WARTAIDAMAN.com
Oleh: Noorhalis Majid
Ambin Demokrasi |
Seorang caleg bercerita, sudah menjual tanah, rumah, mobil, untuk modal politik. Melalui perhitungan tim sukses, dia dapat meraih satu kursi, asalkan tersedia sejumlah uang untuk bayar saksi, yang mana tiap saksi akan membawa sepuluh orang dari keluarga terdekatnya.
Hitungan matematika pemenangan yang sangat meyakinkan itulah, membuatnya berani bertaruh. Bahkan mempertaruhkan segalanya, sampai modal terakhir yang menjadi penopang hidup keluarga.
Seorang tim sukses juga bercerita, bahwa dia tidak berani memperkenalkan satu nama pun kepada konstituennya. Walau nama itu sangat popular, dikenal baik dan layak dipilih. karena bila menyebut nama, maka ada harga yang ditanyakan warga, “wani piro?”.
Akhirnya tim sukses itu pun menyarankan menggunakan uang untuk membeli suara. Sebab bisa dipastikan, bila tidak ada uang, tidak ada pula suara.
Seorang caleg senior yang ketakutan tidak terpilih lagi, membuat penyataan, “lebih baik curang tapi menang, dari pada jujur terhormat tapi kalah”. Jelas sekali orientasinya pada tujuan menang, bukan cara. Padahal demokrasi berorientasi pada cara. Cara yang baik, melahirkan hasil yang baik pula.
Seorang pengamat, nampak frustrasi dan mengatakan, “inilah pemilu paling brutal sepanjang sejarah. Serba uang, barbar, tidak ada etika apalagi tata krama, segala cara dilakukan, pokoknya harus menang, yang penting menang. Tidak peduli beradab atau tidak beradab”.
Benarkah kondisinya separah itu? Kalau benar, maka demokrasi sedang berada di ujung tanduk. Akan hancur lebur sebagai satu sistem yang dipercaya terbaik menentukan seleksi pemimpin.
Kalau semua menginginkan cara barbar, silahkan gunakan money politik sekuatnya, sampai “tasanda pahumaan”. Namun jangan menyesal, setelahnya semua tidak akan percaya lagi dengan demokrasi, sebagai sistem yang jujur dan adil dalam menentukan pemimpin. Karena semua kita sudah beramai-ramai menghancurkannya dengan money politik. (nm)