
Amancio Ortega lahir pada tahun 1936 di León, Spanyol. Dia lahir dalam keluarga sederhana yang jauh dari gemerlap dunia mode.
Ayahnya seorang pekerja kereta api dengan penghasilan terbatas, sementara Ortega kecil harus meninggalkan sekolah di usia 13 tahun untuk bekerja.
Dari pekerjaannya sebagai kurir dan pegawai toko pakaian, ia belajar tentang tekstil, menjahit, serta hal yang lebih mendasar: bagaimana pelanggan memilih pakaian, apa yang mereka cari, dan bagaimana sebuah toko bisa memengaruhi keputusan belanja.
Pengalaman di balik meja toko itu memberinya pelajaran yang kelak menjadi fondasi kerajaan mode terbesar di dunia: _mendengarkan pelanggan lebih penting daripada sekadar mengikuti pakem industri._
Pada tahun 1963, bersama saudara-saudaranya, Ortega mulai merintis usaha kecil menjahit jubah mandi wanita di rumah mereka di A Coruña.
Modal mereka minim, tetapi keberanian mereka besar. Untuk mendapatkan bahan baku, Ortega bahkan harus meyakinkan pemasok di Catalonia agar bersedia memberi kain dengan pembayaran ditunda.
Dari sana lahir Confecciones GOA, cikal bakal Inditex.
Jalan menuju sukses tidak selalu mulus. Upaya ritel pertamanya melalui toko bernama Sprint gagal total. Kegagalan ini mengajarinya satu hal penting: _fokus adalah kunci._ Fokus itu akhirnya menemukan rumahnya dalam dunia fashion.
Zara lahir pada tahun 1975.
Nama itu muncul hampir kebetulan, setelah rencana awal menggunakan nama “Zorba” batal karena sudah dipakai toko lain.
Dari toko pertamanya di A Coruña, Ortega memperkenalkan sebuah konsep baru yang revolusioner. Jika perusahaan fashion lain membutuhkan enam bulan hingga setahun untuk menghadirkan koleksi baru, Zara hanya butuh dua minggu.
Sistem ini bukan sekadar soal kecepatan produksi, tetapi juga soal bagaimana mereka mendengarkan pelanggan.
Zara punya cara yang sangat unik dalam “mendengarkan” pelanggan — dan inilah inti dari kekuatan fast fashion mereka. Alih-alih hanya mengandalkan desainer yang menciptakan tren berbulan-bulan sebelumnya, Zara menggunakan toko sebagai radar pasar.
Manajer dan staf toko dilatih untuk mengamati apa yang dicoba konsumen, apa yang ditolak, hingga komentar spontan yang sering kali memberi petunjuk berharga. Semua catatan itu dikirim langsung ke kantor pusat di Arteixo setiap hari. Informasi ini kemudian diproses oleh tim desain dan produksi untuk menghadirkan koleksi yang sesuai keinginan pasar, dalam waktu yang luar biasa singkat.
Selain itu, Zara juga mengirimkan _“coolhunters”_ ke berbagai kota mode dunia — dari Tokyo, New York, hingga Milan — untuk menangkap tren jalanan. Mereka tidak sekadar menyalin runway, melainkan memotret apa yang benar-benar dipakai orang di jalanan, di klub, atau di kampus.
Bahkan di era digital, Zara dengan sigap membaca tren dari blog fashion, Flickr, dan kini media sosial. Dengan cara ini, Zara tidak mendikte konsumen, tetapi justru membiarkan konsumen menjadi sumber inspirasinya.
Filosofi ini membuat Zara dikenal bukan hanya sebagai merek dengan koleksi segar, tetapi juga sebagai simbol gaya membeli: _belilah sekarang, karena besok mungkin sudah tidak ada lagi._
Strategi ini berbeda dengan pesaingnya, H&M misalnya. Merek Swedia ini mengandalkan tren internasional dan kolaborasi dengan desainer besar seperti Karl Lagerfeld atau Balmain. Koleksi mereka sering menciptakan hype besar, namun waktunya lebih lambat, sekitar empat hingga enam minggu. Fokus H&M tetap pada trend-driven fashion untuk pasar massal.
Uniqlo berbeda lagi. Merek Jepang ini mengandalkan riset jangka panjang, survei global, dan inovasi tekstil. Produk seperti HeatTech lahir bukan dari tren musiman, melainkan dari kebutuhan praktis. Filosofi LifeWear mereka menekankan kesederhanaan, fungsi, dan keabadian gaya.
Keberhasilan Zara menjadi dasar bagi lahirnya “saudara-saudaranya.” Ortega tidak puas dengan satu merek. Ia melahirkan portofolio baru: *Bershka* untuk anak muda yang berani, *Pull and Bear* untuk gaya kasual, *Massimo Dutti* untuk kalangan profesional elegan, *Stradivarius* untuk gaya feminin, *Oysho* untuk pakaian dalam dan olahraga, *Zara Home* untuk interior, hingga *Uterqüe* untuk aksesori.
Setiap merek hadir dengan karakter berbeda, tetapi semuanya berbagi filosofi yang sama: dekat dengan pelanggan, cepat merespons, dan menciptakan pengalaman belanja yang terasa eksklusif.
Kekuatan Inditex, induk Zara dan saudara-saudaranya, tidak hanya terletak pada koleksinya, tetapi juga pada rantai pasokan yang terintegrasi. Dari desain hingga distribusi, hampir semua berada dalam kendali mereka.
Di Arteixo, ribuan potong kain dipotong dengan robot presisi, dijahit di bengkel mitra, lalu kembali diperiksa kualitasnya. Dari pusat logistik, pakaian dikirim ke seluruh dunia dua kali seminggu.
Model distribusi ini memungkinkan Zara menjaga janji uniknya: mendengarkan pelanggan hari ini dan mewujudkan keinginan mereka dalam hitungan hari.
Hal lain yang membuat Zara berbeda adalah pendekatannya terhadap pemasaran. Ortega percaya bahwa toko adalah iklan terbaik. Itulah sebabnya Zara selalu memilih lokasi premium di jalan-jalan utama kota besar, dari Fifth Avenue di New York hingga Champs-Élysées di Paris.
Dengan etalase yang menawan dan koleksi yang terus berganti, toko itu sendiri menjadi media komunikasi yang hidup. Tanpa perlu iklan televisi besar-besaran, Zara berhasil menancapkan identitasnya di benak konsumen.
Kini, lebih dari lima dekade sejak usaha kecil di garasi keluarga, Zara dan saudara-saudaranya menjelma menjadi kerajaan mode global dengan ribuan toko di seluruh dunia.
Rahasia mereka bukan sekadar kecepatan, harga, atau lokasi, melainkan filosofi mendengarkan. Zara mengajarkan bahwa kekuatan sejati dalam bisnis mode bukanlah memaksa tren kepada pelanggan, tetapi hadir bersama mereka, mendengarkan mereka, dan menjawab dengan cepat.
Kisah Amancio Ortega dan Zara adalah kisah sederhana yang berkembang menjadi luar biasa. Dari seorang anak buruh kereta api yang putus sekolah, ia membangun kerajaan mode yang mengubah cara dunia membeli pakaian.
Dan melalui Zara serta saudara-saudaranya, ia membuktikan bahwa inovasi sejati lahir bukan dari keangkuhan desainer, melainkan dari keberanian untuk mendengar suara pelanggan—suara yang selama ini sering diabaikan oleh industri mode. *Edhy Aruman*
*DAFTAR PUSTAKA*
Badía, E. (2009). Zara and her sisters: The story of the world’s largest clothing retailer. Palgrave Macmillan.
Martínez, J. (2012). Amancio Ortega: De cero a Zara. La Esfera de los Libros.
Palomo, M. (2016). The Zara phenomenon. Business Expert Press.
Oleh: Edhy Aruman
*hm/ wi/ nf/ 260925
Views: 25