
Oleh: Dr. H. J. Faisal
Bismillah
Pernah suatu waktu saya berdiskusi dengan seorang teman yang selalu bebrbicara tentang pentingnya umat muslim dunia untuk bangkit peradabannya.
Kemudian saya bertanya kepada teman saya ini…..bagaimana caranya?
Dia pun menjawab…pastinya dengan pendidikan.
Tanpa saya tanya kembali tentang pendidikan yang bagaimana dan bagaimana cara mendidiknya, saya pun mengangguk setuju saja….karena mungkin maksud dia secara global itu benar, bahwasannya hanya dengan melalui pendidikan, maka sebuah peradaban dapat bangkit.
Pendapat teman saya tentang peradaban tersebut, menurut saya sama persis dengan gaya berpendapat kebanyakan masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu hannya melihat dari kulit persoalannya saja tanpa mencoba untuk mengetahui ‘akar’ permasalahannya.
Terlepas dari itu semua, memang, begitu pentingnya masalah pendidikan ini, sampai-sampai tawanan perang Badar kaum Quraisy yang dikalahkan oleh kaum muslimin pada waktu tahun 624 Masehi, hanya diberikan dua opsi oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
Opsi pertama adalah, mengabdi di kota Madinah sebagai pelayan kaum muslimin, dan yang kedua adalah masing-masing tawanan itu mengajarkan sepuluh anak-anak di Madinah cara membaca, menulis dan berhitung sampai mereka bisa. Setelah anak-anak tersebut pandai membaca, menulis, dan berhitung, barulah mereka dibebaskan.
Dan semua kaum Quraisy yang menjadi tawanan perang Badar ini mengambil pilihan kedua yang diberikan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, karena kebetulan mereka semua bisa melakukannya, termasuk paman Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sendiri, Anas bin Nad’r, yang pada waktu itu belum ber-Islam.
Akhirnya, bahkan banyak dari tawanan tersebut yang memilih untuk bersyahadat kepada Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan menetap di Madinah, dan tidak kembali lagi ke kampung halaman mereka di Mekkah. Mereka pun bersama dengan para Muslimin lainnya, sama-sama membangun peradaban Islam dari Mdinah.
Kenali Dahulu Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam
Namun, ketika saya tanya kembali teman saya tadi, tentang apa saja modal untuk membangun sebuah peradaban itu?
Teman saya terdiam.
Baiklah, dalam tulisan sederhana ini, akan saya coba jelaskan secara sederhan tentang apa saja modal yang harus dimiliki oleh sebuah kaum, khususnya umat muslim Indonesia dan dunia untuk membangun kembali peradabannya yang pernah berjaya selama 1200 tahun, namun sirna secara perlahan sejak keruntuhan dinasti Islam yang terakhir, yaitu dinasti Turki Utsmani sejak tahun 1924 yang lalu.
Bagi kaum muslimin, sesungguhnya mengembalikan peradaban muslimin menjadi sebuah peradaban yang maju dengan memiliki harga diri yang tinggi, merupakan sebuah pekerjaan kolektif yang harus penuh dengan kecerdasan, kesabaran, kesadaran dan keikhlasan.
Contohnya sudah ada, yaitu Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
Pertanyaannya sekarang…mau tidak kita mencontoh beliau? Mau tidak mengambil hikmah dan pelajaran dari semua yang beliau ajarkan kepada kita sebagai umat beliau?
Jangan ambil pelajaran dari mereka yang mengaku ulama, hanya karena melihat jenggotnya panjang, wajahnya ke-Arab-Arab-an, dakwahnya tidak jelas, dan gayanya sudah seperti nabi, tetapi masih setengah alim, namun sangat bernafsu untuk memiliki pengikut yang banyak, supaya kebutuhan hidupnya dan keluarganya bisa terpenuhi dari iuran ‘pengajian’ yang dia pimpin dari para pengikutnya tersebut. Sudah menjadi sebuah fenomena umum di negeri ini.
Baik, kita kembali lagi. Jadi, jika kita mau mengikuti contoh atau teladan dari Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, maka keberadaan kita sebagai seorang muslim sudah normal adanya, karena sesuai dengan syahadat kita.
Tetapi jika kita tidak mau mencontoh beliau, maka keberadaan kita sebagai seorang muslim belumlah normal, alias masih abnormal ke-Islaman kita.
Maka dari itu, kenali siapa Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam,pelajari sedikit demi sedikit sirah beliau, agar hidup kita mempunyai teladan yang sejati. Baca buku-buku sirah beliau, bergabung dengan majelis ilmu pemikiran yang mengupas tentang hikmah pengajaran beliau.
Masa seorang muslim tidak kenal atau tidak mau kenal dengan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sebagai Rasul teladannya?
Padahal hanya beliau yang akan memberi syafaat langsung kepada kita di yaumil akhir nanti. Sungguh sebuah kesombongan yang teramat sangat jika seorang muslim tidak mau kenal dengan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam.
Sudah lemah….sombong pula kita. Hadeeehhh…..
Modal Peradaban
Baik, kita lanjutkan kembali.
Jika kita perhatikan dari sirah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sejak awal kenabian beliau di tahun 611 Masehi, yang dimulai dari kota Mekkah Al Mukaromah, sesungguhnya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam telai memulai sebuah peradaban besar di dunia ini.
Bayangkan saja, hanya dalam kurun waktu 23 tahun masa kenabian dan kerasulan beliau, Islam telah muncul menjadi sebuah peradaban yang besar dan tidak pernah diduga sebelumnya oleh para bangsa lain di dunia pada waktu itu, termasuk dua bangsa adidayanya yang telah ratusan tahun menguasai dunia, yaitu Romawi dan Persia, yang akhirnya bertekuk lutut di bawah panji Islam pada abad ke-7 masehi.
Apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, sehingga mampu ‘menjungkirbalikkan’ keadaan dan peradaban umat Islam pada waktu itu, from zero to hero….?
Jika kita membuat sebuah kesimpulan pemikiran yang sederhana dari sirah nabawiyah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, maka ada empat modal yang digunakan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam sebagai dasar strategi beliau dalam menaikkan peradaban umat dengan sangat baik.
Ya, keempat modal itu adalah, modal spiritual, berlanjut ke modal sosial, kemudian dinaiikan menjadi modal kekuatan politik, dan berujung pada kuatnya modal ekonomi umat.
Mari kita bahas satu per satu
Pertama, Modal Spiritual.
Sejak wahyu Allah Ta’ala yang pertama turun di gua Hira pada tahun 611 Masehi, dengan perintah untuk ‘membaca’ maka mulai saat itulah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mendapatkan amanat untuk meberitahukan kepada umat manusia (tabligh/ballagha) bahwa perintah ‘Iqra’ (bacalah) bukan sekadar instruksi literal, melainkan panggilan spiritual dan intelektual yang menandai dimulainya risalah Islam sebagai cahaya bagi umat manusia.
Perintah ‘iqro’ sangat jelas sebagai simbol ilmu, yang artinya adalah, bahwa Islam lahir dengan fondasi ilmu pengetahuan, bukan atas dasar keraguan, kebodohan, dan taqlid buta semata. Membaca bukan hanya teks, tetapi juga mengenal tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala di alam semesta.
Ya, itulah awal dari transformasi peradaban dunia yang dapat dibuat strukturnya secara sistematis. Dari masyarakat jahiliyah (bodoh) menuju masyarakat beradab, yang menjunjung tinggi keadilan, kasih sayang, dan ilmu.
Modal spiritual yang ditanamkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam ini sesungguhnya adalah merupakan modal dasar untuk berkembangnya sebuah peradaban, yaitu keimanan, ilmu pengetahuan dan akhlak.
Selama sepuluh tahun Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam menanamkan tauhid dan keimanan di kota Mekkah, telah menghasilkan sedikit kaum muslimin atau umat yang memang benar-benar teruji keimanannya.
Bahkan menurut Buya Hamka, dalam bukunya yang langka, yang berjudul Sejarah Umat Islam, hingga menjelang hijrah ke Madinah, jumlah kaum Muslimin diperkirakan hanya mencapai sekitar 150–200 orang saja waktu itu.
Itulah mengapa ketika kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, Allah Ta’ala memanggil mereka dengan panggilan ‘ya ayyuhalladzina amanu’, dan bukan dengan panggilan ‘ya ayyuhannas’ lagi.
Ini artinya, peralihan dari panggilan ‘ya ayyuhannas’ (wahai manusia) menjadi ‘ya ayyuhalladzina amanu’ (wahai orang-orang yang beriman), mencerminkan kekuatan transformasi spiritual kaum muslimin yang luar biasa setelah mereka berhijrah ke Madinah.
Panggilan ‘orang-orang yang beriman’ sesungguhnya adalah bentuk penghormatan dan pengakuan atas komitmen mereka terhadap Islam. Ini juga menjadi dasar pembentukan peradaban Islam yang berlandaskan iman, hukum, dan akhlak.
Dengan demikian, maka makna dan dampak modal spiritual ini dalam peradaban awal Islam pada waktu itu adalah munculnya masyarakat muslimin yang terorganisir dan berdaulat, karena masyarakat Arab yang sebelumnya terpecah dan jahiliah pada waktu itu, berubah menjadi umat yang bersatu, berilmu, dan beradab.
Bahkan setelah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam wafat di tahun 634 Masehi, peradaban Islam berkembang pesat di bidang sains, filsafat, seni, perdagangan dan pemerintahan, dengan nilai-nilai spiritual (keimanan) dan nilai-nilai transendensial (ilmu, akhlak, dan ketakwaan) sebagai kompasnya.
Begitulah, ketika kekuatan ilmu pengetahuan telah menyatu secara integratif dengan sempurnanya nilai keimanan, maka akan tercipta sebuah ‘kekuatan’ dahsyat sebagai modal awal menegakkan sebuah peradaban yang besar dan kuat.
Kedua, Modal Sosial
Setelah mendapatkan modal spiritual yang sangat kuat, Langkah berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah menyatukan kekuatan sosial yang ada dalam diri kaum muhajirin dan kaum Anshar.
Kedua kaum tersebut bertemu dalam balutan keimanan dan tauhid (spiritual) yang sama, serta bertemu dalam naungan dan teladan yang sama pula, yaitu Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam. Semuanya bergerak dalam satu komando yang sama, dalam semuanya bergerak dalam satu cita-cita yang sama pula, yaitu menegakkan kalimat tauhid, dan panji Islam di muka bumi.
Maka langkah strategis nyata berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah membangun masjid sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan umat, dan kemudian membangun pasar sebagai sarana sosialisasi perdagangan umat.
Dari dua tempat inilah, akhirnya terciptalah kekuatan sosial yang sangat kuat di Madinah pada waktu itu. Dalam hal ini Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam telah berhasil menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar dalam ikatan ukhuwah Islamiyah yang sangat kuat.
Hal ini terbukti ketika umat muslim yang bersatu dari kalangan muhajirin dan Anshar saling bahu membahu dalam memajukan pendidikan umat tentang Islam, dan memajukan sistem perdagangan umat melalui sistem perdagangan ekonomi yang berkeadilan dan tanpa riba.
Hal ini terbukti juga ketika umat muslim yang bersatu dari kalangan muhajirin dan Anshar saling bahu membahu ketika terjadi perang Badar dan perang Uhud di tahun kedua dan tahun ketiga hijrahnya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan umat ke Madinah.
Ya, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam terbukti telah berhasil membangun sebuah peradaban yang luhur dengan menggunakan modal sosial yang ada guna menciptakan Social Trust (saling percaya), Social Order (saling menjaga keteraturan dan ketertiban), dan Social Obedience (saling menciptakan kepatuhan terhadap sistem) yang sangat kokoh hingga saat ini.
Ketiga, Modal Politik
Setelah keimanan dan tauhid tercipta, persatuan sosial juga terbentuk, yang berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam adalah membentuk kekuatan politik umat.
Dari sini sangatlah jelas bahwa Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mengajarkan umat muslimin bahwa keimanan harus dibarengi dengan kekuatan sosial dan politik agar Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh.
Politik dalam Islam bukan sekadar kekuasaan, tetapi sarana untuk menegakkan keadilan, menjaga hak-hak masyarakat, dan membangun peradaban.
Kemudian dibentuklah sistem pemerintahan kota atau negara Madinah yang berbasis musyawarah dan keadilan, dan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam diangkat secara berdaulat menjadi pemimpin spiritual sekaligus kepala negara.
Pada waktu itu juga, selain kaum Muslimin, di kota Madinah terdapat tiga kelompok besar kaum Yahudi, yaitu Bani Qainuqa, Bani Nadir, dan Bani Quraizhah. Dan Bani Nadir adalah salah satu kelompok Yahudi yang paling kuat secara ekonomi dan militer.
Dan untuk memberikan rasa aman bagi semuanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, maka langkah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam berikutnya adalah membuat konstitusi atau Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), pada tahun 622 Masehi, tepat setelah beliau hijrah dari Makkah ke Madinah.
Piagam Madinah ini menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Madinah yang plural dan damai, dan merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah Islam, yang mengatur hubungan antara kaum muslimin, Yahudi, dan suku-suku lain di Madinah, dan menjamin kebebasan beragama, hak hidup damai, dan tanggung jawab bersama dalam menjaga keamanan kota.
Dan ketika terjadi penghianatan terhadap Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam oleh kaum Yahudi Bani Nadir, yang ditunggangi oleh kelompok kaum munafik pimpinan Abdullah bin Ubay, mereka yang awalnya hidup berdampingan, akhirnya berujung pada pengusiran kaum Yahudi tersebut dari kota Madinah.
Itulah bukti bahwa kekuatan politik Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dan umat muslimin sangatlah kuat dan menentukan.
Hal ini dikarenakan kaum muslimin Madinah telah memiliki persatuan yang sangat kuat, diawali oleh kesamaan kekuatan spiritual, kekuatan sosial, yang akhirnya memiliki daya tawar dan kedaulatan kekuatan politik yang sangat kuat.
Keempat, Modal Ekonomi
Langkah-langkah Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dalam memperkuat ekonomi umat di Madinah setelah hijrah sangat strategis dan berlandaskan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan kemandirian. Beliau tidak hanya membangun spiritualitas, sosial, dan politik saja, tetapi juga memastikan umat memiliki kekuatan ekonomi untuk menopang kehidupan dan dakwah, sebagai modal untuk mendirikan sebuah peradaban yang luhur dan berkepanjangan.
Adapun langkah strategis Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam dalam mengembangkan modal Ekonomi umat muslimin di Madinah, antara lain:
1. Membangun Pasar Islam (Souq al-Madinah):
a. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mendirikan pasar baru yang bebas dari praktik riba dan monopoli, sebagai alternatif dari pasar Yahudi yang saat itu dominan.
b. Pasar ini menjadi pusat perdagangan yang adil dan terbuka bagi semua kalangan Muslim.
c. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam melarang riba, penipuan, dan manipulasi harga.
d. Beliau menegakkan prinsip kejujuran dan transparansi dalam transaksi.
2. Menggalakkan Etos Kerja dan Kewirausahaan:
a. Beliau mendorong umat untuk aktif berdagang, bertani, dan bekerja keras.
b. Banyak sahabat seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan menjadi pengusaha sukses yang tetap dermawan.
3. Mengatur Zakat dan Infak:
a. Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mulai menerapkan sistem zakat sebagai instrumen distribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan.
b. Infak dan sedekah juga digalakkan sebagai bentuk solidaritas sosial.
4. Mendorong Kemandirian dan Anti-Ketergantungan:
a. Beliau menanamkan semangat berdikari, seperti sabdanya kepada seorang sahabat miskin: “Lebih baik engkau membawa tali dan pergi ke gunung untuk mencari kayu bakar…” daripada meminta-minta.
Dan hasilnya adalah dalam waktu singkat, umat Islam di Madinah memiliki sistem ekonomi yang kuat, mandiri, dan beretika. Karena yang pasti, ekonomi menjadi pilar penting dalam mendukung dakwah, pertahanan, dan pembangunan masyarakat Islam.
Begitupun dengan penguasaan air oleh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu kisah teladan dalam sejarah Islam tentang dermawan, kepemilikan aset strategis, dan kontribusi ekonomi untuk umat.
Jadi, pada waktu itu di Madinah, ada sebuah sumur bernama Bi’r Rumah yang dimiliki oleh seorang Yahudi. Sumur ini menjadi sumber air utama, namun pemiliknya menjual air dengan harga tinggi, sehingga menyulitkan kaum Muslimin.
Maka, atas petunjuk Allah Ta’ala, akhirnya Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa membeli sumur Rumah, maka baginya surga.” (HR. Al-Bukhari dalam mu’allaq dan lainnya)
Maka, sahabat sekaligus menantu Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, Utsman bin Affan mendatangi pemilik sumur dan membeli separuh hak kepemilikan dengan sistem bergiliran, yaitu sehari untuk Utsman, sehari untuk si pemilik Yahudi.
Dan pada hari milik Utsman, air diberikan secara gratis kepada kaum Muslimin.
Karena tidak ada lagi yang membeli air di hari milik Yahudi, akhirnya ia menjual seluruh sumur kepada Utsman. Utsman pun mewakafkan sumur tersebut sepenuhnya untuk umat Islam.
Dan dampak ekonominya yang terasa sampai sekarang adalah, bahwa Sumur Rumah menjadi wakaf produktif yang bertahan hingga kini. Lahan di sekitar sumur berkembang menjadi kebun kurma, hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial.
Bahkan, Pemerintah Arab Saudi mengelola wakaf ini secara resmi, dan hasilnya masih digunakan untuk amal dan Pembangunan kota Madinah dan sekitarnya.
Dalam hal ini membuktikan bahwa Wakaf adalah model ekonomi Islam yang berkelanjutan dan penuh berkah.
Dari berbagai kebijakan penggunaan modal ekonomi oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, maka kita dapat mengambuil pelajaran penting, bahwa sebuah peeradaban ekonomi akan tercipta jika suatu kaum dapat menguasai keadulatan ekonominya sendiri, dan Kepemilikan aset strategis seperti air dan sumber daya alam lainnya, dapat menjadi instrumen kekuatan ekonomi umat.
Pengelolaan sumber daya alam secara jujur oleh pemerintah suatu negeri, pastinya akan menciptakan ketahanan, kemandirian, sampai kepada kedaulatan ekonomi kaum tersebut.
Namun jika pengelolaan sumber daya alam suatu negeri dikelola dengan tidak amanah oleh oleh pemimpin atau pemerintahnya, maka tunggu saja saat kehancuran negeri tersebut.
Penutup
Kini, jelaslah sudah bagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam mampu menggunakan empat modal peradaban tersebut dalam membangun peradaban Islam 1450 tahun yang lalu dengan sangat sempurna.
Dapat kita bandingkan, bagaimana dengan yang dilakukan oleh negara kita, yang katanya negara dengan jumlah penduduk Islam terbanyak di dunia….?
Sesungguhnya kita memiliki semua modal peradaban tersebut, hanya saja kita sebagai rakyat maupun sebagai pengelola negara, tidak mampu menggunakannya dengan baik, karena berbagai macam faktor penghambatnya, baik yang dilakukan secara sengaja maupun secara sadar.
Seperti umat Islam yang sulit sekali bersatu, merasa kaum dan golongannya yang paling benar, terus bermental feodal, bodoh, malas, pragmatis, koruptif, hiprokatik, dan khianat.
Sehingga alih-alih ingin menjadi ber-adab, yang terjadi saat ini justru menjadi bangsa dan umat Islam yang masih dan terus bi-adab.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 22 September 2025
*Pensyarah UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
Views: 26