
Gambar: Bapak Subur Adi Cahyono Ketua PTGI Jateng dan DIY
WARTAIDAMAN.com
Perjuangan mempertahankan pekerjaan sebagai tukang ini menurut Subur sudah dia lakoni sejak tahun 1994 ini beberapa tahun belakangan bisa berjalan normal. Padahal, satu dekade lalu, nasibnya sempat di ujung tanduk lantaran terbitnya Permenkes No.187 Tahun 2011.
Ia ingat, pada masa-masa itu Satpol PP bahkan sampai hendak menurunkan papan-papan nama tukang gigi yang biasanya terpasang di depan tempat praktik. Hal itu menyulut kekhawatiran para tukang gigi di Jogja.
Sebelum Permenkes diketok palu, Subur yang juga menjadi Ketua Ikatan Tukang Gigi Yogyakarta berusaha menenangkan rekan seprofesinya. Ia berpesan supaya mereka tetap bekerja seperti biasa. Meski Dinas Kesehatan sudah mulai melakukan sosialisasi terkait aturan tersebut.
Namun Subur juga menegaskan pada rekan seprofesi agar tidak melakukan praktik-praktik di luar wewenang. Seperti mencabut gigi, memasang behel, dan hal-hal lain yang masuk koridor medis. Hal-hal tersebut, jika tetap dijalankan, justru akan menghambat perjuangan mereka.
“Kalau sudah seperti itu tapi nanti ada dari instansi yang datang mengganggu, saya akan turun. Bantu memediasi bersama tim hukum yang kami punya,” ujarnya.
“Dalam memperjuangkan. Aspirasi kawan kawan tukang gigi tak terhitung berapa kali kami ke Jalarta.
Namun, akhirnya aturan itu pun diresmikan. Para tukang gigi ini semakin terdesak. Sobur menginisiasi aksi bersama seluruh tukang gigi di Jogja. Aksi di depan gedung DPRD hingga akhirnya berlanjut ke proses audiensi.
“Menggugat Permenkes itu lah intinya. Sebab profesi kami diberhentikan sepihak,” tuturnya.
Seingat lelaki ini, gerakan aksi tukang gigi di Jogja termasuk yang awal. Hingga aksi itu menjadi gerakan yang menyebar ke berbagai penjuru tanah air, termasuk di Jakarta. Aksi tersebut kemudian berlanjut lewat perjuangan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Kebetulan pada masa itu Mahfud MD yang juga putra kelahiran Madura menjabat sebagai Ketua MK waktu itu. (Ridar)
Views: 22