Kerugian dan Keberuntungan yang Sebenarnya

Posted by : wartaidaman 12/11/2023
WARTAIDAMAN.com 

 

 

Oleh: H. J. Faisal  |

 

Ketika Allah Ta’alla telah bersumpah atas nama waktu di dalam firman-Nya dalam surat Al-Ashr, maka artinya Allah Ta’alla telah memilih sebuah dzat yang pastinya sangat berharga, dan tidak ada istilah bermain-main dalam dzat tersebut. Ya, dzat tersebut adalah waktu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda, yang artinya: “Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang” (Muttafaqun ‘alaih).

Seperti yang pernah dikutip di dalam sebuah artikel di islamic-center.or.id, Syaikh Abdul Malik Al-Qasim telah mendefinisikan makna tentang waktu sebagai berikut, ‘Waktu yang sedikit adalah harta berharga bagi setiap muslim di dunia ini. Waktu adalah nafas yang terbatas dan hari-hari yang dapat terhitung. Jika waktu yang sedikit itu yang hanya sesaat atau beberapa jam bisa berbuah kebaikan, maka ia sangat beruntung. Sebaliknya jika waktu disia-siakan dan dilalaikan, maka sungguh ia benar benar merugi. Dan waktu yang berlalu tidak mungkin bisa kembali selamanya” (Risalah Al-Waqtu Anfus laa Ta’ud, hal. 3).

Disalin dari muslimah.or.id, bahkan seorang ulama dan imam besar umat muslim, yaitu Imam Syafi’I, pernah berkata dalam kitab Al-Jawaabul Kaafi karya imam Ibnul Qayim rahimahullahu disebutkan bahwa, “Waktu laksana pedang, jika engkau tidak menggunakannya maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.”

Begitu penting dan sangat berharganya waktu, sehingga dijadikan landasan atau dasar bagi Allah Ta’alla untuk bersumpah. Pastinya ada hal yang sangat penting yang ingin Allah Ta’alla sampaikan kepada hamba-Nya, sehingga Allah Ta’alla mengucapkan sumpah-Nya tersebut.

Jika demikian, maka pertanyaannya yang muncul di benak kita adalah, apakah hal yang sangat penting tersebut?

Ya, tidak lain dan tidak bukan, hal tersebut ternyata adalah sebuah peringatan dari Allah Ta’alla kepada hamba-Nya yang sangat disayangi-Nya, yaitu manusia. Allah Ta’alla telah memperingatkan manusia berdasarkan kenyataan yang ada dalam diri dan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu posisi beradanya manusia dalam kerugian. Ya, kerugian yang ternyata disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kerugian yang disebabkan karena manusia tidak mampu untuk mengolah dan mengatur kehendak bebasnya (baca: nafsu) sendiri, dimana kehendak bebas itu sesungguhnya dapat membawa manusia dalam meninggikan derajatnya, maupun menghancurkan derajatnya sendiri.

Jika demikian, apakah sesungguhnya makna kerugian di dalam Islam. Tidak lain dan tidak bukan, makna sesungguhnya tentang kerugian adalah, masuknya manusia ke dalam neraka-Nya Allah Ta’alla kelak, baik neraka yang sangat panas maupun neraka yang sangat dingin (neraka Zamharir).

Allah Ta’alla telah memperingatkan manusia di dalam firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran: 192, yang artinya: “ Ya Rabb kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang lalim seorang penolong pun ” (QS. Ali ‘Imran: 192).

Menurut Prof. Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, seorang ulama terkemuka dari Universitas Jordania, kelahiran Palestina, neraka adalah negeri yang disiapkan oleh Allah untuk orang-orang yang kafir (ingkar) terhadap-Nya, yang membangkang terhadap syariat-Nya dan yang tidak mempercayai para rasul-Nya. Dijelaskan pula oleh Prof. Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, bahwa neraka adalah kehinaan dan kerugian terbesar.

Namun, untuk mencegah agar hamba-Nya tidak mendapatkan kerugian tersebut, maka Allah Ta’alla juga memberikan solusi jalan keluarnya. Allah Ta’alla tentu ingin semua hamba-Nya yang bernama manusia mendapatkan keberuntungan yang sejati.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan keberuntungan yang sesungguhnya tersebut? Jika kerugian yang terbesar adalah neraka, maka keberuntungan terbesar yang sesungguhnya bagi manusia pastinya adalah surga-Nya Allah Ta’alla.

Di dalam surat Ash-Shaaff : 12, Allah Ta’alla telah memastikan keberuntungan yang besar tersebut sebagai surga-Nya, yang artinya: “Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. (Q.S. Ash-Shaaff : 12).

Seperti yang telah firmankan di dalam surat Al Ashr, bahwa ada 4 (empat) syarat, atau empat cara agar manusia mendapatkan keberuntungan (baca: surga-Nya Allah Ta’alla), yaitu: beriman, beramal sholeh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran (nilai-nilai mendasar dalam berdakwah).

Jika kita renungkan, semua empat syarat keberuntungan yang Allah Ta’alla berikan tersebut merupakan sebuah rangkaian ketauhidan yang menjadi dasar berdirinya agama Islam.

Sebagai manusia yang mengaku telah beriman kepada Allah Ta’alla, maka wajiblah bagi dia untuk beramal sholeh dan mengatakan tentang kebenaran dan kesabaran kepada sesama manusia lainnya, atau dengan kata lain berdakwah di atas dasar kebenaran dan kesabaran, sesuai dengan tuntunan yang Allah Ta’alla dan Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam berikan.

Dengan kata lain, seorang manusia yang mengaku dirinya telah beriman, wajib pula untuk saling memberitakan tentang kebenaran yang datangnya dari Allah Ta’alla, meskipun hanya satu ayat. Jika tidak mampu, maka lebih baik diam, dan tidak menyampaikan sesuatu yang dapat merusak keimanan diri sendiri, dan juga keimanan orang lain.

Hal ini sesuai dengan perintah yang dianjurkan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Al Ash, yang artinya:: “Sampaikan dariku walaupun satu ayat, dan sampaikan kisah tentang Bani Israil, dan itu tidak mengapa. Dan barangsiapa yang berdusta atasku dengan menyengaja, maka tempat duduknya adalah di neraka.”

Begitupun sebaliknya, amal sholeh yang dilakukan tanpa dasar iman, pastinya juga tertolak. Seorang ulama kontemporer dari Indonesia, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka, telah menuliskan di dalam bukunya yang berjudul ‘Kesepaduan Iman dan Amal Saleh’, menegaskan bahwa iman dan amal saleh merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena, apabila salah satunya hilang, kesungguhan menjalankan Islam menjadi tidak sempurna. Iman tanpa amal itu hampa, sedangkan amal tanpa iman itu percuma.

Hal ini terlihat dari sabda Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam: “Allah Ta’alla tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR ath-Thabrani). Dalam karyanya ini, Buya Hamka menjelaskan tentang bagaimana seharusnya menempatkan porsi iman dan amal saleh secara tepat sesuai tuntunan syariat.

Dengan demikian, maka menjadi jelas bahwa surat Al Ashr yang telah Allah Ta’alla turunkan sebagai peringatan kepada manusia, sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang masalah waktu. Firman Allah Ta’alla ini sesungguhnya berbicara tentang bagaimana manusia menghindari kerugian (neraka-Nya), dan bagaimana pula cara manusia mendapatkan keberuntungan (surga-Nya).

Bahkan seorang imam besar seperti Imam Syafii Rahimahullah pernah mengatakan bahwa: “Jika umat Islam introspeksi diri melalui ayat ini, mereka akan terpukau dibuatnya. Jika surat ini satu-satunya yang dikirimkan untuk umat manusia maka akan cukup bagi mereka, dan banyak Muslim yang lalai dari surat ini,” kata beliau.

Semoga coretan sederhana ini dapat menjadi pengingat bagi diri saya dan saudara-saudaraku seiman semuanya, dan semoga Allah Ta’alla menempatkan kita semua di dalam keberuntungan yang sesungguhnya. Aamiin ya Rabbal’alamiin.

Wattawassaubil haq wattawassaubissobr

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 3 Juli 2023/ 14 Dzulhijah 1444 H

 

*Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Waketum PJMI/ Anggota PB Al Washliyah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RELATED POSTS
FOLLOW US