Oleh: Dr. H. J. Faisal
Selamat Jalan, Jane Goodall
Kematian Jane Goodall pada tanggal 1 Oktober 2025 yang lalu di Los Angeles, saat sedang melakukan tur seminar tentang habitat simpanse yang semakin berkurang, memang sangat mengejutkan dunia, termasuk saya.
Jane Goodall meninggal dunia di usia 91 tahun.
Saya memang suka mengikuti dokumentasi Jane Goodall yang seorang ilmuwan lingkungan dan ilmuwan tentang primata (primatolog), khususnya simpanse.
Saya sering menonton film-film dokumenter Jane Goodall di chanel-chanel ilmu pengetahuan di saluran TV kabel langganan saya, seperti National Geographic, Discovery, Curiosity, History, dan Animals World.
Bahkan saya pernah menyebut tentang Jane Goodall dalam beberapa tulisan saya terdahulu.
Ya, terus terang saya suka sekali melihat simpanse yang bertingkahlaku seperti manusia (atau sebaliknya ya…?), karena kedekatan bentuk fisiknya dengan kita sebagai manusia, tingkah lakunya, juga kedekatan gen dan tingkat kecerdasan yang dimilikinya dengan gen dan IQ manusia. Benar-benar tidak jauh berbeda menurut saya.
Bahkan saya sering berpikir bahwa terkadang manusia justru lebih rendah tingkat kualitas tingkah lakunya dan tingkat kecerdasannya dari seekor simpanse. Lihat saja tingkah laku manusia seperti di jalan raya yang seenaknya, atau tingkah laku manusia ketika mereka tidak bisa mengendalikan emosinya.
Atau juga mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan, mulai kekuasaan dari tingkat bawah kelas teri, sampai dengan kekuasaan tingkat atas atau kelas ‘Hiu’.
Saya sering membayangkan mereka seperti seekor simpanse yang sedang berkendara, simpanse yang sedang berkelahi, atau simpanse yang sedang memperebutkan wilayah kekuasaannya (simpanse memang hewan yang bersifat territorial).
Jane Goodall sendiri lahir dengan nama lengkap Valerie Jane Morris-Goodall, pada tanggal 3 April 1934, di London, Inggris. Pendidikannya adalah seorang Professor dari Newnham College, Cambridge di bidang primatologi, etologi, dan konservasi lingkungan. Dia mendirikan Jane Goodall Institute pada tahun 1977, dan telah menulis sejumlah buku terkenal seperti In the Shadow of Man dan Reason for Hope.
Pastinya, Jane Goodall telah dikenal sebagai primatolog paling berpengaruh di dunia, terutama karena penelitiannya terhadap simpanse liar di Taman Nasional Gombe Stream, Tanzania, sejak tahun 1960.
Apa Sebenarnya Perbedaan Kita Dengan Simpanse?
Baik, kita coba ulangi lagi pertanyaannya….apa bedanya kita dengan simpanse yaa…?
Bentuk fisik tubuh hampir sama. IQ hampir sama….bahkan IQ rata-rata orang Indonesia (rata-rata 70 sampai 80), yang digadang-gadang tidak jauh berbeda dengan IQ simpanse (rata-rata 30 sampai 50).
Sama-sama memiliki empati, bahkan terkadang lebih tinggi empati simpanse. Selama hidupnya, Jane Goodall si ahli simpanse tidak pernah menemukan ibu simpanse yang membunuh anaknya, atau anak simpanse yang membunuh ibunya.
Jadi apa yang membedakannya ya?
Begini, secara ilmiah, menurut beberapa sumber yang pernah saya baca dari beberapa jurnal, atau dari film dokumenter tentang Jane Goodall yang saya lihat adalah, perbedaan utama antara manusia dan simpanse terletak pada ekspresi genetik, kemampuan bahasa, dan kapasitas abstraksi serta budaya.
Meski DNA kita mirip hingga 99%, cara gen-gen itu bekerja sangat berbeda.
Kemiripan DNA antara manusia dan simpanse memang tinggi, sekitar 95–99%. Namun, naaah ini…..ekspresi gen, atau cara gen diaktifkan dan digunakan oleh tubuhnya sangat berbeda drastis. Karena itulah, hal ini memengaruhi perkembangan otak, sistem saraf, dan kemampuan berpikir abstrak.
Dari sisi kognisi dan bahassa, manusia memiliki neokorteks yang lebih besar dan kompleks, yang memungkinkan kita sebagai manusia untuk berpikir abstrak, merancang imajinasi masa depan, dan dapat mengembangkan kreativitas dan ilmu pengetahuan melalui matematika, filsafat, dan teknologi.
Bahasa manusia juga jauh lebih kompleks. Simpanse bisa menggunakan simbol atau gestur, tetapi tidak memiliki sintaksis dan struktur bahasa (gramatika) seperti kita.
Dari sisi budaya dan kreativitas, manusia menciptakan seni, musik, agama, hukum, dan sistem ekonomi. Simpanse memiliki budaya sederhana (seperti penggunaan alat), tapi tidak berkembang ke arah institusi sosial atau nilai-nilai simbolik. Kita bisa mentransmisikan pengetahuan lintas generasi melalui tulisan dan pendidikan formal.
Sedangkan dari sisi moralitas dan empati, simpanse memang menunjukkan empati dan kerja sama. Namun manusia mengembangkan moralitas abstrak, seperti keadilan, humanitarian, dan hak asasi.
Tetapi ironisnya, kemampuan ini juga memungkinkan kekerasan dan kebodohan yang sistemik pada manusia, seperti saling menyakiti, menghianati, atau saling menindas, sampai saling membunuh, hal-hal yang jarang atau tidak pernah dilakukan simpanse terhadap sesamanya.
Jadi, meski secara biologis kita sangat mirip, cara kita sebagai maanusia menggunakan otak, membangun budaya, dan mengekspresikan nilai-nilai membuat manusia unik. Tetapi justru karena kemiripan itu, kita bisa belajar banyak dari simpanse, tentang empati, kesederhanaan, dan keseimbangan hidup.
Antara Manusia, Simpanse, dan Bahaya Kecanduan Media Sosial dan Tik Tok
Naaah…ironisnya, jika ada manusia yang setiap harinya hanya ‘menggunakan’ otaknya untuk menonton tik tok, gonta ganti status di media sosial, hanya ingin mendapatkan perhatian orang lain, atau bahkan flexing, tanpa perduli lagi dengan keadaan sekitarnya…dan tanpa perduli lagi melanggar hak-hak orang lain, seperti yang sering terjadi di jalan raya, itu artinya manusia tersebut telah mematikan kreativitas otaknya sendiri.
Maka jadilah dia seperti simpanse yang tidak mampu mengambangkan pemikirannya untuk menjadi lebih kreatif seperti manusia pada umumnya.
Dan menariknya, fenomena seperti itu bukan hanya sekadar soal “kemalasan berpikir”, tetapi ternyata ada banyak faktor psikologis dan neurologis yang berperan.
Kita perjelas sedikit lagi ya…..
Menurut beberapa ahli neurologi modern, TikTok dan media sosial memang dirancang untuk memicu pelepasan dopamine atau hormon kesenangan dengan cepat dan berulang.
Akibatnya, otak terbiasa dengan reward instan, dan jadi enggan melakukan aktivitas yang butuh usaha kognitif tinggi seperti membaca, menulis, atau berpikir kritis.
Atau dapat dikatakan bahwa mayoritas manusia saat ini sesungguhnya telah ‘membunuh’ perkembangan kreativitas yang ada di dalam otaknya sendiri.
Menurut para ahli tersebut, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kemunduran neuroplastisitas di otak.
Artinya, ketika manusia yang telah mengalami kemunduran neuroplastisitas, maka dia tidak akan bisa membuat atau menemukan solusi untuk hal-hal yang dianggapnya sulit. Dengan demikian, pelampiasannya adalah menjadi mudah marah, mudah putus asa, dan mudah menyalahkan kegagalannya sendiri kepada orang lain.
Kreativitas sesungguhnya butuh neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk membentuk koneksi baru. Jika otak hanya diberi stimulus pasif (scrolling, menonton), maka jalur kreatif dan reflektifnya bisa melemah.
Dampak yang paling berbahaya dari hal ini adalah ketika manusia sudah kehilangan kesadaran sosialnya yang nyata, karena fokus berlebihan pada citra diri di media sosial bisa mengikis empati dan kepedulian sosial.
Manusia akan menjadi sahabat jika dia merasa diperhatikan di media sosial, dan langsung akan menjadikan orang lain musuhnya jika dia merasa diabaikan. Ironisnya, padahal semua itu justru bukan terjadi di dunia nyata.
Ya, kecanduan media sosial memang telah menyebabkan penurunan empati manusia secara global, termasuk di Indonesia, di mana remaja, dewasa, bahkan orang tua semakin sulit memahami dan merespons emosi orang lain secara nyata.
Dan ironisnya lagi, menurut Jane Goodall, simpanse justru punya kesadaran sosial tinggi dalam kelompoknya, mereka saling merawat, berbagi makanan, bahkan berduka bersama.
Simpanse tidak punya teknologi, tetapi mereka tidak pernah mengalami gangguan mental akibat FOMO (Fear of Missing Out).
Jika simpanse menghabiskan waktu untuk grooming dan mempererat ikatan sosial, manusia modern justru menghabiskan waktu untuk scrolling dan mempererat ikatan dengan layar.
Jane Goodall, dalam pengamatannya selama puluhan tahun, tidak pernah menemukan simpanse yang membunuh anaknya demi konten viral. Sebuah prestasi yang belum tentu bisa ditiru manusia.
Memang dalam hal komunikasi, manusia punya ribuan bahasa. Tetapi ironisnya, banyak yang gagal menyampaikan rasa cinta tanpa emoji.
Simpanse juga tidak memiliki universitas, tetapi mereka tidak pernah menciptakan teori konspirasi tentang bagaimana saling menghianati. Sementara manusia berpendidikan justru sering menjadi penghianat dan penyebar hoaks.
Dalam hal empati, simpanse menunjukkan perilaku yang konsisten. Mereka berbagi makanan, merawat yang sakit, dan bahkan berduka bersama.
Simpanse juga tidak pernah membuat konten prank yang merendahkan martabat sesama simpanse. Mereka tahu batas antara bermain dan menyakiti.
Simpanse tidak pernah menciptakan sistem pendidikan yang membuat anak-anak stres. Mereka belajar dari alam, bukan dari ujian pilihan ganda.
Simpanse tidak pernah menciptakan sistem sosial yang membuat orang tua ditinggalkan di panti jompo. Mereka merawat yang lemah sebagai bagian dari komunitas.
Manusia? Kadang lebih sibuk mengedit caption daripada menolong tetangga yang kelaparan. Kemudian berkomentar di media sosial, seolah-olah dialah manusia yang paling bijak.
Manusia juga dengan bangga menciptakan demokrasi. Tetapi sekaligus juga menciptakan buzzer politiknya. Bandingkan dengan simpanse yang tidak pernah memilih pemimpinnya lewat polling dan survey, tetapi lewat pengalaman dan kepercayaan di antara mereka.
Mengapa Manusia Memilih Untuk Hidup Seperti Simpanse?
Maka, pertanyaannya mungkin bukan lagi “apa bedanya manusia dan simpanse?”, tetapi “mengapa manusia memilih untuk hidup seperti simpanse yang tidak mampu mengembangkan gen yang dimiliknya ?”.
Sebuah ironi yang layak direnungkan, bukan?
Dengan demikian, sekali lagi, sesungguhnya bukanlah IQ yang membedakan manusia dari simpanse, tetapi bagaimana kita memilih untuk menggunakan akal dan empati kita.
Kalau manusia hanya mengejar viralitas dan validasi semu dari hiburan instan, maka sesungguhnya dia sedang “mematikan” keunggulan otak yang dimilikinya sendiri.
Dan pastinya dia akan tampak lebih mirip simpanse, daripada seorang manusia yang seharusnya berpikir, berkretifitas, dan berempati secara mendalam.
Maka, jika simpanse selaliu menolak untuk berevolusi menjadi manusia, kita tidak bisa menyalahkan mereka.
Sebab, dari sudut pandang etologis, menjadi manusia hari ini bukan lagi soal kemuliaan, tetapi hanya soal bagaimana menjadi viral meskipun tidak valid, dan bagaimana agar selalu menjadi tumpuan perhatian bagi orang lain dalam dunia yang tidak terlihat (maya). Manusia sesungguhnya mempunyai potensi luar biasa. Tetapi banyak yang memilih menjadi penonton kehidupan daripada pelaku perubahan.
Jadi, sampai disini kita dapat memahami, bahwasannya manusia memiliki potensi dan piilihannya sendiri.
Simpanse tidak punya pilihan untuk menjadi manusia, Tetapi manusia bisa memilih untuk hidup seperti simpanse.
Tentu saja jika dia tidak menggunakan potensi otak dan akal yang dimilikinya.
Rest In Peace, Jane Goodall
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 16 Oktober 2025
*Pensyarah Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
Views: 30












