WARTAIDAMAN.com
Oleh: Noorhalis Majid
Ambin Demokrasi |
“Mun dipikirakan, asa jara ada jua umpat pemilu ini”, kata seorang caleg menyampaikan keluhannya.
Caleg tersebut kecewa, karena perolehan suara yang didapatkan, tidak sepadan dengan upaya yang sudah dilakukan dalam menggalang dukungan. Merasa sudah melakukan segala hal, dan hanya money politik yang tidak dilakukannya.
“Ujung-ujungnya nang mahambur jua nang tapilih, kadada pengaruhnya papadah tuan guru, ulama dan habaib untuk menolak politik uang”, lanjutnya menambahkan.
Namun, ada juga caleg yang gentlemen, mengakui kekalahan karena kelemahan dirinya sendiri, sebab kurangnya sosialisasi, lambat dan sedikitnya waktu turun menyapa warga. Serta tidak mampu mengubah modal sosial menjadi dukungan suara.
Lantas, haruskah “jara” umpat Pemilu? Jawabnya, tergantung masing-masing orang. Yang optimis dan ingin melakukan perubahan, pastilah “kada bajajaraan”. Sebab bila jara, maka semakin menegaskan yang layak menjadi caleg hanyalah para oligarki yang banyak duitnya.
Bagi kelompok masyarakat sipil, menjadi tugas berat untuk terus melakukan pendidikan warga. Waktunya mendidik warga dalam soal politik. Tentunya pendidikan yang senyatanya, sesuai realita yang dihadapi warga. Caranya mudah saja, bila ada masalah menyangkut persoalan warga, jangan cepat diatasi atau dibantu, tapi kembalikan pada siapa yang dipilihnya saat Pemilu kemaren. Suruh warga menemui dan menuntut kepada caleg terpilih, agar bekerja melayani warga yang memilihnya.
Bila caleg tersebut tidak memedulikan warga, tidak bekerja melayani warga, saat itu diharapkan tumbuh kesadaran bahwa itulah konsekuensi memilih dengan alasan duit. Besar kemungkinan tidak akan dipilih lagi, walau caleg bersangkutan tetap mahambur duit.
Untuk memperbaiki demokrasi, perlu kerja bersama. Mulai dari kelompok masyarakat sipil, akademisi, media massa, dan tentu aktor-aktor politik. Bagaimana pun buruknya situasi demokrasi, harus diatasi secara bersama, “kada bajajaraan”, lakukan terus pendidikan politik tanpa kenal lelah. (nm)