
Tiba tiba seperti kilat dan petir menyambar-nyambar rasanya tatkala membaca surat Direktur PNJ Syamsurizal tentang pengalihan dosen tetap PNJ (non PNS) menjadi paruh waktu per tanggal 1 Agustus 2025. Memang sebelumnya sudah dikumpulkan beberapa dosen yang bakal terdampak pada 9 Juli 2025. Belum semua hadir dan yang hadir tidak sampai genap jari dua tangan.
Dapat digambarkan, situasi saat pertemuan begitu hangat mula-mula. Walaupun tidak tampak satu menu pun di atas meja, namun para dosen yang hadir tampak bahagia karena baru itulah Direktur PNJ menerima dialog langsung dengan para dosen yang diangkat oleh para direktur terdahulu, Abdillah (2012-2020) dan Zainal Nur Arifin (2020-2024). Rupanya forum itu bukan forum dialog seperti yang dikira, melainkan forum briefing pemutusan hubungan kerja. Status mereka para dosen yang diangkat para direktur pendahulu Syamsurizal itu akan diubah dari tetap menjadi paruh waktu. Banyak dosen yang tak percaya akan kabar dari direktur PNJ -yang sekarang baru memasuki tahun kedua menjabat-siang itu.
Alasan pengalihan itu antara lain, PNJ tidak mau ditegur terus-menerus oleh Dikti karena dianggap paling sering melanggar aturan. Katanya PNJ sudah kadung dinyatakan sebagai pelopor kampus yang menegakkan aturan. Lalu dimulai PNJ mengatur dosen-dosennya. Regulasi yang diacu yakni UU No. 20/2023 tentang ASN, yang ternyata belum ada turunan Keppres, PP, Permen dan turunan aturan lainnya juga dijadikan dalih. Tidak lagi membahas mengenai Indeks Kinerja Utama (IKU) atau Key Performance Index (KPI) PNJ yang kemarin-kemarin sering diceramahkan oleh pimpinan kampus kepada para dosennya yang membuat para dosen bersemangat.
Perlu dicatat, dosen-dosen yang terdampak surat pengalihan itu bukan baru kemarin mengabdi di Perguruan Tinggi Negeri Politeknik Negeri Jakarta. Masa kerja sudah layak diperhitungkan, meski bervariasi mulai dari yang sudah 15 Tahun, 13 tahun sampai yang 10 tahun.
Sebagai sebuah keputusan organisasi, apalagi PNJ bergerak di bidang pendidikan yang amat sangat dekat dengan perbincangan moral, keputusan tentang pengalihan dari Direktur Syamsurizal (2025) itu layak ditimbang dari aspek etika. Apakah keputusan tersebut telah mengikuti unsur etika? Lalu, etika mana yang sesuai dengan isi surat tersebut?
Dua Aras Etika Klasik
Dalam dunia etika, termasuk yang dikembangkan para ahli dan dijadikan bahan kajian dalam mata kuliah Etika Bisnis, secara klasik dikenal 2 aras utama, yakni etika teleologi dan etika deontologi. Keduanya seperti satu keping mata uang yang saling menggenapi dan pilihan atas salah satu membawa konsekuensi yang berbeda dengan satunya.
Kajian etika paling awal digaungkan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Dalam pandangan etikanya, ia memperkenalkan istilah categorical imperative , yang artinya kurang lebih segala macam tindakan yang dianggap beretika ialah manakala mengikuti kaidah dan pertimbangan moral, dengan risiko dan konsekuensi apapun. Aras Etika ini kemudian oleh para ahli dinamakan etika deontologi. Aturan adalah aturan, tanpa dipedulikan akibatnya. Etika model Kant ini dipandang kurang melihat realitas, terlalu kaku dan kenyataannya dalam banyak kasus pelanggaran etika itu terjadi karena faktor-faktor tertentu yang kadang kurang aplikatif.
Lalu muncullah pemikir seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan lainnya yang menekankan aras etika yang menitikberatkan pada konsekuensi atau akibat dari tindakan yang diambil. Tujuan-lah yang diutamakan. Aras Etika ini disebut teleologi. Terkadang aturan moral yang sudah baku “perlu” dilanggar untuk memenuhi atau demi keuntungan dan kebaikan lebih banyak. Seringkali mereka yang sedikit, yang minoritas, selalu menjadi korban, atau minimal pelengkap penderita.
Kedua aras atau jenis etika itu masih relevan digunakan hingga hari ini, terutama di dunia korporasi dan juga peradilan. Sebuah keputusan hakim selalu memancarkan salah satu dari dua jenis etika ini. Demikian pula dalam bisnis. Misalnya mengapa pabrikan manufaktur Amerika memilih membangun pabriknya di China, juga dapat dilihat dari cara pandang karena pertimbangan salah satu etika ini.
Pengalihan itu Mengambil Aras Etika Mana?
Nah, sekarang masuk pada analisis etika seperti apa yang digunakan melandasi surat pengalihan, yang belum mengikat -karena belum menjadi SK- itu. Walaupun belum mengikat, namun surat tersebut dapat ditafsirkan serta mengandung konsekuensi tindakan yang membatasi ruang gerak minoritas dosen yang semula diangkat dengan surat keputusan. Secara hierarki jelas lebih kuat pada surat keputusan.
Cukup masuk di nalar sebenarnya menggunakan aturan UU ASN, karena memang dalam UU itu tidak menyantumkan pegawai tetap non PNS. Artinya dosen tetap non PNS itu liar. Namun jika ditinjau dari categorical imperative -nya Kant, moral mana yang ditegakkan masih sulit diraba. Jika memang menegakkan moral dengan UU ASN, apakah artinya para dosen non PNS ini adalah kumpulan orang durjana pembawa aib dan pelanggar moral yang perlu dilenyapkan. Dosen tetap non PNS seperti maling yang harus dihukum demi tegaknya sebuah aturan. Padahal sebaliknya, saat pengangkatan dosen tetap non PNS saat itu sangat dibutuhkan, di tengah kelangkaan formasi dosen di satu sisi dan keinginan untuk memperbaiki prodi-prodi di sisi yang lain. Dengan demikian, maka surat pengalihan itu tidak aplikatif ditinjau dari etika deontologi, karena tidak ada aturan moral ( moral conduct ) yang dilanggar oleh para dosen non PNS. Jika surat itu untuk menegakkan regulasi tentang kepegawaian yang sudah menjadi tugas ( duty ) pimpinan organisasi PNJ untuk menjalankannya, semestinya dibuktikan dulu pelanggaran moral yang dilakukan dosen tetap non PNS jika tidak ingin dianggap keputusan asal-asalan.
Bagaimana dengan etika teleologis digunakan untuk meninjau surat pengalihan tersebut? Tergantung dulu sejauh apa keuntungan dan kebaikan apa yang akan diraih oleh sebagian besar orang di PNJ waktu mendatang. Bukan soal salah dan benar, namun dengan mengorbankan segelintir dosen tetap non PNS ini apakah akan membawa keuntungan dan kebaikan kepada kelompok dosen lain, dosen PNS dan P3K? Perhitungan ini mestinya dilihat juga, atau malah lebih baik jika dijabarkan oleh pembantu direktur misalnya , tentang benefit apa saja yang akan diraih sehingga harus memilih mengalihkan dosen tetap menjadi honorer. Dalam aras teleologis, alasan untuk memperoleh keuntungan lebih banyak orang ini arahnya pada etika utilitarian. Namun ini juga bukan pilihan yang bijak manakala untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dosen PNS dan P3K di PNJ, lalu mengorbankan dosen tetap non PNS. Sekian tahun telah membuktikan mereka saling bekerjasama dan membagi beban yang sama di prodi masing-masing dengan dosen PNS dan P3K, walau hasil beda.
Masih dalam sudut pandang etika teleologis, jika tidak didasari untuk mengejar keuntungan lebih banyak orang, maka sebuah keputusan korporasi atau organisasi yang diambil justru hanya untuk memenuhi keinginan pribadi organisasi yang terwakili oleh para eksekutifnya. Ini akan lebih runyam. Yang ini disebut etika egoisme yang masuk ke dalam ranah etika teleologis.
Kembali mengacu pada surat pengalihan itu, bilamana gagal menunjukkan demi kebaikan lebih banyak orang, maka sebaliknya motivasi surat pengalihan itu hanya akan menguntungkan organisasi saat ini, misalnya demi pemangkasan anggaran dan efisiensi. Karena pertimbangan budget, maka dosen tetap non PNS dialihkan menjadi honorer. Jika begini, artinya kondisi keuangan PNJ sedang kurang baik, dan malah lebih baik periode sebelumnya yang mampu mang-cover para dosen tetap non PNS.
Baik mengacu pada etika deontologi maupun teleologi, PNJ musti memberi penjelasan lebih atas keputusan (sementara, karena belum ada SK-nya) mengalihkan dosen Non PNS-nya. Bila tidak cukup memadai, maka akan muncul efek domino yang menggelinding bebas disertai potensi fitnah sana sini. Ujung-ujungnya yang paling jadi korban adalah dosen yang terdampak, yakni dosen tetap non PNS PNJ.
Wallahu A’lam Bisahawab
Di tengah kemacetan Sawangan, 13 Agustus 2025
MZAE Putro
Bekerja di PNJ sejak 2011
*anwi/ wi/ nf/ 140725
Views: 59