
WARTAIDAMAN.com
JAKARTA SELATAN – Ada momen haru yang tak terlupakan dalam diskusi “Mengkaji Ulang Budaya Minangkabau di Tanah Betawi, Mewujudkan Jakarta sebagai Kota Global” yang digelar Pemuda Gebu Minang, Rabu (2/7), di Sekretariat DPP Gebu Minang. Bukan hanya tentang gagasan besar Jakarta sebagai kota global, tapi juga tentang pencarian identitas dan rasa “pulang” bagi mereka yang berdarah Minang di tanah rantau.
Salah satu momen paling menyentuh datang dari Chico Hakim, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta. Meski sang ayah lahir dan besar di Jakarta, akar Minang dari kakek-neneknya di Pariaman mengalir deras dalam dirinya. “Kegiatan hari ini membuat saya ingin meneteskan air mata,” ujarnya dengan suara bergetar. “Saya merasa diakui sebagai urang awak.” Perasaan “diakui” ini, kata Chico, adalah pesan yang ingin ia sampaikan kepada almarhum ayahnya.
Chico tak sendiri. Antusiasme para peserta diskusi, mulai dari politisi hingga budayawan, menunjukkan betapa pentingnya ruang bagi setiap budaya untuk tumbuh di Jakarta, yang sejatinya adalah “ranah percampuran antar budaya.” Prof. Musril Zahari, budayawan Minangkabau, mengingatkan dengan bijak tentang filosofi “dima bumi dipijak disinan langik dijunjunjuang, alam takambang jadi guru” yang membuat orang Minang “zero konflik” di perantauan. Namun, ia juga berpesan keras agar generasi muda Minang di Jakarta tak lepas dari “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,” agar tak hanya “menyisakan kabau” tanpa esensi Minang.
Diskusi ini bukan hanya omong kosong. Anggota DPRD DKI Jakarta, Desie Chrysthina Sari, dengan jujur mengakui adanya “ketidakadilan” dalam kebijakan kebudayaan Pemprov DKI selama ini. “Kegiatan hari ini memberi kesadaran pada saya, bahwa memang seharusnya Jakarta memberi ruang tumbuh bagi kebudayaan lain,” tegas Desie, menegaskan pentingnya kolaborasi, bukan kompetisi, untuk memperkaya nilai kehidupan.
Melihat antusiasme dan kebutuhan ini, Ketua Pemuda Gebu Minang, Muhammad Rozi, menelurkan sebuah gagasan konkret yang menyentuh hati: pendirian Sekolah Adat Budaya bagi generasi muda Minangkabau di Jakarta.
“Sekolah ini diharapkan akan menjadi sarana internalisasi adat budaya ke dalam jiwa generasi-generasi muda Minangkabau di tanah Betawi,” jelas Rozi. Ia bermimpi besar agar Pemprov DKI Jakarta memberikan apresiasi khusus bagi anak-anak Minang yang belajar di sekolah adat ini, bahkan berharap ada nilai khusus yang mendampingi muatan lokal budaya Betawi. “Kami berharap orang tua akan termotivasi untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah adat dan budaya yang selama ini kadang dianggap kurang penting,” tambahnya, optimis bahwa ini adalah kunci untuk menjaga obor Minangkabau tetap menyala di ibu kota.
Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah diskusi bukan hanya menghasilkan rekomendasi kebijakan, tetapi juga menyentuh relung hati, membangkitkan kebanggaan identitas, dan merajut harapan baru bagi generasi penerus di tanah rantau.
*anwi/ wi/ nf/ 030725
Views: 24