PENTINGNYA MENJADI ORANG BAIK (صاليح)

Posted by : wartaidaman 19/02/2025

 

WARTAIDAMAN.com 

 

Dr.H.M.Suaidi,MAg.

 

Setiap manusia tentu ingin menjadi orang yang baik. Karena sejatinya kehidupan akan membaik ketika manusia pun juga memulai kebaikan dari dirinya sendiri terlebih dahulu.
Kebaikan yang selalu mereka dambakan, bukanlah tak berarti. Melainkan kebaikan itulah yang akan membantu mereka meraih ridho Allah Ta’ala. Karena Allah adalah dzat Yang Maha Baik, maka Allah juga mencintai hamba yang baik.

Dalam kitab Nashoihul Ibad, Karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang merupakan syarah atas kitab Syekh Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Asqolani (Ibnu Hajar Al-Asqolani) dijelaskan, terdapat tiga kriteria seorang hamba yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang yang baik.

Syekh Nawawi berkata

1. Ketika Allah menghendaki seorang hamba untuk menjadi orang baik, maka Allah menguatkan agamanya.

Ciri yang pertama adalah agama seorang hamba tersebut dikuatkan oleh Allah. Dikuatkanlah keimanannya. Sehingga hamba tersebut tetap teguh menapaki jalan kebaikan, meskipun godaan malang melintang. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik maka dikuatkanlah ia dalam perkara agama.

2. Dizuhudkanlah hamba tersebut didalam perkara dunia.

Hamba yang baik, adalah hamba yang tidak tergiur sedikitpun akan gemerlap dunia. Ia berpikir bahwa dunia hanyalah tempat singgah semata. Hanya perkara yang fana. Hamba yang baik hanya mengingat satu perkara, yaitu janji Allah akan kehidupan akhirat yang kekal adanya.
Pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai era salafussalih, banyak sekali orang yang masih menjalani hidup dengan zuhud. Bahkan pada masa salafussalih, banyak terlahir ulama-ulama yang zahid (zuhud), diantaranya Imam Ghazali, Imam Atho’illah, Ibrahim ad-Dahm, Sufyan ats-Tsauri, Hasan Basri, sampai seorang zahid perempuan, yaitu, Rabi’ah al-Adawiyah dan masih banyak lagi. Hal ini tidaklah mustahil, karena penjelasan tentang masa/era, pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. Dimana beliau bersabda “Orang-orang Mukmin yang terbaik adalah Mukmin pada masa-ku, kemudian masa sahabatku, lalu pada masa pengikut sahabatku (tabi’in) dan seterusnya.

Perilaku zuhud yang dijalani oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in sangat berbeda-beda. Karena disamping perbedaan masa, juga karena kemampuan dan godaan yang ada di masanya yang berbeda. Namun, hakekat zuhudnya hampir sama yaitu menjauhkan diri dari sifat keduniawian.

Berbicara zuhud pada zaman sekarang ini, sangat sulit menebak siapa yang zahid dan sulit menjalankannya. Akan tetapi, beberapa tokoh zahid pada masa sekarang tidaklah sedikit, cuma sulit mendeteksi secara gamblang ulama-ulama yang zahid tersebut. Menurut saya sendiri, ada beberapa ulama yang familiar yang masih berperilaku zuhud, diantaranya alm. Gusdur, alm. Mbah Liem, Habib Luthfi dan masih banyak lagi yang tidak saya sebut satu persatu.

Ada salah satu maqolah ulama yang menjelaskan, bahwa zuhud pada zaman sekarang ini sangat sulit diterapkan seperti halnya zuhud-zuhud pada masa dahulu. Karena disamping zaman yang berbeda juga penerapan yang sedikit berubah. Perilaku zuhud tidaklah harus dengan platform (model) yang bernuansa sufisme, seperti pakaian yang kusam, memakai jubah yang sederhana, berpola tingkah seperti orang miskin dan lain sebagainya. Namun, yang lebih penting dari sikap zuhud adalah kesucian hati dan kebersihan jasad dari hal-hal yang haram serta berhati-hati (wira’i) dalam menikmati dunia dan menjalani hidup.

Contohnya, ketika seseorang ingin berperilaku zuhud pada masa sekarang, maka tidaklah sulit, hanya cukup dengan memiliki dunia dan tidak mencintainya. Artinya apa, ketika seseorang memiliki sejumlah uang dan tiba-tiba ada orang yang ingin meminta zakat/sedekah atau orang yang lebih membutuhkan atau untuk fi sabilillah, maka uang tersebut harus diberikannya berapa pun nominalnya. Sebab, dengan menanamkan sikap loman (dermawan) maka akan muncul sikap zuhud dengan sendirinya. Atau dengan kata lain, zuhud dalam arti yang sederhana adalah memiliki harta dunia tanpa mencintainya.

Dan contoh ini pernah diterapkan oleh alm. Gusdur. Ceritanya, pada suatu waktu al marhum Gusdur tidak punya uang sepeser pun, kemudian beliau berniat meminjam uang untuk keperluan keluarganya pada salah seorang teman sesama pengurus PBNU. Setelah beliau mendapatkan pinjaman 2,5 juta, tak disangka, datanglah seseorang yang bertamu ke rumah beliau untuk meminjam uang, lalu tanpa sungkan (eman-eman) beliau berikan uang hasil pinjaman dari temannya itu sebesar 1,5 juta dan sisanya beliau pakai untuk keperluan hidupnya. Subhanallah

Maka dari itu, di saat kita memiliki harta dunia dan bersamaan dengan itu, ada orang lain yang lebih membutuhkan atau untuk fi sabilillah, maka kita berusaha tidak sungkan-sungkan (eman-eman) untuk menyerahkannya secara ikhlas pada orang dan fi sabilillah tersebut. Itulah zuhud dalam arti yang paling ringan, mudah dan sederhana.

3. Dan diperlihatkanlah aib-aib dalam dirinya sendiri.
Hamba yang baik tidak sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna. Mencari-cari aib sesamanya. Membicarakan keburukan orang lain. Terlebih, merasa dirinya lebih baik dan memandang orang lain terlalu buruk. Sungguh, hal tersebut jauh dari diri seorang hamba yang baik. Hamba yang baik adalah hamba yang tidak pernah membicarakan keburukan orang lain.
Ia oleh Allah disibukkan dengan aib-aib pribadinya. Ia disibukkan dengan berintrospeksi diri, Muhasabatun Nafsi. Mencari-cari kekurangan diri sendiri untuk kemudian ia perbaiki agar kelak ia benar-benar menjadi hamba yang baik. Hal ini senada dengan perkataan ulama ahli hikmah:

Beruntunglah bagi orang yang disibukkan dengan aib pribadinya dari pada aib-aib manusia.” Terlepas dari itu semua, Ba’dul Hukama’, sebagian ulama ahli hikmah juga menerangkan bahwa sesungguhnya manusia sudah bisa meraba-raba nasibnya apakah ia ditakdirkan manjadi orang baik atau sebaliknya yaitu dengan melihat aktifitas sehari-harinya. Apakah ia dimudahkan dalam kebaikkan ataukah tidak. Jika iya, maka ia benar-benar ditakdirkan menjadi orang baik. Karena mereka (ulama ahli hikmah) berkata:

Tiap-tiap manusia itu dimudahkan untuk apa ia diciptakan.

Jadi, ketika seorang hamba selalu diliputi dengan kebaikan-kebaikan, maka beruntunglah manusia itu. Ia ditakdirkan menjadi orang baik. Allah berfirman dalam al Qur’an :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Hasyr ayat 18).

Sayyidina Umar RA, kata Imam Al-Ghazali, menganjurkan kita untuk melakukan muhasabah. Hendaklah kalian lakukan muhasabah atas diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah perbuatan kalian sebelum ia kelak ditimbang. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M], juz IV, halaman 419).

Muga bermanfaat.

 

 

 

 

*aw/ pjmi/ wi/ nf/ 190225

Views: 13

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *