
Gambar kiri atas: Sri Sultan Hamengku Buwono X dan kekuarga
WARTAIDAMAN.com
Garebeg merupakan salah satu upacara penting di Keraton Yogyakarta yang bisa disaksikan dan diikuti oleh masyarakat umum.
Dalam satu tahun Jawa, keraton mengadakan tiga upacara Garebeg ; Garebeg Sawal pada tanggal 1 Sawal (Idul Fitri), Garebeg Besar pada tanggal 10 Besar (Idul Adha), dan Garebeg Mulud pada tanggal 12 Mulud (Maulid Nabi).
Pada ketiga Garebeg tersebut, keraton mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah Sultan kepada rakyat. Gunungan tersebut kemudian diumumkan kepada masyarakat yang hadir.
Upacara Garebeg Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah berintegrasi dengan Republik Indonesia, Kesultanan Yogyakarta mengikuti dan menyesuaikan diri dengan hukum dan sistem pemerintahan yang baru. Sistem upeti yang menjelaskan tiap Garebeg ditiadakan. Meski begitu, Garebeg tetap mempertahankan keberadaannya. Keraton tetap mengeluarkan gunungan sebagai simbol sedekah raja pada rakyat. Namun karena berbagai kesulitan politik dan ekonomi yang menerpa, Garebeg kehilangan tantangannya.
Baru selepas tahun 1970, Garebeg mulai dikenal kembali sejalan dengan pengembangan wisata yang marak saat itu. Gunungan yang diarak ke Masjid Gedhe kembali dikawal oleh bregada prajurit yang baru saja dibentuk kembali setelah dibubarkan pada masa penjajahan Jepang. Keberadaan Garebeg berhasil menarik sejumlah wisatawan asing dalam jumlah yang berarti.
Jalannya upacara Garebeg tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Terjadi beberapa perubahan terkait dengan jumlah gunungan yang dikeluarkan dan kemana gunungan tersebut diumumkan. Misalnya pada tahun 2004, Keraton Yogyakarta hanya mengeluarkan satu Gunungan Kakung pada Garebeg Sawal. Sedang pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar, keraton mengeluarkan lima macam gunungan.
Bersambung ke Bagian 3: Upacara Garebeg Setelah Undang-Undang Keistimewaan DIY
sumber: Keraton Jogjakarta
*riha/ wi/ nf/ 010625
Views: 17