
WARTAIDAMAN.com
Resensi Buku oleh Agus Muhamad Bintang
Buku: No More Mr. Nice Guy!
Penulis: Dr. Robert Glover
Genre: Non-fiksi, Psikologi, Self-improvement.
Apakah anda pernah bertemu dengan pria yang menjadi budak cinta? Pria yang selalu mengutamakan pasangannya dibandingkan dirinya sendiri? Dan bahkan, Pria yang berani mengaku salah walaupun tak melakukan apa-apa?
Well, Jenis Pria yang dianggap sebagai dambaan wanita ini bukan Green Flag, apalagi Maskulin. Mereka ini justru mengidap penyakit mental, yaitu Sindrom Nice Guy.
Apa itu Sindrom Nice Guy?
Sebuah pola perilaku seseorang yang lebih mengutamakan kesenangan orang lain dan bersikap akomodatif dibandingkan kesejahteraan diri sendiri, seringkali juga yang mereka lakukan ini hanyalah sebuah Validasi agar diterima masyarakat. Sindrom seperti ini banyak ditemui oleh Pria-pria di Indonesia, apalagi saat mereka mulai mabuk cinta.
Nice Guy selalu mengutamakan kepentingan pasangannya, mereka selalu hadir ketika pasangannya membutuhkan, bahkan dalam hal tak berguna sekalipun. Seperti contohnya; VC sampai tengah malam tapi tak bahas apa-apa selain suara dengkuran masing-masing individu yang sedang tertidur.
Selain dengan pasangan, Nice Guy juga sering dikontrol oleh orang tua mereka sendiri, terutama Ibunya. Misalnya, saat Nice Guy yang sudah berkeluarga dan memiliki anak hendak ingin membeli kulkas. Sebelum dia membelinya, alih-alih menanyakan pendapat kepada Istrinya tentang seberapa pentingnya kulkas bagi mereka, Nice Guy malah menanyakan hal ini pada Ibunya. Lantas ketika Ibunya menjawab, “Udah jangan beli kulkas, mending uangnya buat ibu aja. Itung-itung balas budi.” Mendengar hal ini, Nice Guy malah membatalkan niatnya untuk membeli kulkas, dan dia memberi uang yang dimiliki itu untuk Ibunya sendiri. Padahal, nyatanya Istrinya sangat membutuhkan kulkas karena sayuran yang dia beli selalu layu.
Tak ada yang salah dengan memberikan uang ke orang tua, tapi yang salah ketika kita dikontrol oleh mereka. Nice Guy sendiri paling sering dikontrol oleh orang tua, dari anak-anak sampai dewasa, mereka diajarkan untuk menyenangkan hati orang tua bukan menyenangkan hati diri sendiri. Contohnya ketika Nice Guy kecil memiliki bakat dalam sepakbola, alih-alih mengembangkan bakat yang mereka miliki ini dengan bermain sepakbola setiap hari, mereka lebih memilih ‘tuk mengurangi atau bahkan menghentikannya karena orang tuanya marah. Ibunya Nice Guy sendiri bilang kalau bermain sepakbola itu tak ada gunanya, dan Ayahnya Nice Guy malah mengatakan jika anaknya itu lebih baik jadi Hafidz Qur’an daripada Pemain Sepakbola. Selanjutnya, karena Nice Guy berpikir jika orang tuanya tak mau menerima dirinya kalau dirinya melakukan hal-hal yang dia sukai, akhirnya Nice Guy lebih memilih untuk menuruti kemauan orang tuanya. Dia hafalan Al-Quran tiap hari, berpikir dengan hal ini orang tuanya akan menerimanya. Lambat-laun, dari satu kejadian, akan berkembang menjadi banyak hal. Nice Guy berpikir kalau dirinya bisa menuruti kemauan orang lain, dirinya akan diterima. Akhirnya, dia tumbuh dan berkembang hanya untuk menjadi robot setiap orang—robot yang memiliki kekosongan batin dan hanya menjadi budak saja.
Ironisnya, hampir seluruh Nice Guy itu gagal dalam pencapaian hidupnya. Mereka tak bisa hidup dengan passionnya, selalu tergantung dengan orang lain, dan bahkan apapun yang mereka lakukan hanya sebagai bentuk penerimaan dari orang-orang. Mereka memiliki hubungan percintaan, tapi mereka hanyalah sebagai sisi yang terus-menerus “memberi” tanpa adanya pembalasan. Mereka dicintai dengan orang tuanya, tapi mereka harus membenci dirinya sendiri karena gagal untuk “menjadi diri sendiri.” Semua problematika ini berawal ketika Nice Guy tak punya ruang untuk dirinya sendiri. Mereka menganggap, jika diri mereka menuruti kemauan pribadi, itu sama aja egois, dan mereka tak mau egois—hal ini yang paling dihindari Nice Guy, oleh sebab itu mereka terus-menerus menuruti kemauan orang-orang.
Jadi, apakah anda termasuk Nice Guy? Ataukah anda masih belum sadar?
*iwsa/ pjmi/ wi/ nf/ 159625
Views: 15