KINERJA DAN KEBIJAKAN TANPA INDIKATOR, BAGAIMANA BISA DIEVALUASI?

Posted by : wartaidaman 13/02/2025
 
WARTAIDAMAN.com 

 

 

Oleh: H. J. Faisal

Apa Dasar Evaluasinya?

Banyak pihak yang mengevaluasi hasil kerja 100 hari rezim pemerintahan saat ini. Bahkan, banyak pihak juga yang berani menilai kinerja para menteri yang berkategori baik, sedang, dan buruk.

Entahlah, pastinya para penilai itu mempunyai dasar penilaian ilmiah sendiri-sendiri, atau mungkin juga penilaiannya hanya didasarkan kepada pendapat para netizen belaka.

Namun jika model dasar penilaiannya didasarkan kepada kemungkinan yang kedua tadi, maka yang terjadi adalah ibarat penilaian yang dilakukan oleh orang-orang buta terhadap seekor gajah, ada yang menyebut gajah bentuknya lebar, karena secara kebetulan orang buta tersebut hanya memegang telinganya saja, dan ada yang menyebut gajah bentuknya panjang, karena orang buta tersebut secara kebetulan hanya memegang belalainya saja, dan begitu seterusnya.

Bagi saya pribadi, hasil kerja 100 hari rezim pemerintahan saat ini, tetap tidak bisa dinilai secara objektif. Bahkan sampai mereka selesai memerintah 5 tahun kedepan pun tetap tidak bisa dinilai.

Begini…..

Mengapa saya mengatakan demikian? Karena sesuatu yang dapat dinilai, harus ada dasar atau indikator untuk penilaiannya, bukan?

Dan indikator penilaian kinerja pemerintah Indonesia adalah berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD)1945 (yang sayangnya telah diamandemen menjadi Undang-Undang Dasar 2002), yang seharusnya dituangkan secara teknis ke dalam sebuah Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Nah, dari dua indikator negara yang utama itulah, baru kita bisa menilai hasil kerja para penyelenggara pemerintahan ini, baik, sedang, atau buruk, sesuai atau tidak dengan UUD nya, dan sesuai atau tidak dengan GBHN nya….?

Jadi, jika pemerintahan negara ini tidak memiliki indikator penilaian kinerjanya secara nasional, seperti UUD dan GBHN, bagaimana kita mendapatkan kategori baik, sedang, atau buruk tersebut?

Maka tidaklah mengherankan jika pemimpin rezim saat inipun banyak mengeluarkan pernyataan yang sangat subjektif, tanpa konsep, dan sepertinya pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan, hanya untuk memberikan harapan sesaat kepada masyarakat, tanpa mempertimbangkan efek dominonya terhadap kesejahteraan rakyat dari berbagai sisi.

Begitupun dengan para pembantunya, baik menteri, utusan khusus, staf khusus utusan khusus, atau bahkan staf khusus utusan khusus yang lebih khusus lagi. Semuanya ingin terlihat publik dengan ‘kebijakan-kebijakan’ mereka yang seakan-akan memihak kepada rakyat.

Kisruh Gas Melon 3 Kg

Sebagai contoh, kisruh gas melon 3 kg yang telah terjadi dalam kurun waktu satu bulan terakhir ini, tepatnya mengenai kebijakan baru yang mengatur distribusi gas melon 3 kg, yang menyebabkan kelangkaan gas di beberapa wilayah di Indonesia. Kebijakan ini sungguh tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi masyarakat ekonomi lemah, karena mayoritas pengguna gas melon 3 kg adalah masyarakat mampu.

Kisruh terkait gas LPG 3 kg terjadi karena beberapa alasan yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Salah satu alasan utamanya adalah peningkatan harga gas LPG 3 kg yang disebabkan oleh beberapa pengecer yang dianggap mempermainkan harga.

Masih menurut Bahlil, pemerintah memutuskan untuk menghapus pengecer dalam rantai distribusi gas LPG 3 kg dan mengubah mereka menjadi pangkalan, sehingga harga dapat lebih terkendali dan sesuai dengan subsidi yang diberikan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa gas bersubsidi dapat sampai tepat sasaran kepada masyarakat yang membutuhkannya.

Sangat terdengar seperti kebijakan yang mengada-ada, karena tidak sepenuhnya memperhitungkan dampak nyata pada masyarakat.

Terbukti dari kebijakan yang tidak tepat dan tidak matang tersebut telah menimbulkan ketidakstabilan harga dan pasokan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat, terutama yang berada di kalangan ekonomi lemah.

Sesungguhnya, yang menjadi permasalahan mendasarnya adalah, ketika energi yang notabene telah menjadi sesuatu yang sangat vital bagi masyarakat, itu artinya kebutuhan gas sebagai public goods seharusnya menjadi prioritas kebijakan yang utama, dan kebijakan terhadap energi ini tidak bisa dijadikan ‘percobaan’kebijakan yang semena-mena.

Energi, termasuk gas, merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat dan berfungsi sebagai Public Goods. Kebijakan terhadap energi seharusnya dirancang dengan pertimbangan matang dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat.

Menurut para ahli energi dan ahli kebijakan publik Indonesia, ada beberapa prinsip yang sebaiknya dipegang dalam pembuatan kebijakan energi publik, yaitu:

1. Keadilan Sosial: Kebijakan harus memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu, mendapatkan akses yang adil dan merata terhadap sumber energi.

2. Keberlanjutan: Kebijakan harus memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dan menjamin ketersediaan energi untuk jangka panjang.

3. Efisiensi dan Efektivitas: Kebijakan harus dirancang untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya energi dengan biaya yang efektif dan efisien.

4. Transparansi dan Akuntabilitas: Kebijakan harus dibuat dengan transparansi dan melibatkan partisipasi publik untuk memastikan akuntabilitas.

5. Stabilitas Pasokan: Kebijakan harus menjamin stabilitas pasokan energi dan menghindari gangguan yang dapat merugikan masyarakat.

Adapun eksperimen kebijakan yang semena-mena dapat menimbulkan ketidakpastian dan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan kajian mendalam dan konsultasi dengan para ahli serta pemangku kepentingan sebelum menerapkan kebijakan baru.

Masih Menggunakan Gas Melon 3 Kg, Berarti Masih Miskin

Sesungguhnya, suka atau tidak, terima atau tidak terima, malu atau tidak, selama kita masih menggunakan gas 3 kg untuk memasak di rumah kita, itu artinya kita masih masuk ke dalam kategori miskin,sesuai dengan disclaimer yang tertera di tabung gas melon 3 kg itu sendiri…..ini artinya jika mayoritas rakyat Indonesia masih menggunakan gas melon ini, maka seluruh rakyat Indonesia memang masih berada dalam kategori miskin, dan saran saya pemerintah seharusnya berhenti mempermainkan kebutuhan perut rakyat miskinnya sendiri.

Penggunaan gas melon 3 kg sejatinya memang menjadi indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi banyak keluarga di Indonesia. Karena itulah, maka kebijakan energi yang tepat haruslah mempertimbangkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada dalam kategori kurang mampu.

Pemerintah juga memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyediakan akses energi yang terjangkau dan merata bagi semua warganya.

Ketidakstabilan pasokan atau kebijakan yang kurang tepat dapat berdampak langsung pada kebutuhan dasar masyarakat, seperti memasak, yang merupakan aktivitas sehari-hari yang vital.

Sudah saatnya pemerintah berhenti mempermainkan kebutuhan perut rakyat miskin. Kebijakan energi seharusnya dirancang dengan mempertimbangkan keadilan sosial dan kesejahteraan jangka panjang. Diperlukan sebuah pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, dan dapat memastikan bahwa seluruh rakyat, tanpa kecuali, mendapatkan manfaat yang adil dari sumber daya yang ada.

Kebijakan energi seharusnya dirancang dengan pendekatan yang holistik, mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi riil masyarakat, serta didasarkan pada data dan analisis yang akurat, bukan hanya berdasarkan sensasi belaka.

Keputusan kebijakan sebaiknya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli energi, ekonom, dan perwakilan masyarakat, untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut adil, efektif, dan berkelanjutan.

ini adalah pekerjaan rumah Presiden Prabowo untuk membereskan menteri-menterinya yang masih ‘bingung’, yang tidak paham terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi sendiri.

Apalagi Presiden Prabowo juga telah menegaskan, bahwa dia akan menyingkirkan menteri-menteri yang tidak memenuhi tugas mereka dengan baik. Ini merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki kinerja kabinet yang telah mengalami beberapa kontroversi selama 100 hari pertama pemerintahannya. Prabowo menginginkan pemerintahan yang bersih dan berfungsi dengan baik demi kepentingan rakyat.

Prosedur Pengambilan Kebijakan Publik Yang Ideal

Berhentilah memberikan kejutan pahit untuk rakyat, apalagi sebentar lagi rakyat juga akan dihadapkan dengan kenaikan harga bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya karena akan menghadapi bulan puasa dan hari raya Idul Fitri.

Pastinya pemerintah juga akan menutupi ketidakbecusannya dalam mengendalikan kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut….ya, maklumlah, permintaan barang tinggi atau karena musim penghujan, maka produksi terganggu sedangkan permintaan banyak. apapun alasan ketidakmampuan pengendalian harga tersebut, tetap tidak ada solusinya, dan rakyat juga yang harus menelan rasa pahitnya.

Pada momen-momen seperti ini, permintaan biasanya meningkat drastis dan seringkali memicu kenaikan harga yang signifikan. Ini tentu berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang berada dalam kategori ekonomi lemah.

Pemerintah memang seharusnya memiliki perencanaan yang matang dan kebijakan yang efektif untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok, baik melalui regulasi yang tepat, pengawasan yang ketat, dan penambahan pasokan untuk mengantisipasi peningkatan permintaan. Keterlibatan para pemangku kepentingan, termasuk pedagang, produsen, dan masyarakat, sangat penting dalam merumuskan solusi yang tepat.

Secara akademis, sesungguhnya proses prosedural sederhananya adalah sebagai berikut, ketika sebuah perencanaan kebijakan akan dibuat, maka langkah awalnya adalah menentukan visi dan misi kebijakan tersebut, yang pastinya harus mementingkan ‘Public Domain’, alias kepentingan rakyat demi kesejahteraan rakyat itu sendiri.

Setelah visi dan misi mulia tersebut dibuat, kemudian menentukan program khususnya, barulah menentukan kebijakan teknisnya dengan segala macam sektor yang mendukungnya, seperti sarana prasarana dan pendanaannya. Setelah konsep semua itu selesai, barulah menentukan siapa pelaksana atau eksekutor dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Tentu idealnya, pelaksananya adalah pribadi-pribadi yang memang jelas kualitas kapasitas dan kapabilitasnya, jelas proses fit and proper test nya, bukan pesanan atasan, dan pastinya bukan calon koruptor atau memiliki pengalaman sebagai koruptor.

Setelah semuanya dilakukan, barulah kebijakan tersebut dieksekusi untuk kepentingan publik, dan dievaluasi secara berkala.

Secara akademis pula, penilaian yang dilakukan terhadap sebuah kinerja agar mendapatkan penilaian yang objektif, adalah dengan mengikuti alur metode epistimologi yang telah ada, yaitu membuat sebuah konsepsi, kemudian melahirkan sebuah teori awal, dan dari teori awal tersebut maka akan muncul sebuah model penilaian, kemudian dari model tersebut akan muncul berbagai macam variabel.

Dan untuk memastikan keabsahan dari variabel-variabel tersebut maka dibuatlah berbagai macam indikator sebagai patokan untuk menguji kembali data-data yang didapat, untuk mendapatkan sebuah teori akhir yang lebih kuat keabsahannya atau kebenarannya.

Selain dari sisi prosedur konsepsi yang matang, sebuah kebijakan publik juga harus memperhatikan dasar legalitasnya, sesuai dengan konstitusi dan perundangan yang berlaku atau tidak, melanggar hukum, norma dan etika yang berlaku atau tidak. Karena sejatinya, nilai dari sebuah hukum bukan saja dilihat dari sisi afirmatif positifnya saja, tetapi juga harus memperhatikan sisi norma, etika, dan moral.

Setelah itu, diperlukan juga penilaian tentang bagaimana tingkat kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan atau keputusan tersebut, bahkan harus dinilai juga bagaimana kualitas keprofesionalan, kecerdasan dan pengetahuan para eksekutor kebijakan tersebut.

Harus juga ada penilaian proporsional terhadap kebijakan tersebut, sesuai dengan apa yang diperlukan oleh publik atau tidak, dan terkahir dan terpenting adalah menilai keberpihakan kebijakan tersebut, apakah memihak kepentingan publik atau kepentingan korporasi.

Lebih idealnya lagi, ketika seluruh kebijakan atau keputusan-keputusan tersebut memang didasarkan kepada UUD negara dan GBHN sebagai indikator nasional yang memang dibuat sebagai panduan kebijakan yang memihak kepentingan publik/rakyat dalam jangka panjang, agar bangsa dan negara ini tidak tersesat lebih lama dan lebih dalam lagi.

Penutup

Sebagai penutup, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah pertanyaan.

Kira-kira, kapan negeri tercinta kita ini akan memiliki seorang pemimpin yang berjiwa negarawan, yang cerdas, bijak, dan paham tentang tata cara bernegara dan tata cara mengambil keputusan yang tepat dan sehat?

Bukan pemimpin kaleng-kaleng yang selama ini ada di era reformasi, era yang sudah kita semua jalani sejak 27 tahun yang lalu……

Dan bukan juga pemimpin yang sekedar menjelma menjadi ‘Netizen Pleaser’, sehingga lebih takut dengan ‘temuan’ netizen, yang terkadang disertai dengan penilaian yang tidak jelas dasar hukumnya, dibandingkan takut dengan Tuhannya, hukum positif yang sebenarnya, dan juga sumpah jabatannya.

Mari kita mulai bermimpi untuk itu.

Bukankah segala sesuatu yang besar, berawal dari mimpi?

Dan untuk mendapatkan banyak mimpi, maka kita harus banyak tidur, bukan?

Jadi, selamat tidur dan tidur semuanya…dan semoga tidak bermimpi buruk.

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 13 Februari 2025

*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI/ Sekretaris Majelis Riset dan Digitalisasi PB Al Washliyah.
RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *