WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. FAISAL
Rakyat Sebagai ‘Bantalan Rel’ Politik
Kalau sedang ada perlunya dengan rakyat, seperti dalam masa kampanye seperti ini, ramai-ramai para petinggi partai politik, para caleg, dan para capres yang sedang bertanding, selalu membuat pembenaran atas semua yang mereka kampanyekan dengan menyebut ‘atas nama rakyat’.
Atau ketika mereka sedang terpojok karena banyaknya kritikan yang mengarah kepada mereka, atau karena minimnya kemampuan menganalisa tentang keadaan yang sedang terjadi, maka mereka akan selalu berkilah…’biarkan rakyat yang menilai…’
Pertanyaannya adalah, untuk apa memberikan ‘pekerjaan ekstra’ kepada rakyat, dengan menyuruh rakyat untuk menilai semua kritikan tersebut, lah wong kritikan tersebut justru berasal dari rakyat, dan wabil khusus ditujukan kepada mereka, kok, para politisi dan para penguasa. Jadi, kenapa pula rakyat yang harus repot-repot menilai semua kritikan yang seharusnya mereka jawab tersebut? sungguh sangat memperlihatkan betapa tidak berkualitasnya pola pikir para politisi seperti itu…
Dengan mengatasnamakan rakyat terhadap segala sesuatunya, maka hal tersebut seakan-akan menjadikan mereka golongan elit politis yang paling paham dengan apa yang rakyat butuhkan dalam menjalani kehidupan di negara yang masih uncivilised dan amburadul dan ini.
Padahal ketika para politisi itu telah berkuasa, dan telah terpenuhi semua syahwat politik dan syahwat kekuasaannya, maka rakyat yang tadinya mereka sering sebut-sebut sebagai ‘raja’ ketika mereka masih berkampanye tersebut, dalam kenyataannya selama ini, mereka tinggalkan, dan lebih memilih melayani kepentingan para pengusaha yang menjadi sponsor kampanye mereka, dengan pendanaan yang sangat besar, karena dengan melayani dan memenuhi kebutuhan para pengusaha (baca: oligarkhi) tersebut, akan sangat menguntungkan secara materil bagi keluarga, dan kelompok para politisi itu sendiri.
Apakah ini hanyalah tudingan semata? Tidak, sebab inilah yang terjadi selama ini, di negeri yang menggunakan sistem demokrasi liberalis dan kapitalis ini. Ya, sebuah negeri yang juga telah kehilangan eksistensinya. Mengapa saya katakan telah kehilangan eksistensinya? Ya, karena sudah tidak ada lagi yang bisa diperlihatkan kepada dunia, apa yang menjadi kebanggaan negeri ini secara positif.
Sebagai contoh, indeks demokrasi negara yang selalu menurun selama satu dekade ini, dimana berdasarkan data dari Democracy Index 2022, Indonesia mencatatkan skor indeks demokrasi sebesar 6,71 poin, peringkat ke-54 dari 167 negara, atau terhitung sebagai negara dengan keadaan demokrasi yang cacat.
Kemudian, indeks kualitas pendidikan yang selalu berada jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Dan menurut data World20.org/2023, tingkat kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari 203 negara. Sedangkan Singapura berada di urutan 21 dunia, Malaysia di urutan 31, dan Thailand di urutan 47 dunia.
Belum lagi indeks kualitas sumber daya manusia yang hanya sejajar dengan kualitas sumber daya manusia yang berasal dari negara-negara miskin di benua Afrika barat sana. Dan menurut data dari International Institute for Management Development (IMD) World Talent Ranking (WTR) 2023, tingkat keberadaan kualitas sumber daya manusia Indonesia, hanya bertengger di posisi 47, dari hampir 70 negara yang didata.
Menepuk Air Kotor ke Muka Sendiri
Yang lebih lucu lagi adalah, ketika para politisi tersebut mencoba untuk ‘cuci tangan’ dari apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Lihat saja misalnya, ketika ada calon presiden yang mengkritisi dengan mengatakan bahwa selama pemerintahan rezim ini berlangsung dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, pendidikan di Indonesia telah mengalami komersialisasi dan liberalisasi pendidikan.
Loh…selama 10 tahun terakhir ini kan partai penguasa di balik rezim pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini adalah partai si capres itu sendiri. Bukankah dia dan partainya juga yang harus bertanggungjawab atas komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tersebut?
Bukankah dia dan partainya juga yang harus bertanggungjawab atas keluarnya UU No.88 tahun 2014 (tentang perubahan status perguruan tinggi negeri yang semula berbentuk layanan umum menjadi bentuk berbadan hukum) yang menyebabkan terjadinya komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di Indonesia tersebut?
Bukankah dia dan partainya juga yang harus bertanggungjawab atas terjeratnya ribuan mahasiswa kepada pinjaman online (pinjol) dari fintech-fintech yang membiayai biaya kuliah para mahasiswa tersebut? Dan bukankah dia dan partainya juga yang sebenarnya harus bertanggungjawab atas semua kekacauan yang terjadi dalam semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara selama 10 tahun terakhir ini?
Dan lihat juga bagaimana ‘lugunya’ seorang calon presiden yang menanyakan ‘lebih penting mana antara internet gratis dan makan gratis?’
Jika demikian, maka jelas-jelas sang capres tersebut tidak memahami dunia teknologi yang sedang berkembang saat ini, dan juga sepertinya rabun terhadap konstitusi undang-undang dasar negara.
Jika dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, internet telah menjadi sebuah kebutuhan ‘mewah’ (tertier), maka saat ini sesungguhnya poisisi internet telah berubah menjadi sebuah kebutuhan yang sifatnya pokok atau primer, sama seperti kebutuhan manusia akan makanan, pakaian, dan perumahan.
Itu artinya, ketika internet telah menjadi sebuah kebutuhan yang pokok, maka negara wajib hadir untuk menyediakannya secara massif, berbiaya murah, dan bahkan kalau perlu gratis.
Jadi dalam hal ini, negara sesungguhnya pemerintah tidak boleh untuk menjual frekuensi-frekuensi internet yang dikuasai oleh negara, kepada pihak pengusaha dalam memberikan atau menyediakan kebutuhan internet kepada rakyatnya. Karena jika frekuensi internet sudah diberikan kepada para pengusaha-pengusaha provider internet, maka rakyat harus membeli frekuensi dari mereka, dan pastinya dengan harga yang sangat mahal.
Ya, saat ini adalah eranya ‘perang’ teknologi dan frekuensi. Siapa yang menguasai teknologi dan frekuansi, maka dialah yang akan menguasai peradaban dunia saat ini.
Sedangkan untuk program ‘makan gratis’, sesungguhnya ini adalah program bombastis yang sangat tidak masuk akal.
Artinya, jika saja calon presiden tersebut paham akan amanat konstitusi UUD 1945 (bukan amandeman UUD 2002), maka sesungguhnya dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 (sekali lagi, bukan amandeman UUD 2002), ada cara yang lebih ‘elegan’ dan lebih beradab sebagai manusia, dan sebagai sebuah bangsa, untuk membuat rakyat bangsa ini menjadi ‘kenyang’, sehat, dan sejahtera secara berkelanjutan (sustainable). Bukan dengan memberi makan gratis atau susu gratis, seperti memberi makan kucing peliharaan kita.
Pertanyaan mendasar berikutnya adalah, mengapa semudah itu mereka berpindah haluan dan tidak malu membuka borok yang sejatinya merupakan bagian tanggung jawab mereka sendiri di masa lalu?
Dan mengapa semudah itu pula mereka mereka merubah ideologinya hanya karena ingin mendapatkan kekuasaan, dengan merapatkan dirinya kepada oposannya, yang jelas-jelas bertentangan dengan pemikirannya?
Apakah semua itu mereka lakukan hanya karena ingin mencari perhatian (caper) rakyat demi menaikkan elektabilitas mereka dengan cara panjat sosial (pansos) dan demi mendapatkan simpati rakyat sesaat? Sebab dapat dipastikan bahwasannya apa yang sedang mereka pertontonkan kepada publik tersebut pastinya juga tak lepas dari pertimbangan kesepakatan politik pragmatis dan transaksional. Entahlah, pastinya hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Atau jangan-jangan, kalau bisa Tuhan juga jangan sampai tahu?
Namun yang pasti, bangsa ini adalah bangsa yang mempunyai ciri khas untuk ‘mengambil cara yang mudahnya’ saja dalam segala sesuatunya (pragmatism). Masalah cara-cara tersebut beretika atau tidak, beradab atau tidak, atau memalukan atau tidak, itu semua urusan belakangan, yang terpenting tujuan mereka tercapai, cita-cita mereka menjadi kenyataan, dan hasrat serta syahwat mereka terhadap kekuasaan dapat terlampiaskan.
Akar Masalah dan Solusinya
Namun, apakah semua yang dilakukan oleh para politisi ‘bajing loncat’ itu dapat dipersalahkan secara politis? Menurut saya, tidak juga. Ya, namanya juga politik ‘bajing loncat’, sifatnya pasti sangatlah pragmatis, tidak ada musuh sejati, dan tidak ada pula kawan sejati. yang ada hanyalah kepentingan yang sejati.
Dan di sisi lain, apakah kritisi keroyokan ‘latah’ yang dilemparkan dari para akademisi kampus-kampus besar di Indonesia saat ini, yang dilakukan di saat ‘injury time’ kekuasaan rezim saat ini, dapat dipahami sebagai sebuah kritisi yang membangun? Dan apakah para akademisi tersebut benar-benar memahami akar permasalahannya?
Menurut hemat saya, selama kita masih belum memahami apa yang menjadi akar permasalahan demokrasi bangsa ini sesungguhnya, maka rasanya kritisi-kritisi dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari para akademisi kampus saat ini, hanyalah sebuah ‘gelitik’ yang membuat sedikit tertawa saja.
Jika memahami masalah yang terjadi saat ini hanya di tingkat meso dan di tingkat hilir saja, tanpa memahami apa yang terjadi di tingkat hulunya, sesungguhnya hanya akan menghasilkan sebuah kritikan yang bersifat ‘tanggung’, sehingga akan dengan mudah disalahtafsirkan dan dipolitisir oleh pihak-pihak yang ingin mempertahankan hegemoni kekuasaannya.
Mengapa demikian? Ya, karena tanpa memahami akar permasalahan bangsa yang sebenarnya, maka siapapun yang akan menjadi pemimpin atau presiden negara ini kelak, maka permasalahan penghianatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang baik, dapat dipastikan akan terulang kembali.
Lantas, apakah yang menjadi akar permasalahan demokrasi bangsa yang besar ini?
Tidak lain dan tidak bukan adalah berlakunya UUD 2002 sebagai hasil amandemen ke-empat dari UUD 1945, khususnya pasal 6 dan 6 (a), yang pada dasarnya adalah, bahwasanya rakyat telah ‘memberikan’ kedaulatan sepenuhnya hak politik mereka kepada partai politik, sehingga menjadikan partai-partai politik besar yang ada sebagai ‘pemegang saham’ terbesar hak rakyat dalam konteks demokrasi.
Sehingga, sesuai dengan ayat-ayat yang ada di dalam pasal-pasal UUD 2002 tersebut, presiden yang diusung oleh para partai politik tersebut, akhirnya ‘memegang kekuasaan penuh’ karena dipilih langsung oleh rakyat, melalui sokongan para partai politik tersebut.
Dengan demikian, maka akan selalu terjadi ‘drama penyanderaan’ kepentingan di dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap kepentingan-kepentingan koalisi partai-partai politik mayoritas yang berhasil menggolkan ‘tokoh’ mereka sebagai presiden.
Maka dalam perjalanan memegang kekuasaannya, tidaklah heran jika presiden dan para partai pendukungnya dapat melakukan kebijakan-kebijakan yang mereka inginkan, tanpa harus repot-repot menunggu persetujuan dari anggota DPR lainnya, karena mereka mempunyai suara mayoritas di DPR.
Maka, apa yang sebenarnya harus disuarakan oleh para akademisi tersebut adalah bersuara untuk mengembalikan berlakunya UUD 1945, atau mengamandemen kembali UUD 2002, khususnya pasal 6 dan 6 (a), agar dikembalikan kepada nilai-nilai demokratis yang sesuai dengan demokrasi yang bernafaskan Pancasila, terutama sila ke-4.
Dengan mengembalikan nilai-nilai demokratis yang bernafaskan Pancasila, dan meninggalkan sistem demokrasi liberal kapitalis seperti yang digunakan oleh bangsa kita saat ini, maka diharapkan marwah demokrasi bangsa Indonesia akan kembali kepada demokrasi yang santun, dan mewadahi kepentingan semua pihak, dan menutup celah seorang presiden untuk dapat berkuasa secara ‘ugal-ugalan’ dan semaunya sendiri, seperti yang telah dilakukan dengan ‘sempurna’ oleh pemegang rezim kekuasaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.
Ya, kita lihat bagaimana nanti saja…
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 10 Februari 2024 (4 hari menjelang Pemilu 2024)
Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI