
WARTAIDAMAN.com
Oleh : Ismail Fahmi
Founder Drone Emprit dan PT Media Kernels Indonesia
Namanya Hugo Travers. Tapi di jagat media digital, orang mengenalnya sebagai Hugo Décrypte.
Dia bukan editor senior. Bukan alumni sekolah jurnalisme ternama. Tapi sekarang dia adalah salah satu orang paling dipercaya oleh anak muda di Prancis untuk menjelaskan berita dunia.
Dia tampil dengan kaus biasa. Duduk di depan kamera. Menjelaskan dengan bahasa ringan. Tapi audiensnya? Lebih banyak dari sebagian besar media nasional.
Dan apa yang dilakukan Hugo bukan sekadar membuat konten. Dia membangun kepercayaan baru di kalangan generasi yang sudah tidak percaya lagi pada media lama.
Dari Newsroom ke Kamar Tidur
Dalam paparannya di Global Media Forum 2025, Nic Newman dari Reuters Institute menyebut fenomena ini sebagai salah satu perubahan terbesar dalam lanskap media global:
Jurnalisme tidak lagi dimulai dari ruang redaksi. Tapi dari kamar tidur, dengan tripod dan kamera smartphone.
Hugo Travers bahkan pernah mendapat akses untuk bertanya langsung kepada Presiden Zelensky dan Donald Trump. Sesuatu yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh koresponden senior.
Apa yang berubah?
Bukan Institusi, Tapi Identitas
Dulu, kepercayaan dibangun oleh institusi.
Kini, kepercayaan dibangun oleh orang.
Anak muda tidak membaca berita karena “ini dari Le Monde” atau “dimuat The Guardian.”
Mereka menonton karena ini dari Hugo.
Karena mereka merasa mengenalnya. Karena gaya bicaranya masuk akal. Karena tidak merasa digurui.
Jurnalis hari ini bukan hanya pembawa berita. Dia adalah brand.
Ini bukan tentang popularitas. Ini tentang kedekatan.
Dan di era banjir informasi, kedekatan adalah bentuk baru dari kredibilitas.
Creator Adalah Newsroom Baru
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Prancis.
Di India, di Nigeria, di Indonesia—muncul generasi baru pembuat konten yang mengisi kekosongan yang ditinggalkan media tradisional.
Mereka membahas isu-isu serius dengan gaya ringan. Mereka mewakili suara yang selama ini dianggap tidak penting.
Dan mereka, seperti yang ditunjukkan Nic Newman, lebih berani mengkritik pemerintah daripada media arus utama.
Karena mereka tidak punya ikatan bisnis, tidak punya afiliasi politik, dan tidak punya beban warisan institusi.
Yang mereka punya adalah: kredibilitas personal.
Tapi, Apakah Ini Cukup?
Namun, pertanyaannya: apakah jurnalisme bisa bertahan hanya dengan wajah-wajah muda ini?
Apa yang terjadi jika Hugo lelah? Jika TikTok mengubah algoritma? Jika YouTube memutus monetisasi?
Apakah masyarakat cukup dilayani oleh jurnalisme yang bergantung pada algoritma dan engagement?
Inilah paradoksnya:
Kita menemukan kejujuran baru di tangan individu, tapi kita kehilangan struktur, akuntabilitas, dan proses verifikasi yang dulu dijaga oleh newsroom.
Penutup: Saatnya Tidak Lagi Meremehkan YouTuber
Kita bisa sinis dan bilang:
“Ah, itu bukan jurnalis. Cuma anak muda ngomong di kamera.”
Tapi angka bicara lain.
Anak-anak muda lebih percaya Hugo daripada saluran berita televisi.
Mereka tidak butuh breaking news. Mereka butuh breaking down—penjelasan.
Dan jika media lama ingin kembali relevan,
mereka tidak hanya perlu merekrut jurnalis baru.
Mereka perlu belajar dari Hugo:
tentang bahasa yang jujur, pendekatan yang personal, dan keberanian untuk bicara langsung tanpa bersembunyi di balik institusi.
Karena hari ini,
jurnalisme bukan soal di mana Anda bekerja,
tapi siapa yang percaya pada Anda.
IF/AI
*ha9000/ wi/ nf/ 120725
Views: 37