SENANDUNG SYAHDU ANA AL-HAQ DARI AL-HALLAJ TAK LAIN DARIPADA MANIFESTASI AFIRMASI AKULAH CITRA TUHAN, AKULAH HAMBA DAN KHOLIFAH-NYA DI BUMI

Posted by : wartaidaman 19/08/2025

 

WARTAIDAMAN.com 

 

 

Oleh: Amir Kumadin

 

________ “Ajaran, Jalan dan Metode Hulul, Ittihad, dan Sejenisnya Yang Dianggap Sesat dan Gila Yang Sudah Dikubur 1000 Tahun Lebih, Kini Bangkit Kembali Dari Kuburnya”. _______

 

“Anda belum bisa disebut mencintai batu, sebelum Anda menjadi batu”.
(Krishnamurti)

Rahasia Cinta

Cinta adalah tindakan untuk mendahulukan atau mementingkan sesuatu atau realitas di luar dirinya, baik orang lain, segala ciptaan-Nya, dan Tuhan daripada dirinya sendiri bahkan hingga berkorban dengan memui kematian. Ini adalah tindakan, usaha sungguh-sungguh, untuk menegasikan keinginan, kemauan, dan kepentingan diri sendiri yang merupakan manifestasi “ego dirinya” (aku yang egoistik) demi memenuhi apa yang diinginkan, dimaui, dan diminta oleh “ego realitas di luar dirinya” (aku yang lain).

Artinya, jika Anda benar-benar telah memiliki cinta atau mencintai sesuatu, misalnya keluarga, orang lain, alam semesta, dan Tuhan, maka Anda harus memilih lebih baik mati demi mementingkan apa yang Anda cintai seperti tersebut di atas daripada Anda harus berbuat bohong, korupsi, dan berbuat tercela dan jahat lainnya yang merupakan manifestasi “ego dirinya”.

Hal itu sama saja dengan saat dimana Anda mencintai, atau jatuh cinta, pada sesuatu, maka Anda harus mengikuti, tunduk, dan patuh kepada apa yang Anda cintai tersebut. Tepatnya, bahwa Anda harus “tunduk tanpa syarat” kepada apa yang Anda dicintai.

Nampak jelas sekali bahwa ketika Anda mencintai sesuatu, maka Anda tidak bisa memaksa dengan cara apapun apa yang Anda cintai untuk mencintai Anda. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, Anda terpaksa atau tidak, Anda wajib mengikuti apa yang menjadi keinginan atau kemauannya, Anda wajib memenuhi apa yang dimintanya, Anda wajib tunduk tanpa syarat pada apa yang Anda cintai.

Dengan begitu, bahwa “perubahan” yang terjadi saat Anda mencintai sesuatu, dari cinta atau mencintai lawan jenis, segala ciptaan-Nya, sampai kepada mencintai Tuhan, yang “berubah” bukannya apa yang Anda cintai (obyek cinta/loved) melainkan diri Anda sendiri (subyek cinta/lover).

Henry Courbin dalam risetnya tentang cinta kaum sufi bilang, “Rasa cinta tidak berpindah dari suatu obyek kepada obyek lain, dari suatu obyek manusiawi kepada obyek Ilahi. Yang terjadi adalah “metamorphose” (pergantian sifat) dari si subyek”.

Ternyata yang berubah itu tak lain daripada “keinginan/kemauan/kehendak dan “sifat-sifat” si pecinta (lover). Yakni, berubah untuk diganti dengan “kemauan” dan “sifat-sifat” sang kekasih (loved).

Artinya, ketika Anda jatuh cinta atau mencintai sesuatu, maka Anda menjadi tempat manifestasi “kemauan” dan “sifat-sifat” dari sesuatu yang Anda cintai. Atau dengan kata lain, Anda harus menuruti, tunduk tanpa syarat, pada “kemauan” sesuatu yang Anda cintai dan mengganti (meniru) dengan “sifat-sifat” sesuatu yang Anda cintai tersebut. Dengan begitu, dapat dibilang bahwa “mencintai itu harus menjadi seperti yang dicintai”.

Itulah sebabnya, mengapa ketika si pecinta (lover) mencintai sang kekasihnya (loved), maka dia tidak memiliki pilihan, tidak memiliki kemauan, dan tidak memiliki sifat-sifat tertentu kecuali pilihan, kemauan, dan sifat-sifat sang kekasihnya. Jika sudah begitu, menurut Syeikh Akbar Ibnu ‘Arobi, maka hingga akhirnya, si pecinta mendapatkan wujudnya sendiri yang tersembunyi persis seperti sang kekasih di dalam dirinya sendiri. Karena Anda tak dapat mencintai sesuatu, Anda mustahil bisa mencintai sesuatu, kecuali dengan menjelma menjadi sesuatu yang Anda cintai.

Cinta Kepada Tuhan

Berpijak pada penjabaran di atas, maka adalah benar apa yang dikatakan Krishnamurti bahwa, “Anda belum bisa disebut mencintai batu, sebelum Anda menjadi batu”. Hal ini berlaku untuk semua cinta atau untuk mencintai apa dan siapa saja, termasuk dalam konteks mencintai Tuhan.

Ketika Anda mencintai sesuatu, khususnya mencintai lawan jenis, maka ada syarat yang harus dipenuhi agar Anda tidak tertipu oleh hawa panas seksual yang bersumber dari egoisme. Apa syarat itu? Nabi saw. bersabda:
“Makhluk tidak dapat dipatuhi jikalau tujuannya adalah ketidakpatuhan pada Sang Pencipta”.

Hadits ini dapat dipahami bahwa jika Anda menciintai sesuatu, maka Anda harus tunduk dan patuh pada Norma Mutlak Ilahiyah, yakni tunduk dan patuh pada moral, akhlak, ketentuan, kehendak, dan perintah-Nya.

Dengan begitu saat dimana Anda sedang mencintai sesuatu atau seorang wanita atau pria, maka pada hakikatnya Anda sedang mencintai Tuhan. Karena memang hakikat cinta adalah cinta Tuhan, mencintai Tuhan.

Sebaliknya, jika Anda melanggar Norma Mutlak Ilahiyah dalam mencintai apa yang Anda cintai, maka hakikatnya Anda sedang tidak mencintai apa yang katanya Anda cintai, hakikatnya Anda sedang merusak, menghina, dan menzhaliminya, dan pada saat yang sama, Anda pasti jatuh kepada egoisme, jatuh kepada memberhalakan apa yang Anda cintai, jatuh kepada dosa, dan jatuh kepada syirik.

Kemudian mari kita lanjutkan dan kulik lebih dalam lagi tentang cinta spiritual, cinta kepada Tuhan yang dilakukan dan dialami oleh Al-Hallaj. Ketika Anda mencintai Tuhan, maka Anda harus ‘menjadi Tuhan’ atau ‘menjadi seperti Tuhan’. Ini mengandung dalam dirinya bahwa:

1. Ketika Anda jatuh cinta atau mencintai Tuhan, maka Anda harus menjadi tempat manifestasi Tuhan.

2. Jika Anda mencintai Tuhan, maka Anda harus sampai mendapatkan wujudnya sendiri yang tersembunyi persis seperti Tuhan yang Anda cintai di dalam dirinya sendiri. Artinya bahwa Anda tak dapat mencintai Tuhan, Anda mustahil bisa mencintai Tuhan, kecuali dengan menjelma menjadi Tuhan.

‘Menjelma menjadi Tuhan’ atau ‘menjelma menjadi seperti Tuhan’ itu merupakan bahasa analogi dan simbol. Maksudnya tak lain daripada menjadi citra atau gambaran Tuhan. Dan setiap manusia, setiap Anda, dicipta dan ditakdirkan untuk memiliki potensi menjadi citra Tuhan.

Biar Anda menjadi “citra Tuhan”, maka Anda mesti tunduk tanpa syarat pada kemauan-Nya dan meniru (mengimplementasikan) sifat-sifat-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Kemauan dirinya diganti dengan kemauan-Nya, dan sifat-sifat dirinya diganti dengan sifat-sifat-Nya. Tentu sejauh yang Anda mampu dan bisa jangkau atas izin-Nya, sehingga Anda memiliki kualitas dan kemampuan yang merefleksikan atau mengimplementasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mampu berpikir merdeka (original, otentik, kreatif, dan unik), jujur, adil, bertanggung jawab atas nasib orang lain (manusia) dan keberlangsungan alam semesta, penerimaan (ridho atas apa saja yang terjadi sekaligus pro aktif atasnya), bersyukur, empati, menolong, solider, mengasihi, berkarya, dan seterusnya.

Setelah Anda memiliki kemampuan seperti tersebut di atas (menjadi Citra Tuhan), Anda baru bisa memikul dan menjalankan tanggung jawab untuk mengelola dan memelihara segala ciptaan-Nya. Itulah hakikat dibalik tugas hamba dan kholifah-Nya di muka bumi. Sebaliknya, tanpa Anda menjadikan diri Anda sebagai hamba dan kholifatullooh terlebih dahulu, maka yang ada hanyalah kehancuran eksistensi Anda (manusia) dan alam semesta.

Itulah hakikat dibalik senandung syahdu ‘kontroversial’ Al-Husain Ibnu Manshur Al-Hallaj (858 – 922 M) ketika dalam keadaan ekstase (passion) mencintai Allooh swt. Inilah senandung syahdu Al-Hallaj tersebut:

“Ana Al-Haq”
“Aku adalah Kebenaran”.

Sebenarnya, dalam perspektif ilmu bahasa, ungkapan “Ana Al-Haq” (“انا الحق”) memiliki makna, “aku ini adalah representasi dari Al-Haq (Allooh)”.

Arti dari “representasi” sendiri adalah sebuah proses atau tindakan mewakili atau menggambarkan sesuatu, dalam hal ini mewakili Tuhan. Representasi dari Al-Haq, juga bisa berarti keadaan dimana seseorang bertindak atau berbicara atas nama Al-Haq.

Ternyata Al-Hallaj berpikir melampaui jamannya, yakni bahwa yang dimaksud dengan “representasi Al-Haq”, tak lain daripada apa yang disebut citra Tuhan atau hamba dan kholifatullooh fil ard” dalam bahasa Al-Qur-an. Seseorang bisa mewakili sesuatu jika orang itu memiliki sifat-sifat yang diwakilinya. Orang bisa mewakili Allooh di bumi, kalau dan hanya kalau, orang itu mampu memiliki sifat-sifat-Nya dalam dirinya.

Saat dimana Al-Hallaj sampai pada maqom menjadi citra Tuhan atau hamba dan kholifah-Nya itulah kemudian dia bersenandung syahdu “انا الحق” itu, dirinya fana, hilang ego dirinya, hilang sifat-sifat kemanusiaanya, dan serta-merta sifat-sifat-Nya atau “kesadaran ketuhanannya” mengambil seluruh kesadarannya. Itulah maqom kesadaran “muth-ma-innah” dalam bahasa sang Hujjatul Islam Al-Ghozali, yang berada pada “dimensi empat” dalam bahasa Viktor E. Frankl pendiri aliran psikologi eksistensial.

Al-Hallaj berhasil membangun “metode atau jalan cinta menuju Tuhan”, jalan orang-orang yang bermoral atau berakhlak, jalan orang-orang yang telah melepaskan diri dari penjara kesadaran materialisme, jalan hamba dan kholifah-Nya di dunia ini, jalan orang-orang kreatif karena telah mampu berpikir merdeka dan mampu memanfaatkan karunia-Nya untuk rahmat bagi manusia dan alam semesta, yakni jalan yang dikenal dengan hulul. Hulul itu tak lain daripada masuknya sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia saat dimana sifat-sifat manusiawinya telah fana.

Sifat-sifat Tuhan oleh Al-Hallaj disebut “Lahut”. Yakni, sifat-sifat-Nya yang dititipkan kepada makhluk-Nya (manusia). Sedangkan sifat-sifat manusia atau sifat kemanusiaan oleh Al-Hallaj disebut “Nasut”. Lebih lanjut dia bilang, “Barangsiapa yang bisa menghilangkan sifat nasutnya, maka dia didominasi sifat lahutnya”.

Efek domino dari pengalaman hulul inilah yang menimbulkan apa yang disebut sifat baik dari manusia. Sifat baik atau dalam bahasa agama disebut akhlak yang merupakan manifestasi dimensi manusiawi dari sifat-sifat Tuhan (Al-Kholiq).

Jika Anda benar-benar ingin menjadi: pecinta sejati-Nya, orang yang bermoral, orang yang bisa melepaskan diri dari penjara kesadaran materialisme, orang yang mampu berpikir merdeka, hamba dan kholifah-Nya di dunia ini, dan orang kreatif dalam memanfaatkan karunia-Nya untuk rahmat bagi manusia dan alam semesta, maka tak ada jalan lain, kecuali Anda harus menempuh JALAN HULUL yang diajarkan oleh Al-Hallaj.

Saat dimana Anda sedang meniti tangga maqom-maqom kesadaran spiritual, atau bahkan jika telah mencapai maqom “washl” atau “wajd”, Anda tentu tidak perlu berucap dan bersenandung, ” Ana Al-Haq, Wahai Aku, dan senacamnya seperti Al-Hallaj berucap dan bersenandung. Tapi Anda cukup diam tapi bergerak dan bertindak menjalankan tugas yang telah diamanatkan Tuhan, sebagai “Citra Tuhan” atau “Kholifatullooh fil ard” dimana Anda berada.

Ajaran, jalan atau metode hulul dari Al-Hallaj sebenarnya secara esensi maupun substansi sama dengan ajaran ittihad (penyatuan dengan Tuhan) dari Abu Yazid Al-Buthomi (804 – 874 M). Jadi Al-Hallaj tidak sendirian dalam menemukan jalan cita menuju Tuhan (hulul) itu, dan tidak ada yang salah dengan senandung dan ucapan Al-Hallaj. Justru itulah salah satu hakikat yang diajarkan Al-Qur-an dan Al-Hadits kepada seluruh manusia, khususnya kepada Kaum Muslimin.

Itulah sebabnya, mengapa Al-Hallaj oleh sebagian sufi yang lain dan pengikutnya diyakini sebagai waliyullooh, bahkan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani ketika ditanya mengenai Al-Hallaj, dia bilang, “Al-Hallaj tersandung, dan tidak ada seorang pun di masanya untuk mengambil tangannya (untuk menyelamatkanya). Dan jika aku mengetahuinya, tentu aku akan mengambil tangannya.”

Kemudian saat menjelang kematian Al-Hallaj, menurut riwayat yang termaktub dalam beberapa kitab tasawuf bahwa yang menjadi perdebatan adalah tentang pertanggungjawaban kitabnya yang berisi ajaran hulul dan ucapan-ucapan (senandung) kontroversial waktu itu. Maka ketika dia ditanya, “Apakah ini kitabmu?” Dia menjawab, “Demi Allah, ini kitabku”. Kemudian dia dinyatakan/diputuskan, “Kalau begitu, kamu telah sesat.” Kemudian dia merespons, “Tidak ada yang aku tulis kecuali Al-Quran dan Al-Hadits.”

Al-Hallaj telah mengikuti dan menjalankan apa yang diajarkan oleh Al-Qur-an dan Al-Hadits. Dia melihat makna-makna hakikat dibalik semua itu. Dia telah menjadikan dirinya sebagai tempat manifestasi Tuhan. Dan Anda tentu bisa menjadi seorang sufi, apapun tingkat titel akademik dan profesi Anda, dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun Anda.

Oleh sebab itu, Al-Hallaj benar-benar telah mengalami “kesadaran transendensi” atau “kesadaran spiritual” dalam kehidupan sehari-hari bahwa Tuhan lebih dekat (tanpa jarak) dari urat lehernya (QS. Qoof [50]: 16-18), Tuhan selalu bersamanya dimanapun dia berada (QS. Al-Hadiid [57]: 4, Tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengawasan Allah”, (QS. Ali ‘Imron [3]: 5), dst.

Lebih dari itu, Al-Hallaj telah mengalami, “Dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar”, (QS. Al Anfaal [8]: 17). “Jika dia mendengar, maka dengan telinga-Ku dia mendengar.
Jika dia melihat, maka dengan mata-Ku dia melihat.
Jika dia berjalan, maka dengan kaki-Ku dia berjalan.
Dan jika dia bekerja, maka dengan tangan-Ku dia bekerja”.
(HR. Bukhori).

Seorang sufi bilang, “Siapapun yang mencintai Tuhan tak akan bisa mencapai hakikat cinta sehingga dia mengatakan kepada-Nya, “Wahai Aku”. Itulah cinta yang dialami oleh Al-Hallaj saat mencintai Tuhan. Ketika dia ditanya, “Siapa namamu?” Dia pun menjawab, “Ana Al-Haq”. Itulah arti persatuan antara dirinya dengan Tuhan.

Bahasa Yang Dipakai Untuk Mengungkapkan Pengalaman Cinta Spiritual Adalah Bahasa Analogi dan Simbol

Semua ungkapan atau bahasa yang dipakai kaum sufi dalam menuturkan pengalaman cintanya kepada Tuhan, pengalaman spiritualnya, adalah dengan bahasa analogi, simbol, metafora dan parabol, sehingga jika Anda mengartikan secara harfiyah, tekstual, dan mengikutinya secara mentah-mentah, maka pasti Anda konyol dan keblangsak.

Karena memang, ketika manusia ngomong soal cinta, apalagi cinta Ilahiyah, cinta spiritual, cinta kepada Tuhan, maka manusia tak dapat mengungkapkannya kecuali dengan bahasa analogi (qias), simbol, dan metafora. Untuk menyeberangi yang tak mungkin diseberangi, maka manusia tak kuasa kecuali hanya bisa menjelaskannya dengan bahasa-bahasa seperti itu, bahkan masih terlalu jauh dan tak memadahinya.

Pengalaman spiritual yang dialami oleh Al-Hallaj atau oleh kaum sufi lainnya yang sudah sampai pada hulul disebut sebagai “maqom al-washl” atau “maqom penyatuan”. Yakni, ‘bertemu’ atau ‘menyatu’ dengan Allooh. Atau ada yang menyebutnya sebagai “maqom al-wajd”. Yakni ketika hatinya telah didominasi oleh Dzat yang dicintainya. Dan seluruh kondisi spiritualnya merupakan manifestasi kemauan dan sifat-sifat dari Dzat yang dicintainya, Allooh swt.

Dimana sebelumnya ada tingkatan-tingkatan (hirarki) maqom yang begitu banyak untuk bisa mencapai maqom al-washl atau al-wajd tersebut. Misalnya, ada maqom “musyahadah” (penyaksian), maqom “mukasyafah” (ketersingkapan) atau melihat langsung, maqom “fana” (hilangnya ego diri), dan seterusnya.

Pengalaman Al-Hallaj tersebut dapat dibilang merupakan puncak eksistensi ruhani atau eksistensi spiritual. Yakni, tingkat maqom (kedudukan) yang paling tinggi dalam perjalanan cinta menuju Allooh swt. Tingkat dimana dia sampai kepada hilangnya segala bentuk keinginan. Tingkat dimana dia tidak lagi memiliki pilihan, tidak memiliki kemauan, dan tidak memiliki sifat-sifat tertentu kecuali pilihan, kemauan, dan sifat-sifat-Nya.

Pada tingkat itulah kemauan Allooh telah menyelimuti dan mendominasi keseluruhan dirinya. Dan kemauan Allooh tersebut menjadi pusat dirinya, pusat segala sesuatu, pusat segala ukuran dan penilaian bagi tindakan atau perilakunya. Bahkan hukum dan aturan-Nya tidak lagi terasa sebagai suatu perintah dari luar, tapi merupakan sebuah kesadaran dari dalam dirinya dan merupakan kebutuhan yang mutlak seperti mutlaknya sembako dalam kehidupan manusia.

Sebuah Analogi Subyek dan Obyek Cinta

Agar Anda lebih yakin lagi, dan tidak ada salah paham diantara kita, dan untuk memahami lebih detail dan konkrit lagi tentang “perubahan subyek cinta atau si pecinta (lover)”, khususnya dalam kasus Al-Hallaj, maka saya mencoba menambah penjelasan tafsir yang telah saya paparkan di atas dengan sebuah analogi berikut ini.

Jika sebuah potongan besi dimasukan ke dalam api, maka nyala api akan membungkusnya. Lalu sifat-sifat dan kulitas api memasukinya, sehingga besi mulai ‘menyerupai’ (mirip/seperti) api dalam sifat dan kualitasnya (kemampuannya), yaitu panas dan bisa membakar.

Dalam kondisi ini, potongan besi mulai dianggap sebagai api. Memang tidak benar, jika dikatakan bahwa potongan besi adalah api dan tak ada lagi besi tersebut. Karena sebuah transformasi (proses perubahan bentuk atau wujud) seperti itu, baik esensi maupun substansinya adalah mustahil.

Akan tetapi, dapat dibenarkan untuk berkesimpulan bahwa, ketika sifat-sifat dan kualitas besi masuk ke dalam api, maka akan didominasi dan dikuasai oleh sifat-sifat dan kualitas api. Artinya, besi itu tunduk, mengikuti, meniru, merefleksikan sifat-sifat dan kualitas api. Atau sifat-sifat dan kualitas besi diganti dan berubah menjadi sifat-sifat dan kualitas api.

Begitupun sifat-sifat dan kualitas si pecinta yang tunduk, mengikuti, dan meniru sifat-sifat dan kualitas Sang Kekasih, dalam hal ini Allooh swt., maka si pecinta akan menjelma menjadi seperti Sang Kekasih. Nampak menjadi “citra atau gambaran” Sang Kekasih.

Pastinya, apa yang disenandungkan Al-Hallaj tak lain daripada bahasa hakikat, analogi, simbol, dan metafora yang merupakan manifestasi pengalaman bathin (spiritual)-nya. Sehingga jika Anda artikan secara tekstual dan verbal doang, maka akan kacau bahkan mengandung unsur kemusyrikan. Bukankah mustahil Al-Hallaj itu adalah Allooh, atau sebaliknya? Bukankah mustahil pula, bahwa manusia adalah Tuhan, atau sebaliknya?

Ya, karena memang yang terjadi bukan perubahan secara esensi (Dzat) dan substansinya, yakni Al-Hallaj menjadi Allooh, tapi yang terjadi adalah si pecinta dalam konteks ini adalah Al-Hallaj, hanya merubah, mentransformasi, memproyeksi, dan mengganti sifat-sifat dan kualitas dirinya dengan sifat-sifat dan kualitas Sang Kekasih, yakni Allooh Sang Maha Pencipta dan Maha Cinta. Apakah Anda belum tahu, bahwa itulah hakikat cinta?! Itulah pula, hakikat mencintai!

Demikian juga, makna hakikat dibalik hadits Nabi saw. berikut ini.

“Orang yang telah mendapatkan Cinta-Ku (Allooh):

“Jika dia mendengar, maka dengan telinga-Ku dia mendengar.
Jika dia melihat, maka dengan mata-Ku dia melihat.
Jika dia berjalan, maka dengan kaki-Ku dia berjalan.
Dan jika dia bekerja, maka dengan tangan-Ku dia bekerja”.
(HR. Bukhori).

Seandainya Anda mengartikan hadits itu secara tekstual belaka, maka di situlah Anda tenggelam dalam kesyirikan akut. Bukankah mustahil Allooh berbentuk fisik seperti manusia yang punya tangan, kaki dan seterusnya itu?!

Makna tersirat dari hadits di atas adalah bahwa tentunya orang yang mendapatkan Cinta dari-Nya adalah orang yang telah mencintai-Nya terlebih dahulu. Yaitu, Anda (siapapun Anda) yang telah meninggalkan ego dirinya, dan pada saat yang sama, tunduk tanpa syarat pada kemauan-Nya dan mengikuti dan mencontoh sifat-sifat-Nya. Jika sudah begitu, maka berarti Anda telah menjadi tempat manifestasi Sang Kekasih, Allooh Robbul ‘aalamiin. Yang berarti juga, Anda telah mendapatkan Cinta-Nya. Sekali lagi, itulah makna hakikat dibalik hadits Nabi saw. di atas.

 

 

 

 

 

*mdp/ wi/ nf/ 170825

Views: 20

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *