WARTAIDAMAN.com
oleh: Reza Nasrullah
Demokrasi adalah kenyataan politik bagi bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945. Usia sistem politik demokrasi ini sudah 78 tahun lebih. Pernahkah Islam menang dalam kontestasi politik sepanjang usia di atas? Bagi yang paham apa itu ISLAM, maka jawabnya adalah BELUM PERNAH.
Diskursus Islam vs Demokrasi telah mendominasi dunia Islam (maksudnya negara-negara dunia dengan mayoritas warganya ber-ktp muslim) sejak masa akhir penajajahan oleh bangsa-bangsa Eropa yakni abad 19 sampai dengan sekarang, abad 21.
Hasil dari diskursus yang sangat lama-hampir 300 tahun-ummat Islam di manapun belum berhasil menegakkan sistem Islam dalam alam lingkungan politik bernama DEMOKRASI.
Terkini, Islam “tegak” (maknanya masih diperdebatkan sebagian pakar, makanya dipakai tanda kutip) bukan dalam sistem demokrasi, melainkan yang lain, seperti Brunei Darussalam dengan dekrit sang Sultan. Kemudian Afghanistan dengan jihad militernya selama 20 tahun, akhirnya mendirikan “Ke-Amiran Islam Afghanistan”. Arab Saudi-menurut seorang ulama yang pernah saya ketahui-hanya menerapkan syariat Islam 1%nya dari totalitas 100%.
Indonesia? sedikit saja ada ulama yang menyerukan pemberlakuan syariat Islam atau NKRI Bersyariah, langsung ribut seluruh negeri. Apakah sistem demokrasi Pancasila kita itu adalah sistem Islam itu sendiri? Masih panas diskursusnya dan kita, ummat Islam yang awam masih bingung menyikapinya. Daripada bingung berkepanjangan, lebih baik tidak dipedulikan saja. Anggap saja angin lalu dan fokus saja pada urusan hidup sendiri-sendiri.
Saya mencoba mencari sebuah “terobosan” (breakthrough) demi mengobati situasi di atas. Semoga saja TEORI POLITIK ILAHIYAH berikut ini adalah terobosan yang jitu.
TEORI POLITIK ILAHIYAH
Setiap komunitas atau masyarakat di manapun dan kapanpun memiliki gejala yang serupa/mirip/hampir sama dalam hal selalu adanya dua unsur dalam struktur kehidupan sosial politiknya. Dua unsur tersebut adalah unsur elit yang terdiri atas segelintir individu yang dianggap memiliki “kualitas” kepemimpinan oleh unsur lainnya. “Kualitas” ini terjadi bisa karena individu tsb aktif dalam urusan-urusan orang banyak, aktif dalam partai politik, bisa juga karena ia turunan ningrat/bangsawan/pemimpin/elit sebelumnya, atau hasil pendekatan/menjilat kepada atasannya, atau kualitas intelektualnya, atau berbagai sebab lainnya. Sedangkan unsur pasangannya adalah kaum massa, yang menjadi obyek dari perilaku para elitnya. Massa di sini adalah siapa saja yang bukan termasuk para elit, dan jumlahnya selalu lebih banyak(mayoritas) dibanding elit. Mereka tidak memiliki sifat-sifat elit di atas sehingga tergabung menjadi massa.
Al-Qur’an menyebut istilah elit dengan kata-kata:al-mala’u(pemuka suatu kaum), atau kubaro(para pembesar), atau orang-orang yang diikuti, atau orang-orang sombong(mustakbirin). Sedangkan massa disebut dengan kata: para pengikut atau lawan dari mustakbirin yaitu mustadh’afiin(kaum yang lemah).
Dalam proses kehidupan sosialnya, setiap komunitas/masyarakat selalu memiliki mekanisme tersendiri untuk memproduksi para elit dari basis massa. Artinya di dalam massa selalu muncul bibit-bibit elit yang kemudian betul-betul menjadi elit untuk meneruskan kepemimpinan elit atas masyarakat tersebut. Sebab para elit sebelumnya pasti menjadi tua dan mati atau tewas dalam peperangan, atau berbagai sebab lainnya.
Allah swt menegaskan bagaimana kehendakNya pasti terjadi atas manusia dalam kehidupan sosial-politik suatu masyarakat/komunitas, apakah dalam lingkup suatu bangsa/nasional, atau suatu propinsi, atau kabupaten/kota, atau bahkan dalam lingkup internasional.
KehendakNya itu Dia nyatakan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 26 sebagai berikut: Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau maha kuasa atas segala sesuatu”.
Berdasarkan ayat tersebut maka setiap manusia tergolong menjadi empat golongan dengan mengacu kepada dua dimensi, yakni dimensi hablumminallah (hubungan dengan Allah) yang merupakan dimensi vertikal, dan dimensi horizontal berupa hablumminannaas(hubungan dengan sesama manusia).
Golongan I:
Hablumminallahnya: dimuliakan oleh Allah swt. Hablumminannaasnya: diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tergolong ke dalam para elit dari masyarakat/komunitasnya. Golongan ini merupakan manusia ideal dan dambaan bagi massa yang akan mampu membawa seluruh anggota masyarakatnya (elit+massa) kepada kesejahteraan lahir-bathin, dunia-akhirat. Contoh nyatanya adalah para nabi dan rasul serta para pewaris hasil pembinaan para nabi dan rasul itu, serta tokoh-tokoh pemimpin masa sesudahnya yang benar-benar sepenuh hati mengadopsi pelajaran-pelajaran kepemimpinan para nabi dan rasul. Mereka mendapat status kemuliaan di sisi Allah swt selagi hidup di dunia ini karena dua hal: Cara mencapai kekuasaannya adalah sesuai dengan ajaran Allah swt dan menjalankan amanah kepemimpinannya dengan ikhlash dan sebaik-baiknya, betul-betul demi rakyatnya. Baginya amanah itu harus dijalankan secara adil, transparan, dan bertanggungjawab baik kepada Allah swt maupun kepada rakyat itu sendiri. Bagi dia, rakyat harus dididik sedemikian rupa agar pandai mengontrol dirinya yang dengan kontrol itu dia berharap selamat di hadapan Allah swt ketika mempertanggungjawabkan amanahnya. Dia tidak mungkin mau membiarkan rakyatnya bodoh sehingga mudah ditipu olehnya.
Contoh konkrit golongan I ini adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau mewarisi jabatan khalifah sebelumnya yg bobrok, dilanda kelemahan mental berupa KKN, kehidupan rakyat yg miskin, kekeringan merata di seluruh negeri, minimnya kas negara. Namun tanpa berapologi dan mengeluhkan kebobrokan khalifah sebelumnya, beliau langsung menyumbangkan kekayaannya untuk menambah kas negara, memilih hidup sederhana, mengajak rakyatnya bertaqorrub dan bertaubat kepada Allah swt, bekerja keras demi rakyat, berkorban waktu, tenaga, pikiran, harta untuk rakyatnya. Hasilnya, krisis multidimensi yang begitu parah sebelumnya-alhamdulillah-selesai dalam kurang dari dua tahun, semua rakyatnya menjadi muzakki sampai kebingungan kemana mencari mustahik zakat. Beliau dicintai rakyat dan mencintai rakyat, maka kerja keras beliau diimbangi partisipasi seluruh rakyat yang kompak, betul-betul bergotong-royong dalam makna yang sesungguhnya.
Golongan II:
Hablumminallahnya : dihinakan oleh Allah swt dalam kehidupan di dunia, terlebih lagi nanti di akhirat, meskipun di hadapan manusia dirinya bisa jadi sangat disanjung dan dipuja saking terhormat dan mulianya. Sedangkan hablumminannaasnya dia diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tergolong elit. Bila seseorang menggapai jabatan dengan cara-cara yang curang, penuh tipu-daya, sikut kiri-kanan, main fitnah lawan/pesaing politiknya, menyuap para pemilih dengan “uang politik”, dan berbagai cara kotor lainnya, dapat dipastikan dia tidak akan menjalankan amanah jabatannya dengan sebaik-baiknya demi rakyatnya. Maka dengan dua alasan yang berlawanan dengan ciri golongan I inilah dia berhak mendapat kehinaan dari Allah swt. Jika dia tidak taubat sebelum mati, pengadilan akhirat sudah pasti memvonisnya dengan kehinaan yang lebih dahsyat lagi yang tidak terbayangkan sebelumnya oleh siapapun. Bagi orang seperti ini, kebodohan rakyat, khususnya dalam hal kesadaran politik adalah sesuatu yg harus dilestarikan agar bisa dia tipu terus menerus, lalu dia bertindak menurutkan hawa nafsunya saja menikmati penghormatan orang, fasilitas negara, uang rakyat selalu dikorupsi, kalau perlu sampai tujuh turunan baru habis. Dia selalu tampil di depan massa dengan kepura-puraan seolah dialah pemimpin yg paling mencintai rakyat, dan rakyatnya hanya manggut-manggut dan terpesona karena kebodohannya. Apalagi ketika rakyat diberi uang, sumbangan, fasilitas ala kadarnya, maka merekapun memuji sang pejabat ini, padahal hak rakyat yang dimakan oleh pejabat ini jauh lebih banyak daripada yang sewajarnya dia terima.
Golongan III:
Hablumminallahnya : dimuliakan oleh Allah swt. Sedangkan hablumminannaasnya : tidak diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tidak masuk kelas para elit. Dia hanyalah orang kebanyakan atau massa saja. namun dia mulia di sisi Allah swt karena menjalani hidupnya dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt. Dia jujur, selalu berbuat baik kepada siapa saja, suka menolong orang lain, tidak pernah berpikir mencelakai orang lain. Dia menjalani hidupnya dengan meneladani Rasulullah, Muhammad saw. Maka dia sangat mulia di sisi Allah swt dalam kehidupan di dunia ini terlebih lagi di akhirat nanti. Boleh jadi dia dipandang hina oleh manusia, meskipun dia jujur dan akhlaknya baik, sebab dia tidak bisa diajak korupsi oleh lingkungan di mana korupsi sudah menjadi budaya. Namun dia tetap tegar karena sandaran hidupnya adalah Allah swt yang Maha Mulia dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu, sehingga segala gangguan manusia sangat kecil baginya. Dialah rakyat yang ideal, yang memiliki kesadaran politik tinggi karena berilmu, dengan bekal itu dia bisa memisahkan mana elit yang layak didukung dan mana yang wajib diabaikan dan dijauhi, kalau perlu diturunkan dari posisinya. Dia pasti hanya mendukung elit golongan I dan menolak dengan tegas elit golongan II. Meskipun elit golongan II tampil dengan “kemasan” yang memukau, dia tidak akan bisa ditipu.
Golongan IV:
Hablumminallahnya: dihinakan oleh Allah swt. sedangkan hablumminannaasnya : tidak diberi kerajaan atau kekuasaan atau jabatan atau tidak masuk ke dalam kalangan elit. Dia adalah rakyat biasa, namun kehidupannya diselimuti kehinaan di dunia dan kalau tidak taubat sebelum matinya akan lebih hina lagi nanti di akhirat. Merekalah orang-orang yang tidak mau beragama (baca: berislam) dengan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. Mereka menyukai maksiat, menyukai para elit golongan II yg “membimbing” mereka kepada kehidupan yg fatamorgana, yang melenakan dan membuai sehingga mudah diombang-ambingkan ke sana ke mari. Hidup mereka dipenuhi kemiskinan, kebodohan, namun kesenangan syahwat berupa hiburan siang dan malam. Mereka tidak mau tahu bagaimana memilih elit pemimpin yang benar, karena yang penting buat mereka bisa makan, bisa minum, bisa melampiaskan nafsu seksnya, bisa gembira, bisa berpakaian, bisa berteduh di rumah, meskipun seadanya, meskipun para elit mengkorupsi hak-hak mereka. Mereka tidak akan peduli, selama semua kebutuhan hidup terpenuhi dengan harga terjangkau. Mereka baru marah kalau semua harga sudah mencekik leher. Namun solusi politiknya akan kembali berputar di sekitar perebutan kebutuhan perut, seks dan harta serta jabatan, tidak pernah menjangkau tinggi kepada kebutuhan terhadap ridho Allah SWT.
SISTEM LINGKUNGAN POLITIK DEMOKRASI
Semua orang pasti sudah paham bahwa dalam demokrasi, hanya yang dapat jumlah suara pemilih terbanyak yang bisa menjadi pemimpin/pejabat publik/kelas elit.
Dengan prinsip kedaulatan di tangan rakyat (pemilih) maka kekuasaan harus diperoleh dengan suara rakyat, calonnya dari rakyat, dan kalau sudah menjabat harus melaksanakan amanah jabatan demi rakyat. Inilah yang disebut : dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat. Ini teori demokrasi artinya kedaulatan rakyat.
Meskipun tampak bagus dan ideal, nyatanya semua para calon elit berebut jabatan dengan menghalalkan segala cara dan hampir semuanya mengabaikan moral/nilai-nilai mulia.
Hasilnya yang berkuasa selama 78 tahun lebih Indonesia merdeka adalah Golongan II yang selalu dipilih oleh Golongan IV.
Sesuai prinsip suara terbanyak, ternyata jumlah massa golongan IV tidak atau belum pernah menjadi minoritas sepanjang usia negara kita. Maka hasil logisnya (sesuai logika demokrasi) semua kalangan elitnya berasal dari mereka dan merekalah yang memimpin gabungan mayoritas massa golongan IV plus minoritas massa golongan III.
Dari teori politik ilahiyah di atas kita paham bahwa Islam pasti tegak hanya oleh kombinasi elit golongan I dan massa golongan III.
Maka SATU-SATUNYA CARA memenangkan Islam dalam lingkungan demokrasi adalah: JIHAD DA’WAH MEMPERBESAR JUMLAH MASSA GOLONGAN III, yang bermakna mengubah sebagian besar massa golongan IV menjadi massa golongan III.
Manakala massa golongan III telah bergeser secara demografi dari minoritas menjadi mayoritas, maka elit golongan I akan memenangkan pertarungan pemilu.
Cara jihad da’wah memperbesar jumlah massa golongan III adalah dengan metode PARTAI DA’WAH. (lihat artikel tentang PARTAI DA’WAH).
Selama 78 tahun negeri kita merdeka, belum ada satu pun partai ber-ktp Islam yang fokus menjalankan metoda partai da’wah. Akibatnya massa golongan IV tetap mayoritas dan para elitnya adalah golongan II.
Mengapa tidak menjalankan metode partai da’wah? karena semua partai ber-ktp Islam tersebut selalu fokus pada bagaimana meraih suara pemilih sebanyak mungkin, seraya mengabaikan pendidikan politik secara sabar dan sistematis kepada massa golongan IV yang mayoritas.
Tentu saja selalu kalah, karena aspirasi partai Islam tidak sinkron dengan mayoritas pemilih yang didominasi golongan IV.
WALLAAHU A’LAM BISHOWAB.