
WARTAIDAMAN.com
Awalnya, isi kuliah (sehabis shalat) subuh di Masjid ArArahman Komplek Flamboyan Rempoa pagi ini membosankan, sampai-sampai saya sempat terlelap meski tetap duduk bersila.
Seorang jamaah yang duduk di sebelah saya berbisik, “Saya belum mendapat ilmunya.” Kenapa? Yang disampaikan dia sudah tahu semua.
Namun materinya menjadi menarik ketika ada pertanyaan kenapa di Indonesia ini makin banyak orang mengaku relijius — dilihat dari tampilan, dsb — namun korupsi justru semakin merajalela.
Korupsi itu seperti penyakit. Menyebar, merusak, dan sering tak terlihat sampai semuanya hancur. Kita melihat orang-orang semakin relijius. Pakaiannya panjang, ibadahnya rajin. Tapi kenapa korupsi malah semakin merajalela?
“Bagaimana mungkin kita melihat masjid makin penuh, tetapi uang negara tetap lenyap?” seorang jamaah bertanya.
Pak Ustadz tersenyum.
Lalu ia bercerita tentang seorang anak gembala. Khalifah Umar bin Khattab, yang menyamar sebagai pembeli, menguji kejujurannya.
“Jual saja satu ekor domba. Majikanmu tidak akan tahu.”
Anak itu menggeleng. Matanya tajam, penuh keyakinan. “Majikanku mungkin tidak tahu, tapi di mana Allah?”
Hening sejenak. Semua jamaah terdiam. Beberapa mengangguk pelan, merenungi makna jawaban anak itu.
“Itulah iman,” lanjut Pak Ustadz. “Anak kecil itu tahu, ada pengawasan yang lebih tinggi. Pengawasan yang tidak bisa disogok. Tidak bisa dihindari. Tidak bisa ditipu.”
Namun di zaman ini, banyak yang menganggap Allah hanya ada di masjid, di pengajian, di sajadah. Di luar itu, aturan bisa dibelokkan. Uang bisa mengalir ke kantong sendiri. Mereka lupa, Allah ada di mana-mana.
Pak Ustadz lalu melanjutkan cerita tentang Utsman bin Affan.
Saat musim paceklik melanda Madinah, kafilah dagangnya tiba dengan seribu unta berisi makanan. Para pedagang berebut membeli dengan harga tinggi. Lima kali lipat. Sepuluh kali lipat. Mereka berbisik-bisik, tahu ini kesempatan emas.
Namun Utsman menggeleng.
“Allah sudah menjanjikan keuntungan lebih besar,” katanya.
Ia lalu membagikan semua makanan itu kepada orang miskin. Tanpa untung duniawi, tapi berlimpah dalam akhirat.
Seorang jamaah menghela napas. “Zaman sekarang, justru yang diberi amanah malah menumpuk harta. Yang harusnya berbagi malah menjarah.”
Pak Ustadz tersenyum pahit. “Karena mereka lupa bahwa Allah melihat. Mereka takut diawasi manusia, tapi tidak takut diawasi Tuhan.”
Seorang bapak tua yang duduk di barisan depan mengangkat tangan. Suaranya bergetar, penuh emosi.
“Apa yang harus kita lakukan, Ustadz? Bagaimana agar kita tidak menjadi bagian dari mereka?”
Pak Ustadz menarik napas dalam. “Kita harus mulai dari diri sendiri. Dari hal-hal kecil. Tidak mengambil yang bukan hak kita. Tidak tergoda untuk curang, meskipun kecil. Tidak diam saat melihat kezaliman.”
Ia menatap para jamaah satu per satu. “Korupsi bukan soal kurangnya ibadah. Tapi soal hilangnya kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi.
Seperti anak gembala itu. Seperti Utsman bin Affan. Mereka bukan sekadar orang baik. Mereka percaya bahwa kebaikan itu selalu ada saksi. Yang Maha Melihat.”
Sunyi. Tak ada yang berbicara. Di luar, fajar mulai menyingsing.
“Jadi, di mana Allah?” suara Pak Ustadz lirih tapi tegas. “Di mana Allah saat tangan kita bergerak, saat keputusan kita dibuat?
Jawaban itulah yang menentukan apakah seseorang akan berbuat jujur atau berkhianat.”
Dan itu bukan pertanyaan untuk orang lain. Itu pertanyaan untuk diri sendiri.
oleh: Aruman, Jurnalis
*hm/ wi/ nf/ 130325
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM Ayoo...Bantu Bangun Kembali Masjid Palestina Rp.10.000 Insyaa ALLAH cukup, mau lebih bagus, mau rutin lebih bagus untuk berdonasi aman, klik link di bawah ini https://lazisdmi.com/campaign/bantu-bangun-kembali-masjid-palestina?ref=1hhm4
BACA JUGA :
LAZIS DMI Luncurkan Gerakan Nasional “Infaq 10rb untuk Bangun Kembali 100 Masjid di Gaza” Ajakan untuk Memakmurkan dan Dimakmurkan Masjid di Bulan Ramadhan
Views: 13