WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. FAISAL
Ada beberapa kawan yang meminta pendapat saya mengenai debat calon Presiden yang ke-2, yang berlangsung pada hari minggu, 7 Januari 2024 yang lalu. Bagi saya pribadi, terus terang saya merasa biasa saja dengan hasil debat calon Presiden yang ke-2 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Menurut pandangan saya sebagai orang awam, debat yang seharusnya melahirkan banyak ide dan gagasan tentang kondisi pertahanan dan keamanan negara sebesar Indonesia ini, ternyata hanya menjadi ajang saling ‘menguliti’ di wilayah privat masing-masing calon Presiden tersebut, dan lagi-lagi masalah tentang ‘etika’ menjadi pemicunya.
Karena saling sindir tentang masalah ‘etika’ tersebut, akhirnya terjadilah pergeseran inti debat, yang seharusnya berisi tentang substansi permasalahan tentang pertahanan dan keamanan negara, malah beralih menjadi ajang saling membongkar aib. ‘Kegaduhan’ yang ditimbulkan tersebut tidak layaknya seperti melihat emak-emak yang sedang mengantri membeli minyak goreng di sebuah warung, saling berusaha berteriak untuk mendapatkan perhatian pedagang si pemilik warung, agar dirinya dapat dilayani terlebih dulu oleh si empunya warung tersebut.
BACA JUGA
Sekolah Doktoral Pascasarjana UIKA Bogor Raih Akreditasi ‘Unggul’ Di Awal Tahun 2024
Padahal sejatinya rakyat Indonesia berhak mengetahui semua hal yang sifatnya ‘unconfidential’ tentang bagaimana sesungguhnya keadaan pertahanan bangsa ini dari proses debat tersebut, dikarenakan rakyat Indonesia telah membayar berbagai macam pajak kepada negara, yang salahsatu kegunaan pajak tersebut adalah untuk membiayai pembelanjaan alat-alat pertahanan negara, penyempurnaan sistem pertahanan, dan peningkatan teknologi pertahanan negara.
Sejalan dengan kondisi pertahanan negara ini, sesungguhnya rakyat juga berhak mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi geopolitik Indonesia yang berada di antara ketegangan dua negara adidaya saat ini, yaitu antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan secara mendalam, juga bagaimana sesungguhnya keadaan negara-negara ASEAN dan negara-negara di benua Asia secara global dalam menghadapi dualisme hegemoni China dalam bidang ekonomi, dan hegemoni Amerika Serikat dalam bidang pertahanan dan keamanan.
BACA LAGI
NASIB ORGANISASI DI TANGAN PEMIMPIN YANG ‘BERMENTAL MISKIN’
Alih-alih rakyat yang seharusnya mendapatkan informasi data dan fakta tentang pertahanan negara yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia dan beberapa kawasan regional di kawasan Asia tersebut, malah mendapatkan suguhan ‘permainan emosi’ dan ‘tagihan-tagihan etika’ dari para calon Presiden yang menurut saya sangat kekanak-kanakan.
Sesungguhnya, di dalam sebuah sistem demokrasi liberal (sistem demokrasi yang dibentuk oleh kaum kapitalisme Yahudi di awal tahun 1800-an), seperti sistem demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia saat ini, memang tidak perlu berbicara tentang etika, sebab etika sudah tidak diperlukan lagi. Namanya juga liberal, yang penting tujuannya tercapai, dan keuntungan yang direncanakan dapat terwujud, maka segala cara yang ditempuh oleh penguasa atau para pejabat pemegang kuasa akan dianggap sah-sah saja.
Mengapa demikian? Ya pastinya ketika mereka melakukan pelanggaran etika dalam bernegara demi kepentingan sepihak mereka, mereka tidak akan merasa melanggarnya, sebab mereka merasa tidak melakukan pelanggaran apapun terhadap norma-norma hukum positif yang ada. Bermain ‘Playing Victim’ adalah keahlian mereka dalam hal ini.
Sedangkan etika dan moral adalah bagian dari nilai kemanusiaan yang paling mendasar, yang mempunyai hubungan yang erat dengan rasa malu, sehingga hanya mereka yang masih mempunyai rasa malu saja yang masih memiliki etika dan moral.
Artinya, bagi pihak yang menginginkan tegaknya etika dan moral bernegara dan bermasyarakat di negara yang menganut azas domokrasi liberal secara mutlak seperti ini, pastinya akan disingkirkan, dihambat, dilemahkan, dan dianggap sok beretika dan sok bermoral.
SILAHKAN DIBACA
ANTARA HARAPAN DAN IMPIAN….PLEASE, JANGAN DISAMAKAN, YAAA!!
Maka sepertinya sangatlah ‘benar’ dengan apa yang dikatakan oleh calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang didukung oleh penguasa negara (baca: sang Presiden) saat ini, serta para partai pendukungnya, bahwa jangan pernah berbicara soal etika (baca: ndasmu etika…).
Ya, karena calon Presiden dan calon Waki Presiden yang didukung oleh sang penguasa negara saat ini, serta para partai pendukungnya tersebut lahir dari proses hukum yang tidak bermoral dan beretika.
Sungguh sebuah ironi memang, dimana rakyat di negara ini masih dengan bangga mengatakan bahwa etika dan adab ke-timur-an masih dijunjung tinggi di negeri ini, tetapi perilaku pemimpin dan para elit partai politiknya malah memperlihatkan sikap ketidaketisan mereka kepada rakyatnya sendiri, tanpa rasa malu sedikitpun.
Aahh….sudahlah, menurut saya percuma saja berbicara tentang etika dan moral kepada mereka yang sudah tidak mempunyai rasa malu. Padahal berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam bersabda: “Bahwa sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman.”
Jika demikian, maka manusia-manusia yang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, sesungguhnya telah hilang sebagian keimanannya kepada Allah Ta’alla dan Rasul-Nya. Dan bencana apa yang lebih besar dari bencana keimanan yang hilang kepada Allah Ta’alla dan Rasul-Nya?
Sekali lagi, sepertinya rakyat Indonesia masih harus bersabar untuk mendapatkan sosok pemimpin yang benar-benar cerdas, beretika, dan bersifat negarawan. Mengapa demikian? Karena dalam keyakinan saya, siapapun yang terpilih sebagai Presiden dari ketiga calon Presiden yang sedang bertanding sekarang, Indonesia belum akan mampu keluar dari segala macam kesulitan bangsa yang sedang dihadapi, jika berkaca dari kualitas etika dan moral, kualitas pemikiran, kualitas penguasaan masalah-masalah yang sedang terjadi di negara ini, dan kualitas kepemimpinan, serta kualitas pengendalian emosi diri mereka yang masih jauh dari harapan rakyat Indonesia.
BAIK BACA INI
SISI LAIN DARI SENI KEPEMIMPINAN
Siapapun pemenangnya nanti, kemungkinan yang akan terjadi nantinya hanyalah kompromi-kompromi politik di antara mereka, dan pembagian ‘kue-kue’ kekuasaan, hanya demi ‘menjaga nama baik’ demokrasi yang ada di Indonesia.
Apakah ini hanyalah dugaan atau prasangka saya saja? Bisa jadi begitu. Tetapi dugaan saya tersebut didasarkan kepada alasan bahwa dari setiap pemilihan pergantian Presiden dan para wakil rakyat di Indonesia selama pasca reformasi 25 tahun terakhir ini, yang terjadi ya begitu-begitu saja, dikarenakan kualitas mereka yang keluar menjadi pemenang sebagai Presiden dan para wakil rakyat di negara Indonesia, ya begitu-begitu saja juga.
Bahkan kualitas kepemimpinan Presiden negara ini sangat jauh menurun tajam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, salahsatunya disebabkan karena kepemimpinannya tidak lagi memiliki etika, moral, dan rasa malu.
BACALAH
PB AL WASHLIYAH mengajak “Membangun Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Profesional”
Tetapi di sisi lain, kita harus berterimakasih juga kepada KPU yang telah menampilkan acara debat calon Presiden dan calon Wakil Presiden tersebut. Lumayan, untuk menghibur rakyat yang semakin lapar dan bingung dengan harga kebutuhan bahan pokok yang semakin ‘liar’ kenaikan harganya, sehingga tidak tahu besok bisa makan atau tidak……
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 10 Januari 2024
Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI