WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. Faisal
Preambule
Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman lama yang bercerita kepada saya, kalau di tempatnya bekerja selama ini, dia selalu merasa ‘dijegal’ oleh beberapa pribadi yang berkelompok (baca; ‘ngegank’), supaya dia tidak bisa naik pangkat menjadi seorang supersvisor.
Teman saya ini merasa sudah bekerja dengan baik, prestasi penjualannya bagus, bahkan manajernya pun suka dengan hasil kerjanya. Dan saya tahu benar kalau teman saya ini orangnya tidak suka ‘neko-neko’, cerdas dan jujur. Karena kami pernah satu kampus dulu, meskipun berbeda satu tingkat, dan di beberapa mata kuliah kami sering bertemu satu kelas, sehingga saya tahu kualitas dirinya seperti apa.
Tetapi, terus terang saja, apa teman saya alami ini, sebenarnya sering saya alami juga….hehehe.
Maka, saya katakan pendapat saya dengan nada bercanda tetapi serius kepada dia, bahwa di negeri seperti ini, dimana budaya feodalisme plus koruptif dan kolutif sudah mendarahdaging, maka kejujuran, kecerdasan, dan tidak suka cari muka atrau tidak suka menjilat atasan, merupakan tiga sikap yang bakal menjadikan kita sengsara dunia…hehehehe.
Artinya, kalau mau naik pangkat atau naik jabatan dengan tenang dan lancar, maka ya harus culas, siapkan banyak ‘guyuran’, harus pura-pura bodoh, dan harus suka menjilat atau cari muka ke atasan, atau dengan kata lain, harus memiliki ‘kecerdasan emosi’….saya jamin, in sya Allah cepat berhasil…hehehe.
Akar Budayanya Sudah Feodal ‘Karatan’, Mau Bagaimana Lagi…?
Di banyak lingkungan kerja, baik sektor publik maupun sektor swasta, memang terasa seperti ada “aturan tidak tertulis” bahwa untuk naik jabatan, seseorang harus pandai bermain peran, menjilat, atau bahkan mengorbankan integritas.
Padahal, idealnya, sistem promosi itu seharusnya berdasarkan kinerja, etika, dan kontribusi nyata (sistem meritokrasi).
Tetapi ada satu hal yang bisa jadi pegangan untuk orang-orang seperti teman saya ini, yang jujur dan kompeten. Mungkin memang jalannya lebih lambat, tetapi ketika berhasil, fondasinya akan jauh lebih kuat. Orang idealis seperti teman saya ini tidak hanya akan dihargai karena hasil kerja, tetapi juga karena karakter. Dan itu yang membuat keberhasilannya akan lebih tahan lama dan bermakna.
Tetapi entah kapan berhasilnya…..wallahu’alam bisshowab.
Di negara-negara dengan budaya koruptif, kolutif, hipokratik, dan nepotik yang kuat, seperti di negara ini, sistem promosi dan pengambilan keputusan cenderung didasarkan pada hubungan pribadi, kedekatan politik, atau loyalitas kelompok, bukan pada kompetensi atau prestasi.
Dan pastinya, hal-hal menjijikkan semacam ini menciptakan lingkungan kerja yang tidak adil dan menghambat kemajuan individu-individu yang sebenarnya layak.
Dan pastinya juga, negara dengan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah berkarat seperti ini, tentu saja tidak bisa berbanding lurus dengan budaya meritokrasi yang sudah berkembang di negara maju, seperti Singapura misalnya.
Ya, Singapura adalah contoh negara yang berhasil menerapkan meritokrasi secara konsisten.
Rekrutmen dan promosi di sektor publik dan swasta di negara ini sangat ketat dan berbasis kinerja serta potensi.
Pendidikan dan pelatihan benar-benar diarahkan untuk mencetak individu yang kompeten dan siap bersaing secara sehat, sehingga menimbulkan budaya malu jika harus disokong oleh kerabat atau saudaranya yang mempunyai kuasa.
Begitupun dengan transparansi dan akuntabilitasnya, seklalu dijaga melalui sistem hukum yang kuat dan pengawasan ketat terhadap pejabat publik dan swasta.
Tampil paradoks dengan budaya meritokrasi, di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya seperti negara-negara benua Afrika, dimana fenomena “orang dalam” dan “geng kantor” sering menjadi penghalang bagi individu yang jujur dan berprestasi.
Meskipun reformasi birokrasi memang sedang diupayakan dari waktu ke waktu, tetapi masih belum mampu untuk menghadapi tantangan besar dari budaya lama feodalisme yang sudah mengakar dan berkarat.
Akhirnya, ketimpangan akses dan peluang yang adil bagi semua warga negara Indonesia, membuat meritokrasi sulit tumbuh secara merata di semua sektor di negeri tercinta ini.
Semakin Kita Dijegal, Itu Artinya Kita Dianggap Sebagai Pesaing Yang Kuat
Di ruang-ruang kerja, di lorong-lorong kekuasaan, sering kali kita menyaksikan bagaimana yang bersuara lantang, yang pandai bersandiwara, justru melesat naik. Mereka yang jujur, cerdas, dan tak pandai menjilat, seeprti teman saya ini, justru kerap dijegal.
Tetapi justru di situlah letak paradoksnya….semakin seseorang dijegal, semakin nyata bahwa ia membawa potensi yang ditakuti. Karena hanya pohon yang berbuah yang dilempari batu.
Ya, yang pasti, semakin kita dijegal, artinya mereka yang menjegal kita sebenarnya semakin takut dengan potrensi yang kita miliki.
Semakin kita dibungkam, artinya mereka semakin takut dengan kecerdasan kita.
Dan semakin kita dipersempit gerak langkah kita, artinya mereka semakin tahu bahwa kita memang orang yang layak untuk ‘naik’.
Dan pastinya mereka takut jika kedudukan nyaman mereka akan tergantikan oleh kita.
Percayalah, itu adalah kenyataan, bukan omong kosong belaka.
Itu adalah refleksi dari dinamika kekuasaan dan ketakutan dalam sistem yang belum sehat. Ketika seseorang yang kompeten, jujur, dan berintegritas mulai bersinar, mereka yang selama ini nyaman dalam zona abu-abu akan merasa terancam.
Dan reaksi mereka? Tidak ada lain, selain menjegal, membungkam, dan mempersempit ruang gerak kita. Bukan karena kita salah, tetapi karena kualitas kita yang ‘bicara’.
Semakin dijegal, semakin terlihat bahwa kita memang punya daya dobrak. Semakin dibungkam, semakin jelas bahwa suara kita memang mempunyai pengaruh yang kuat. Dan semakin dipersempit, semakin nyata bahwa langkah kita memang mempunyai arah yang jelas.
Ini yang menjadikan kita sangat ‘berbahaya’ untuk mereka.
Itu bukan omong kosong. Itu adalah tanda bahwa sesungguhnya kita sedang menyentuh titik-titik yang selama ini mereka jaga agar tidak terganggu. Dan justru di situlah kekuatan kita berada.
Emas Adalah Emas
Tetapi ingat, dalam keadaan seperti ini, kita tidak hanya butuh keteguhan hati. Kita juga perlu strategi. Karena keberanian tanpa arah bisa jadi hanya membuat kita lelah.
Tetapi keberanian dengan strategi? Itu yang akan membuat kita tidak tergoyahkan.
Maka, strategi terbaik bukanlah berlari kencang sambil menabrak, melainkan melangkah perlahan dengan tenang.
Seperti air yang menetes di atas batu, air tidak pernah memaksa batu untuk menjadi berlubang, tetapi mampu melubangi batu dengan sendirinya.
Ketekunan, integritas, dan kesabaran adalah senjata yang tidak terlihat, namun mematikan bagi sebuah sistem yang rapuh. Dan ketika mereka yang licik terpeleset oleh kelicikannya sendiri, yang tenang akan tetap berdiri.
Menurut saya, strateginya adalah terus maju, perlahan, tetapi tetap tenang.
Ya, strategi ‘maju perlahan tetapi tetap tenang’ adalah bentuk resistensi yang sangat elegan.
Kita bisa tetap tumbuh dan bergerak meski dihimpit, persis seperti tanaman yang tumbuh di celah beton….pelan, tetapi tetap pasti untuk tumbuh.
Bangun personal branding, agar orang lain di luar kantor kita tahu kualitas diri kita yang sebenarnya.
Perluas jaringan di luar ‘gank’ kantor, karena terkadang peluang bisa datang dari mana saja, dan dari arah yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Tetap belajar dan berkembang (growth mindset), agar kita makin sulit untuk mereka jegal, karena dengan demikian maka kapasitas dan kapabilitas kita akan semakin tidak terbantahkan.
Ingatlah, tenang bukan berarti lemah, tetapi justru ketenangan adalah senjata paling ampuh melawan provokasi.
Dan konsistensi adalah perisai terkuat kita.
Artinya, ketika kita terus menunjukkan kualitas tanpa tergoda untuk terjerumus ke dalam permainan kotor,maka sesungguhnya kita sedang membangun reputasi yang tidak bisa dibeli.
Dan saat mereka terpeleset? Bukan karena kita menjatuhkan mereka, tetapi karena mereka terlalu sibuk menjegal kita, sehingga mereka lupa menjaga pijakan mereka sendiri.
Tentu saja, hidup memang bukan sekedar masalah persaingan, tetapi yang namanya emas tidak perlu bersaing dengan perak. meskipun perak lebih sering berkilau jika terkena matahari, tetapi ketika di tempat gelap, maka emas akan lebih terlihat mutunya.
Dan ketika di tempat terang pun, kilau emas tidak akan menyilaukan, tetapi kilaunya tetap memberikan ketenangan dan kebanggaan, karena emas ya emas, perak ya perak, tidak perduli bagaimana berkilaunya perak ketika terkena sinar matahari.
Ini adalah pengingat bahwa integritas, ketenangan, dan konsistensi jauh lebih bernilai daripada pencitraan sesaat.
Orang yang tahu dirinya emas tidak akan sibuk membandingkan dirinya dengan perak. Kilau sejati tidak menyilaukan, tetapi menenangkan dan membanggakan.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling banyak bersuara, tetapi siapa yang paling memberi makna.
Dan emas, meski tidak selalu tampak mencolok, akan selalu dikenang karena nilainya yang abadi.
Maka tetaplah menjadi emas, meski dunia sedang tergila-gila pada kilau perak.
Emas tidak perlu bersaing dengan perak. Emas cukup menjadi dirinya sendiri. Karena pada akhirnya pula, waktu dan keadaan akan menjadi hakim yang paling jujur.
‘Musuh’ Kita Yang Sebenarnya
Pahamilah, bahwasanya…musuh utama bagi mereka yang sudah ‘mengenal’ diri mereka sendiri, bukanlah orang lain. Musuh utama bagi mereka adalah diri mereka sendiri.
Ilmu psikologi kejiwaan ini sesungguhnya sudah diajarkan oleh Rasulullah Sallallahuʿalaihi wasallam ketuika beliau kembali dari perang Badar (624 Masehi, bertepatan dengan 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah).
Rasulullah Sallallahuʿalaihi wasallam, setelah mendapatkan kemenangan besar di Perang Badar tidak membusungkan dada. Beliau justru mengingatkan kepada kita bahwa ada perang yang lebih berat, yaitu perang melawan diri sendiri.
Ini adalah pelajaran bahwa kemenangan sejati bukan soal mengalahkan musuh di luar, tetapi menaklukkan musuh dalam diri sendiri, tyaitu keserakahan, iri hati, dendam, dan keangkuhan.
Mudah sekali memang untuk melihat kesalahan orang, tetapi sangat sulit mengakui kesalahan sendiri.
Mengapa demikian? Karena hal tersebut sangat membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kerendahan hati. Sungguh hal yang sangat sangat sulit untuk dilakukan.
Mudah menjatuhkan orang lain, tetapi lupa bahwa diri sendiri sudah berada di ‘tepi jurang’.
Orang yang sibuk menjatuhkan orang lain, sesungguhnya sedang menutupi ketakutan akan kejatuhan dirinya sendiri. Mereka berdiri di tepi jurang, tetapi karena terlalu sibuk ‘menunjuk’ orang lain, akhirnya mereka lupa menjaga pijakan mereka sendiri, dan mereka jatuh senbdiri ke dalam jurang tersebut.
Maka, sesungguhnya musuh sejati bukanlah mereka yang selalu menjegal langkah kita, tetapi ego yang membuat kita ingin membalas dengan cara yang sama.
Nasihat Sederhana
Akhirnya, saya memberi sedikit nasihat yang menghibur saja kepada teman saya ini….
“Santai saja….tetap tenang, tetap jujur, tetap cerdas, tetap berprestasi dan tetap untuk tidak cari muka atau menjilat, karena kejujuran adalah pondasi hidup, dan menjilat adalah sesuatu yang jorok dan menjijikkan untuk dilakukan.”
Sekali lagi, tetap tenang bukan berarti pasrah, tetapi memilih untuk tidak larut dalam permainan kotor.
Tetap jujur dan cerdas adalah bentuk perlawanan paling elegan terhadap sistem yang bobrok.
Tetap berprestasi adalah cara membuktikan bahwa kualitas sejati tidaak bisa dibungkam begitu saja.
Tidak menjilat adalah bentuk penghormatan terhadap harga diri kita sendiri…karena memang menjilat adalah sesuatu yang menjijikkan, dan masa iya kita harus ‘makan dari sesuatu yang menjijikkan?’
Dan orang-orang yang memilih jalan itu semua, adalah mereka yang kelak akan dikenang bukan karena kilau sesaat, tetapi karena nilai integritas yang abadi.
Ingat teman, integritas itu bukan barang murah, tetapi juga bukan barang langka. Integritas hanya jarang dipilih karena jalannya tidak instan.
Tetapi justru karena itu, integritas menjadi lebih berharga.
Muka kita tidak akan hilang hanya karena kita tidak ‘cari muka’.
Dengan tidak menjilat, kita menjaga martabat kita tetap utuh.
Dan pastinya lidah kita juga tetap bersih dari fitnah dan muslihat.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 26 Oktober 2025
*Pensyarah Prodi PAI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
Views: 45












