
WARTAIDAMAN.com
Oleh Hamid Basyaib
SUATU sore menjelang pemilu legislatif 2004, Fikri Jufri meminta saya datang ke rumahnya. Ia ingin membahas strategi kampanye untuk pencalonannya dari Partai Indonesia Baru (PIB).
Ia, bersama sahabatnya Sabam Siagian dan Rosita Noer, memang meminta saya menjadi konsultan mereka — dari sini pula saya paham bahwa generasi mereka, yang menghabiskan seluruh masa dewasa melalui pemilu-pemilu yang penuh rekayasa, nyaris tak mengerti politik elektoral (misalnya, apa saja yang harus mereka siapkan untuk kampanye agar dipilih oleh konstituen).
Di tengah obrolan di rumahnya yang nyaman di Kayu Jati, Jakarta Timur itu, telepon berdering. Rupanya dari Sabam Siagian, mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post dan bekas duta besar RI di Australia. Tiba-tiba Fikri berkata-kata dengan suara keras.
“Ada-ada aja si Sabam,” katanya, setelah kembali ke meja obrolan. “Kok mau minta sumbangan buat beli 40 ekor babi untuk kampanye dia di Papua. Gua bilang, ‘Bam, gua ini gini-gini juga Al Jufri, bukan Al Capone! Kalo lu minta beliin sapi, gua beliin! Kalo minta babi sih, entar dulu, deh!”
Frase itu, yang menegaskan nama marganya (dan dengan demikian keislamannya), yang ia kontraskan dengan raja gangster Italia-Amerika di tahun 1930an yang juga bernama depan “Al”, digemakannya lagi di sebuah ruang sidang DPR, membuat seluruh ruangan bergemuruh oleh tawa semua orang.
Jauh kemudian, ketika ia mengunjungi Sabam di ranjang kematiannya, sahabatnya itu memegang lengan Fikri, dan berkata lirih: “Fik, terima kasih untuk persahabatan selama 55 tahun…”
Siapapun yang pernah bersahabat dengan Fikri pantas mengucapkan kalimat yang sama. Bahkan ketika temperamennya meninggi, sambil mengomentari orang atau peristiwa tertentu, kekocakan dan kehangatan persahabatannya tetap menyenangkan.
Maka dalam suatu obrolan sambil makan malam di rumah seorang kawan, Bung Sjahrir, sambil terkekeh — untuk lelucon sama yang diceritakan Fikri untuk ke lima kali — berkomentar, “Kalau Fikri sudah nggak ada, Jakarta bakal sepi.” Beberapa tahun kemudian ekonom mashur dan Ketua Umum PIB itulah yang pergi mendahului.
***
Fikri Jufri bukan hanya storyteller jempolan, juga melalui tulisan-tulisan ekonominya yang enak dan mudah dicerna — termasuk untuk pokok-pokok APBN yang karakternya membosankan — tapi juga kawan yang selalu sungguh-sungguh berusaha menolong hingga masalah yang dikeluhkan tuntas.
Tak lama setelah tsunami Aceh yang amat memilukan, saya mengontaknya untuk minta dicarikan sumber dana buat membangun sekolah darurat di sana bersama beberapa teman. Saya bilang, banyak sekolah yang hancur di Aceh, dan untuk membangunnya kembali tentu butuh waktu.
Maka solusi yang cepat dan paling masuk akal adalah membangun sekolah darurat. Tim kawan saya sudah menyiapkan konsepnya. Yang kami perlukan hanya dana — dan aspek ini tak pernah “hanya”.
Ia menyimak serius, dan tiba-tiba, di restoran sebuah hotel, seseorang menyapanya dengan akrab. Fikri menyambutnya dan spontan menyampaikan masalah dana sekolah darurat itu. Orang itu meminta kami datang ke kantornya besok siang — dan Fikri tidak tahu siapa dia (ternyata setelah ia ingat-ingat adalah pengusaha tambang batu bara yang sangat kaya).
Kami lalu diberi cek Rp 30 juta, dan itulah modal awal sekolah darurat. Lalu manajemen sekolah tenda itu berkembang menjadi sekolah Yayasan Sukma Bangsa, yang dibiayai oleh para pemirsa MetroTV. Fikri tak pernah tahu: ia berkontribusi dalam menyemai benih awal sekolah itu.
***
Sebagai aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), ia ikut menggencarkan demonstrasi di masa yang bergolak pada pertengahan 1960an, bersama tokoh-tokoh KAPPI (kesatuan aksi) seperti Husni Thamrin. Di tengah semangat anti-PKI-RRC, ia dan kawan-kawan menduduki gedung konsulat RRC di Petamburan Jakarta, yang ditinggal pulang ke Peking oleh para pejabat penghuninya.
Gedung itu seperti rumah besar dengan banyak kamar. Ia pun mendapat jatah sebuah kamar, dan mereka memperlakukan gedung itu seperti rumah sendiri. Teman-temannya rutin melihatnya datang dan pergi ke gedung itu dengan jip Willys tua bersama seekor anjing kampung kurus piaraannya, yang selalu duduk melongo di jok mobil di sampingnya.
Salah satu tetangga kamar di gedung itu kemudian melanjutkan militansi hingga puluhan tahun kemudian, dan dikenal sebagai tokoh Islam garis keras, Abdul Qadir Djaelani.
Ia sendiri, setelah situasi tak memerlukan lagi kartu anggota KAPPI dan jaket kuning UI, memasuki kancah jurnalistik — tanpa sengaja. Ia sering datang ke kantor redaksi “Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)” karena semua pengelola koran empat halaman itu adalah kawan-kawannya.
Suatu sore ia mampir dan menceritakan peristiwa yang baru saja dilihatnya di perjalanan. Pemimpin Redaksi Nono Anwar Makarim memintanya menuliskan peristiwa itu. Ia pun menulis sebisa-bisanya. Sore itu ia seperti dibaptis menjadi wartawan — kelak menjadi profesi satu-satunya yang ia tekuni sepanjang hayat.
Manajemen “Harian KAMI”, yang tak pernah longgar dalam urusan dana, bisa memanfaatkan tenaga Fikri dengan murah dan, yang terpenting, ia punya Vespa yang membuatnya gesit bergerak untuk menjalankan kerja jurnalistik.
Dari awal yang tak sengaja itu ia kemudian menjalankan kewartawanan dengan sepenuh kesungguhan, lalu menjadi besar, dalam banyak aspeknya, bersama majalah Tempo yang turut didirikannya. Sebagai reporter ia punya daya tembus yang hebat, berkat keluwesan dan keluasan jaringan pertemanannya.
Ia, misalnya, menjadi wartawan yang mampu meyakinkan Ibnu Sutowo untuk wawancara eksklusif di tengah kontroversi besar dalam tubuh Pertamina yang dipimpin letnan jenderal itu, 1976. Cerita Dokter Sutowo, beserta tindihan utang Pertamina seberat USD 10,5 miliar, menjadi cover story yang meriuhkan perbincangan di seluruh negeri.
Ia juga menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil membuat Liem Soei Liong (Sudono Salim) mau bicara kepada pers — sebelum dan sesudahnya ia tak pernah lagi muncul di media. Liem, konglomerat terbesar saat itu dan dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto, katanya, “cuma mau diwawancarai sama Kipli (Fikri).”
Tempo, yang menampilkan wajah close up Liem sebagai sampul, segera diburu oleh banyak orang yang penasaran tentang orang terkaya yang bertahun-tahun menjadi bahan gosip politik dan ekonomi itu.
Sebagai eks mahasiswa Fakultas Ekonomi UI, ia berada di tempat yang tepat di saat yang tepat. Beberapa dosen atau kakak kelasnya kemudian menjadi arsitek utama pemulihan ekonomi Indonesia, yang terengah-engah dijepit inflasi 650 persen.
Maka ia mendapat semacam privilese akses untuk menembus para menteri penting itu dengan relatif mudah, meski kadang ia juga harus menyiasati para pengawal atau supir menteri-menteri — ini suatu kecerdikan dan prestasi yang terpuji di dunia jurnalistik.
***
Sebagai anak tunggal, ia menyayangi ibunya tanpa ampun. Belum pernah saya melihat seorang anak — bahkan sampai ia berusia tua — begitu total ketaatannya pada ibunda.
Dalam suatu makan siang berdua di rumahnya, Ibu Dede yang menemani kami tanpa ikut makan, tak henti memperingatkan Fikri agar berhati-hati terhadap tulang ikan yang masuk ke mulutnya. Tak henti pula ia menganjurkan si anak untuk mencobai sayur ini dan itu, seakan anaknya berusia 7 tahun, bukan 70.
Fikri tak pernah mengingatkan ibunya bahwa ia sudah dewasa, sangat dewasa. Tanpa mengeluh ia terus menuruti perintah dan anjuran Mami.
Saat bertemu siapapun, atau di tengah obrolan hangat yang akan membuat suasana buyar jika terinterupsi, ia selalu siap memotongnya untuk menerima panggilan telepon ibunya, hanya untuk mendengar pertanyaan sang ibu — mungkin untuk ke-7 atau 8 kali hari itu — apakah obat tenggorokan dan antibiotiknya sudah dimakannya. Atau apakah tutup oli mesin mobilnya sudah dipasang kembali dengan benar.
Semua sahabatnya sudah tak perlu lagi meledeknya sebagai “anak mami”, karena ia tak pernah — selama berpuluh tahun — menggubris ledekan yang sia-sia itu. Ia bahkan seakan memamerkan bahwa ia memang anak mami — bahwa ia, dengan segala macam status dan prestise sosial yang melekat berkat kesuksesan dirinya, tetaplah anak yang taat total kepada ibunda yang dikasihinya.
Dan ia bersedia mengimbangi perlakuan ibunya dengan setara; ia suka merajuk, untuk meneguhkan keibuan sang mami. “Mami kalau diajak jalan-jalan sama cucu-cucu selalu mau, kalau saya yang ngajak nggak mau,” katanya dengan gaya merajuk.
Bu Dede sedikit salah tingkah dan tersipu, lalu menjelaskan panjang-lebar bahwa ia tidak bermaksud seperti yang dikeluhkan — bahwa ia tak lebih sayang kepada para cucu dibanding kepada anak.
Saya lebih terharu ketimbang geli menyaksikan adegan itu — seorang anak berumur 70 tahun yang bermanja kepada ibunya. Saya yakin ia hanya berakting, pura-pura cemburu kepada anak-anaknya sendiri, atas perlakuan “pilih kasih” Mami antara kepada cucu dan kepada dirinya sebagai anak.
***
Sekian tahun silam, dalam sebuah perayaan di sebuah hotel, dari kejauhan ia melambai-lambaikan tangannya. Saya segera mendatanginya, dan ia memeluk dengan wajah berbinar-binar, bertanya macam-macam sekaligus, termasuk kabar tentang anak saya, yang selalu digendongnya setiap bertemu.
Sambil menjawabnya dengan menahan tangis, pada kesempatan yang tepat saya menyelipkan nama saya sejelas-jelasnya. Saya tahu: dengan segenap kegembiraannya karena pertemuan itu, ia tak ingat nama saya. Dementia begitu perlahan menggerogotinya dengan halus.
Maka saya memohon maaf kepada Amira, Kemal dan Rima karena saya tidak pernah mampir menjenguk ayah mereka, yang sejak beberapa tahun lalu pindah rumah ke Jakarta Selatan, tak terlalu jauh dari rumah saya.
Beberapa kawan yang mengajak saya untuk mampir ke rumahnya, selalu saya tolak dengan berbagai alasan. Saya tak sanggup untuk mengkonfirmasi langsung berbagai kabar tentang kesehatan fisik-mentalnya yang saya dengar terus memburuk, dan pernah saya lihat sendiri gejala awalnya.
“Tanggal 25 Maret nanti Ayah akan merayakan ulang tahunnya di sana bersama sahabatnya, Oom Sabam,” kata Amira kepada saya di rumah duka, antara tersenyum dan menangis. Ayah Amira akan berusia 89 pada hari itu.
Saya hanya terdiam sambil berjuang mengendalikan mata saya yang menghangat. ***
*rbw/ pjmi/ wi/ nf/ 070325