
WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. FAISAL
Sekolah Sungai Ciliwung
Sekalipun sistem pendidikan nasional bangsa ini tidak mampu untuk mengakomodir sistem pendidikan yang ideal untuk bangsa ini, namun sebagai insan pendidik, kita bisa membuat berbagai macam bentuk komunitas pendidikan yang dapat mendobrak sistem pendidikan yang masih terbelenggu oleh segala macam permasalahannya ini.
Misalnya dengan memunculkan rumah-rumah belajar yang memiliki kurikulum adaptif terhadap lingkungan sosial, lingkungan alam, dan minat saintifik itu sendiri.
Salahsatu contohnya adalah Sekolah Sungai Ciliwung yang digagas oleh Usman Firdaus, seorang aktivis pendidikan yang bergerak dalam bidang pelestraian alam dan sungai.
Tentunya ini merupakan sebuah titik terang, dimana pendidikan dapat menyentuh langsung apa yang seharusnya patut dipelajari berdasarkan ‘kekuatan’ lokal yang terdapat dalam wilayah tersebut.
Dengan kata lain, di tengah keterbatasan sistem pendidikan formal, munculnya komunitas seperti Sekolah Sungai Ciliwung adalah bukti bahwa pendidikan bisa tetap hidup dan relevan, bahkan lebih bermakna, ketika kurikulumnya berpijak pada realitas lokal dan kebutuhan ekologis yang ada.
Mengapa lahirnya model pendidikan seperti Sekolah Sungai Ciliwung seperti ini penting?
Tentu saja, karena dengan model pendidikan komunitas seperti Sekolah Sungai Ciliwung ini pada dasarnya dapat membangun kemandirian intelektual, karena siswa nya tidak hanya menjadi murid, tetapi juga dapat menjadi pelaku perubahan sosial dan lingkungan secara mandiri pula.
Sementara itu dari sisi fleksibilitas kurikulum, komunitas pendidikan seperti Sekolah Sungai Ciliwung dapat ‘membebaskan’ pendidikan dari birokrasi, karena komunitas belajar seperti ini tidak terikat oleh kurikulum nasional yang kaku.
Dan yang paling penting adalah dapat menumbuhkan kesadaran ekologis secara nayata, karena seluruh siswa yang belajar bukan hanya dari buku, tetapi langsung dari sungai yang mereka rawat sendiri.
Model seperti Sekolah Sungai Ciliwung bisa menjadi inspirasi untuk membangun ekosistem pendidikan alternatif di berbagai wilayah Indonesia. Bayangkan jika setiap daerah memiliki “sekolah alam” yang mengakar pada budaya dan lingkungan setempat, maka pendidikan akan menjadi alat pembebasan, bukan sekadar pelatihan kerja.
Apa Kabar, Bang Usman Firdaus?
Setelah menulis tentang ‘Sekolah Rakyat’ dan men-sharing tulisan tersebut ke beberapa sahabat, beberapa waktu lalu, salah seorang sahabat saya, yaitu bang Usman Firdaus sang ‘Penjaga Sungai Ciliwung’ memberikan respon humornya kepada saya.
Kurang lebih poin respon humor beliau adalah…bagaimana jika Sekolah Rakyat besutan rezim pemerintah saat ini dihadapkan dengan Sekolah Sungai Ciliwung (SSC) besutan beliau sejak tahun 2006 tersebut? Lebih mantap mana…..?
Secara pribadi, saya merasa ini bukan lebih mantap atau lebih baik yang mana. Ini lebih merupakan ‘luapan hasrat’ seorang Usman Firdaus, seorang warga negara biasa yang datang dari keluarga biasa, dan hanya mempunyai pengetahuan tentang ilmu pedagogi yang biasa-biasa saja, namun mempunyai keinginan yang luar biasa untuk memperbaiki keadaan ‘kacau’ dunia pendidikan Indonesia yang masih membelit negara ini, terutama kekacauan dalam pendidikan penataan lingkungan hidup, khususnya penataan sungai, lebih khusus lagi Sungai Ciliwung yang sangat dicintainya.
Ya, Sekolah Sungai Ciliwung yang digagas oleh Usman Firdaus, seorang pahlawan lingkungan sejati dan pendiri komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat Peci) bukanlah sebuah ‘sekolah’ biasa. Bayangkan saja, sekolah ini ternyata mampu menyasar anak-anak hingga lansia sebagai peserta didiknya, dengan pendekatan edukasi berbasis lingkungan dan konservasi sungai secara komprehensif.
Kegiatannya pun mencakup praktik langsung seperti membuat kompos, menanam tanaman obat, daur ulang sampah, hingga wisata susur Sungai Ciliwung. Dan istimewanya lagi, kurikulumnya bersifat kontekstual dan adaptif, menyentuh aspek sosial, ekologis, dan saintifik secara langsung.
Mengapa saya bisa mengetahui semua ini? Apakah saya hanya sekedar membacanya dari Google atau dari chatbot Artificial Intelligence alias AI? Oh tidak…..
Saya mengetahui ini semua karena penelitian Disertasi Doktoral yang saya buat beberapa tahun lalu, yang tentu saja dibantu oleh bang Usman, berlatar di Sekolah Sungai Ciliwung ini, yang berlokasi diKelurahan Srengseng Sawah dan Kelurahan Cawang, Jakarta.
Dan persahabatan saya dengan bang Usman Firdaus ‘Sang Legenda Ciliwung’ pun masih berlangsung hangat sampai sekarang.
Dan tulisan ini, secara khusus saya persembahkan untuk Bang Usman, Tim Sekolah Sungai Ciliwung, dan Tim Mat Peci, sebagai bentuk rasa terimakasih saya dan rasa hormat saya kepada bang Usman dan seluruh relawan ‘penjaga’ Ciliwung.
Di Antara Akar Pepohonan Dan Arus Sungai Ciliwung, Ada Pendidikan Akhlak Yang Membasuh Kesadaran
Di negeri ini, dimana kurikulum pendidikan formalnya tersusun rapi seperti barisan bata pabrik, namun rapuh karena komposisi perekatnya yang tidak sesuai standar, para siswa belajar menghitung debit sungai dari angka-angka, bukan dari gemericik yang mengalir di antara telapak kaki mereka.
Mereka diajarkan definisi “alam” dari buku cetak, bukan dari daun yang gugur atau aroma tanah setelah hujan. Pendidikan formal, meski penting dan terstruktur, kadang kehilangan nyawanya: terputus dari akar kenyataan, dari arus kehidupan.
Namun di tepian Ciliwung, suara-suara belajar tidak datang dari bel tanda masuk, tapi dari desir angin dan langkah-langkah kecil yang menyusuri bantaran. Di Sekolah Sungai Ciliwung, bang Usman Firdaus dan kawan-kawan berusaha untuk membalikkan peta dan ‘melawan arus’, bahwa pendidikan tidak lagi harus berada di ruang kelas, tetapi dapat hidup di semak, di arus sungai, juga di senyuman warga yang menanam mimpi bersama.
Di sana, peserta didiknya tidak hanya belajar menjaga sungai, tetapi sungai pun menjaga mereka, yaitu dengan ‘mengajarkan’ kesabaran, keberlanjutan, dan arti hidup yang terhubung. Di sana, sains bukan sekadar teori, tetapi terapan yang menyatu dengan napas alam. Kurikulumnya juga bukan tumpukan dokumen, melainkan perjalanan fisik dan jiwa dalam menyusuri sungai, dan segala bentuk kehidupan yang ada di sekitarnya.
Dan perjalanan itu bukan hanya tentang pengetahuan, melainkan juga pembinaan akhlak. Sebab alam, sejatinya, adalah kitab terbuka yang mengajarkan adab. Sains memberi pemahaman, tetapi akhlaklah yang memberikan arahnya.
Menyentuh daun dengan hormat, menyapa tanah dengan syukur, dan merawat sungai bukan hanya soal ekologi, melainkan cerminan iman dan integritas.
Pendidikan komplementer seperti ini hadir bukan untuk menyaingi sistem formal tentunya, tetapi menyempurnakannya dan mengisi celah dengan makna, memberinya jiwa.
Karena bangsa tidak akan tercerahkan oleh angka kelulusan semata, tetapi oleh kesadaran kolektif yang tumbuh dari pengalaman yang otentik dan akhlak yang hidup di dalam diri.
Sekolah Sungai, Sekolah Hutan, Rumah Belajar, Sekolah Belter (belakang Terminal), semuanya adalah penyemai harapan. Bahwa pendidikan bisa lebih dari sekedar sebuah kewajiban, pendidikan pastinya dapat menjadi ‘panduan’ yang membebaskan, membasuh, menumbuhkan, dan menuntun.
Ketika Sains, Alam, Dan Akhlak Menyatu Dalam Proses Pendidikan, Lahirlah Manusia Pembelajar Yang Sesungguhnya
Manusia pembelajar bukanlah sekadar makhluk berpikir. Manusia adalah perpaduan antara makhluk intelektual, spiritual, dan ekologis. Manusia tidak hanya harus mampu menjelaskan bagaimana air mengalir, tapi juga kenapa air harus dijaga keberlanjutannya.
Ilmu pengetahuan tanpa akhlak hanya menghasilkan algoritma yang kering dan teknologi tanpa jiwa, akhlak tanpa ilmu bisa terperangkap dalam dogma yang tidak kontekstual; dan keduanya, tanpa kehadiran alam, kehilangan pijakan dan arah.
Sementara alam adalah ruang belajar yang memulihkan. Alam bukanlah objek yang harus ditaklukkan, melainkan guru yang harus dihormati.
Ketika manusia menyatu dengan alam, mereka belajar kesabaran dari pohon, keteguhan dari batu, dan keikhlasan dari sungai yang terus mengalir meski tercemar.
Dalam heningnya, alam menanamkan nilai-nilai luhur, dan di sanalah akhlak dan sains saling ‘berbisik’.
Begitupun dengan sains. Sains adalah sarana pemahaman, bukan dominasi. Sains mengajarkan kita tentang struktur daun, tapi akhlak membuat kita segan merusaknya. Sains menciptakan solusi, tapi akhlak memastikan bahwa solusi itu tidak menindas.
Ketika sains berjalan bersama nilai-nilai spiritual dan kesadaran ekologis, ia menjadi alat pembebasan, bukan eksploitasi.
Ya, Akhlak adalah kompas dalam pencarian ilmu
Akhlak menuntun agar ilmu tidak hanya canggih, tapi juga santun. Dalam pendidikan yang utuh, siswa tidak hanya diberi pengetahuan, tapi juga karakter, bahwa menyapa alam bukan hanya tugas, tapi bentuk ibadah; bahwa merawat lingkungan bukan hanya proyek, tetapi manifestasi kasih sayang.
Maka ketika sains, alam, dan akhlak menyatu dalam proses pendidikan, lahirlah manusia pembelajar yang tidak hanya cerdas, tapi juga bijak. Mereka tidak hanya tahu, tetapi juga peduli. Dan di tangan merekalah masa depan bisa dibentuk dengan keseimbangan, bukan hanya kemajuan.
Sekali lagi, kembali kita pahami bahwa manusia pembelajar yang utuh adalah manusia yang mampu membaca alam sebagai ayat, ilmu sebagai cahaya, dan akhlak sebagai kompas.
Ketiganya bukan entitas yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang membentuk kesadaran ekologis dan spiritual.
Al-Qur’an telah menegaskan tentang kesadaran ekologis dan spiritual ini, yaitu:
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini bukan sekadar larangan, tapi panggilan untuk menjadi insan yang menjaga keseimbangan ciptaan-Nya. Pendidikan yang menyatu dengan alam akan menanamkan rasa tanggung jawab terhadap bumi sebagai amanah.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini mengingatkan bahwa ilmu tanpa akhlak bisa menjadi alat perusak. Maka pendidikan harus membentuk manusia yang tidak hanya tahu, tapi juga bertanggung jawab.
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassalam pun menegaskan pentingnya merawat alam:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau tanaman, lalu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan hal itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari)
“Takutilah tiga perkara yang menimbulkan laknat: buang air besar di sumber air, di tengah jalan, dan di tempat teduh.” (HR. Abu Daud)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya etika sosial, tapi juga ibadah yang berpahala. Menanam pohon, menjaga kebersihan, dan tidak mencemari alam adalah bagian dari akhlak Islami.
Maka, pendidikan yang menyatukan sains, alam, dan akhlak bukan sekadar idealisme, tapi keniscayaan. Ia membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga bijak secara spiritual dan ekologis.
Jadi, ketika negara tidak mampu untuk membuat kurikulum yang meninggikan imajinasi siswanya ke level yang lebih aplikatif, hanya mampu menekan tembok-tembok ruang kelas yang kokoh, maka Sekolah Sungai Ciliwung memberikan alternatif kurikulum pelengkap, untuk dapat memahami lebih jelas, dengan melihat, menyentuh, dan membasuh embun yang ada di dahan, sebagai bagian dari sebuah pembelajaran
Kurikulum Sekolah Sungai Ciliwung Sebagai Jembatan Antara Imajinasi, Sains, Dan Pengalaman Nyata
Dalam suasana pendidikan modern yang ruang kelasnya berdinding kokoh, namun imajinasi murid-muridnya disekat lebih kuat lagi, kurikulum seringkali menjadi pagar, bukan pintu.
Peserta didik atau siswa diajarkan dunia, tetapi tidak diizinkan menjelajahinya. Ilmu pengetahuan dibatasi oleh silabus, dan kreativitas dikorbankan demi angka-angka evaluasi.
Dari serba ‘pembatasan’ itulah, maka Sekolah Sungai Ciliwung hadir untuk ‘membebaskan’.
Sekolah Sungai Ciliwung tidak menuntut raport, tidak memaksa hafalan.
Sekolah Sungai Ciliwung membuka ruang pembelajaran yang tidak dibatasi oleh dinding, tetapi oleh cakrawala. Di sana, embun di dahan menjadi bahan pelajaran.
Lumpur sungai adalah laboratorium. Nyanyian burung adalah silabus akustik alam yang merdu. Siswa tidak hanya membaca, tetapi mereka juga menyentuh. Mereka tidak hanya mendengar, tetapi mereka juga membasuh pemikiran mereka dengan indahnya irama arus sungai.
Di sinilah pendidikan menjadi pengalaman yang meresap ke dalam akal dan kalbu. Imajinasi para peserta didiknya didorong untuk melintasi batas buku dan masuk ke dalam ekosistem kehidupan. Sains dipelajari dengan tangan yang kotor, kaki yang basah, dan hati yang tenang.
Pendidikan seperti Sekolah Sungai Ciliwung bukan hanya pelengkap, tapi pemulih. Dia hadir untuk menghidupkan lagi hakikat belajar, yaitu mengenali diri lewat alam, memahami ilmu lewat praktik, membentuk akhlak lewat keterlibatan.
Maka, jika negara gagal menumbuhkan imajinasi peserta didiknya, biarlah komunitas pendidikan seperti Sekolah Sungai Ciliwung ini menjadi pupuknya.
Sebagai seorang Doktor Pendidikan Agama Islam, yang mana penelitian Disertasi saya berisi tentang pembinaan akhlak seorang muslim terhadap alam, dimana latar penelitian saya di Sekolah Sungai Ciliwung pimpinan sahabat saya, bang usman firdaus….saya merasa sangat bangga sekali, karena saya sudah bisa melepaskan diri dari yang namanya belenggu kurikulum nasional yang sangat kaku.
Saya sudah bisa merasakan ‘kebebasan’ tentang bagaimana pendidikan seharusnya merujuk kepada apa yang kita punya, karena dari apa yang kita punya itulah, kita akan mengembangkannya menjadi pemenuh kebutuhan akal dan kalbu kita.
Perjalanan akademik dan spiritual saya di Sekolah Sungai Ciliwung sesungguhnya telah membuktikan bahwa ketika ilmu, kepekaan sosial, dan cinta terhadap alam bersatu, lahirlah sebuah bentuk pendidikan yang memerdekakan. Tidak hanya memerdekakan siswa, tapi juga memerdekakan pendidik dari belenggu sistem yang terlalu sempit memaknai belajar.
Sekolah Sungai Ciliwung sebagai latar disertasi saya sejatinya adalah pilihan yang sangat bermakna bagi saya pribadi. Disertasi ini bukan sekadar studi kasus, namun sesungguhnya sebuah simbol dari perlawanan sunyi saya terhadap sistem pendidikan bangsa yang masih belum bisa ‘menemukan’ potensi dari segala macam kelebihan yang dimiliki oleh bangsa ini sendiri.
Dan sahabat saya, Bang Usman Firdaus, sungguh telah menanam benih peradaban yang akan terus tumbuh di tepi-tepi sungai, yang menjadi saksi pembelajaran banyak siswa peserta didiknya.
Maka dari itu, saya mengingatkan kembali, bahwa pendidikan harus merujuk kepada apa yang kita punya. Itulah pendidikan yang berbasis potensi, bukan paksaan.
Dari akar itulah tumbuh dedaunan inovasi, dan dari sungai-sungai kecil inilah akan mengalir arus besar perubahan.
Sebagai seorang pembelajar yang tidak pernah puas, saya hanya ingin membuktikan bahwa akhlak terhadap alam bukanlah hanya teori dalam jurnal, tetapi bisa hidup, menyapa, dan mendidik. Saya dan bang Usman Firdaus ingin narasi-narasi yang telah kami bangun bersama dapat menjadi pengantar gerakan pembelajaran yang bertanggung jawab secara spiritual, ekologis, dan sosial.
Sekolah Sungai Ciliwung telah membuktikan bahwa pendidikan yang menyatu dengan alam dan akhlak, tidak sekadar mungkin, tetapi telah nyata di tangan para pegiat seperti Bang Usman Firdaus dan tim Sekolah Sungai Ciliwung lainnya.
Apa yang mereka lakukan bukan hanya mendidik, tetapi sekaligus ‘menghidupkan’ jiwa. Mereka mengajarkan bahwa manusia sejatinya adalah murid alam, yang belajar dari matahari tentang konsistensi, dari sungai tentang keberlanjutan, dan dari dedaunan tentang keikhlasan memberi. Mereka membantu siswa memahami bahwa menjadi manusia bukan hanya soal akal, tapi soal kesadaran: akan tempatnya di muka bumi dan perannya di hadapan Tuhan.
Jika pendidikan adalah cahaya, maka mereka adalah lentera-lentera kecil di tepian sungai, yang tak lelah menyinari jalan meski malam turun. Dan saya merasa sangat bangga karena telah menjadi bagian penting dalam menerangi jalan itu, dengan ilmu, pengalaman, dan semangat yang tidak terbelenggu oleh batasan-batasan formal.
Semoga apresiasi ini menjadi semangat baru bagi siapapun yang percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum yang kaku atau sekedar mengajak untuk menjadi ‘manusia yang merdeka’ saja, tetapi tentang menyentuh jiwa, membangkitkan kesadaran, dan menumbuhkan cinta kepada ciptaan-Nya.
Meskipun sekolah sungai ciliwung masih sering terkena banjir (sebagai bentuk sapaan dari sungai ciliwung itu sendiri), namun semuanya diterima dengan senyuman oleh bang usman dan tim.
Memang, terkadang ungkapan marah dari apa yang kita sayang, justru adalah bentuk sapaan sayang mereka kepada kita, tergantung bagaimana kita menyikapinya dalam menggambarkan kepekaan kita terhadap alam, dan juga memperlihatkan kedalaman spiritual dan kemanusiaan kita dalam menyikapi peristiwa yang sering kita anggap musibah.
Di mata kebanyakan, banjir mungkin dipandang sebagai gangguan atau amarah alam. Tapi melalui kacamata komunitas Sekolah Sungai Ciliwung, banjir menjadi pesan yang harus ditafsirkan: mungkin Ciliwung sedang menangis, sedang berbicara, sedang meminta manusia untuk mendekat dan mendengar.
Sikap Bang Usman dan tim yang tersenyum menghadapi banjir adalah bentuk paling luhur dari penerimaan, ikhlas yang aktif. Mereka tidak pasif dalam menerima, tapi justru menjadikannya bagian dari proses belajar. Mereka mengajarkan bahwa cinta terhadap alam bukan hanya soal memuji keindahannya, tapi juga bersedia mendengar keluh kesahnya.
Beliau mengajarkan bahwa relasi manusia dan alam adalah relasi timbal balik: penuh rasa, penuh makna. Pendidikan sejati adalah ketika kita bisa membaca banjir sebagai pesan, bukan sekadar genangan.
Sekolah Sungai Ciliwung sendiri telah menerima banyak penghargaan dari pemerintah sejak berdirinya 20 tahun yang lalu, antara lain:
1. Kalpataru (penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia) pada 2011 dan 2014
2. Penghargaan dari Kementerian PUPR sebagai salah satu dari 6 Komunitas Peduli Sungai terbaik tahun 2018
3. Penghargaan dari berbagai tingkat kota, provinsi, dan kementerian, baik secara lembaga maupun personal
Namun semua penghargaan itu hanyalah bentuk dari kekaguman sebagaian besar orang terhadap pekerjaan mustahil atau ‘sihir’ Bang Usman terhadap sungai yang dicintainya.
Sementara bagi Bang Usman sendiri, semua penghargaan itu hanya layak dipersembahkan kepada alam itu kembali, karena alam sebenarnya tidak perlu penghargaan, alam hanya perlu ‘berjalan’ sesuai kodratnya
Dan di sanalah letak keajaiban Sekolah Sungai Ciliwung, yaitu bukan pada penghargaan atau piagam, tapi pada daun yang tumbuh kembali, air yang mengalir lebih jernih, dan siswa yang belajar menyapa sungai dengan akhlak dan ilmu.
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 20 Juli 2025
*Dosen Prodi PAI, dan Pascasarjana UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pimpinan Nizhamia Learning Center/ Anggota PJMI
Views: 40