sesama aparatur negara.

Maka tidaklah aneh, jika saat ini banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang selalu membuat survey abal-abal untuk menilai hasil kinerja mereka sendiri. Sudah jelas kinerjanya sangat buruk dan sangat merugikan rakyat, tetapi mereka tidak tahu malu dengan mengatakan bahwa rakyat puas dengan hasil kinerja mereka, berdasarkan hasil survey abal-abal buatan mereka sendiri tersebut.

Tentu saja hal ini dilakukan untuk menghindari cacian dan ‘rujakan’ para netizen baik terhadap kinerja mereka yang buruk, dan mengandalkan pujian para netizen hitam, alias para buzzer mereka sendiri.

Ternyata, banyak sekali lembaga pemerintahan dan para pejabatnya yang berprofesi ganda sebagai pelawak juga di negeri ini.

Padahal sejatinya, sebuah kebijakan publik seharus mempunyai dasar hukum dan dasar etika yang kuat. Bukan hanya sekedar diingat di kepala….kemudian langsung diucapkan, atau dikerjakan jika sudah diviralkan oleh para netizen.

Dan bukan juga kebijakan yang berasal dari pesanan korporasi yang meminta balas jasa atas modal yang sudah mereka keluarkan untuk pemimpin rezim dan para politisi yang menang pemilihan umum dan kini berkuasa, dan bukan pula kebijakan yang berasal dari tekanan negara asing yang telah banyak berjasa memberikan hutangan kepada negara.

Perlu sebuah analisa yang mendalam untuk mengambil berbagai macam kebijakan yang bersifat publik.

Prosedur Pengambilan Kebijakan Publik Yang Ideal

Proses prosedural sederhananya adalah sebagai berikut, ketika sebuah perencanaan kebijakan akan dibuat, maka langkah awalnya adalah menentukan visi dan misi kebijakan tersebut, yang pastinya harus mementingkan ‘Public Domain’, alias kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat itu sendiri.

Setelah visi dan misi mulia tersebut dibuat, kemudian menentukan program khususnya, barulah menentukan kebijakan teknisnya dengan segala macam sektor yang mendukungnya, seperti sarana prasarana dan pendanaannya. Setelah konsep semua itu selesai, barulah menentukan siapa pelaksana atau eksekutor dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Tentu idealnya, pelaksananya adalah pribadi-pribadi yang memang jelas kualitas kapasitas dan kapabilitasnya, jelas proses fit and proper test nya, bukan pesanan atasan, dan pastinya bukan calon koruptor atau memiliki pengalaman sebagai koruptor.

Setelah semuanya dilakukan, barulah kebijakan tersebut dieksekusi untuk kepentingan publik, dan dievaluasi secara berkala.

Secara akademis, penilaian yang dilakukan terhadap sebuah kinerja agar mendapatkan penilaian yang objektif, adalah dengan mengikuti alur metode epistimologi yang telah ada, yaitu membuat sebuah konsepsi, kemudian melahirkan sebuah teori awal, dan dari teori awal tersebut maka akan muncul sebuah model penilaian, kemudian dari model tersebut akan muncul berbagai macam variabel.

Dan untuk memastikan keabsahan dari variabel-variabel tersebut maka dibuatlah berbagai macam indikator sebagai patokan untuk menguji kembali data-data yang didapat, untuk mendapatkan sebuah teori akhir yang lebih kuat keabsahannya atau kebenarannya.

Selain dari sisi prosedur konsepsi yang matang, sebuah kebijakan publik juga harus memperhatikan dasar legalitasnya, sesuai dengan konstitusi dan perundangan yang berlaku atau tidak, melanggar hukum, norma dan etika yang berlaku atau tidak. Karena sejatinya, nilai dari sebuah hukum bukan saja dilihat dari sisi afirmatif positifnya saja, tetapi juga harus memperhatikan sisi norma, etika, dan moral.

Setelah itu, diperlukan juga penilaian tentang bagaimana tingkat kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan atau keputusan tersebut, bahkan harus dinilai juga bagaimana kualitas keprofesionalan, kecerdasan dan pengetahuan para eksekutor kebijakan tersebut.

Harus juga ada penilaian proporsional terhadap kebijakan tersebut, sesuai dengan apa yang diperlukan oleh publik atau tidak, dan terkahir dan terpenting adalah menilai keberpihakan kebijakan tersebut, apakah memihak kepentingan publik atau kepentingan korporasi.

Lebih idealnya lagi, ketika seluruh kebijakan atau keputusan-keputusan tersebut memang didasarkan kepada UUD negara dan GBHN sebagai indikator nasional yang memang dibuat sebagai panduan kebijakan yang memihak kepentingan publik/rakyat dalam jangka panjang, agar bangsa dan negara ini tidak tersesat lebih lama dan lebih dalam lagi.

Penutup

Sebagai penutup, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan.

Kira-kira, kapan negeri tercinta kita ini akan memiliki seorang pemimpin yang berjiwa negarawan, yang cerdas, bijak, dan paham tentang tata cara bernegara yang sehat?

Bukan pemimpin kaleng-kaleng yang selama ini ada di era reformasi, era yang sudah kita semua jalani sejak 27 tahun yang lalu……

Dan bukan juga pemimpin yang sekedar menjelma menjadi ‘Netizen Pleaser’, sehingga lebih takut dengan ‘temuan’ netizen, yang terkadang disertai dengan penilaian yang tidak jelas dasar hukumnya, dibandingkan takut dengan Tuhannya, hukum positif yang sebenarnya, dan juga sumpah jabatannya.

Mari kita mulai bermimpi untuk itu. Bukankah segala sesuatu yang besar, berawal dari mimpi?

Dan untuk mendapatkan banyak mimpi, maka kita harus banyak tidur, bukan?

Jadi, selamat tidur dan tidur semuanya…dan semoga tidak bermimpi buruk.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 2 Februari 2025

 

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Washliyah.
RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *