Ulil dari Islam Liberal ke Pro Tambang, Jalan Pragmatisme yang Konsisten

Posted by : wartaidaman 16/06/2025
Gambar: Marwan Aziz, Sekjen Greenpress Indonesia

 

WARTAIDAMAN.com   

 

 

Oleh: Marwan Aziz

 

Ulil Abshar Abdalla adalah nama yang tidak asing dalam diskursus Islam di Indonesia. Kini kembali disorot terkait perubahan pandangannya soal tambang yang kontroversial.

Ulil pernah tampil sebagai salah satu intelektual paling progresif saat aktif di Komunitas Utan Kayu dan menjadi motor penggerak Jaringan Islam Liberal (JIL) pada awal 2000-an. Saat itu, Ulil dikenal sebagai penyuarakan Islam yang rasional, demokratis, dan toleran bahkan berani mengutak atik ajaran Islam yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Namun, tak bisa dimungkiri bahwa gerakan yang ia bangun itu beroperasi dalam ekosistem pendanaan asing. Lembaga-lembaga seperti Ford Foundation, Asia Foundation, dan donor pro-demokrasi Barat menjadi sokoguru finansial gerakan liberal Islam tersebut. Dalam hal ini, Ulil dan kawan-kawan memainkan peran strategis untuk menyuarakan nilai-nilai liberal dalam bingkai keislaman. Apakah ini salah? Tidak sepenuhnya. Tapi di sinilah awal mula pragmatisme Ulil itu dapat ditelusuri.

Tahun-tahun berlalu, medan politik berubah. Ulil pun berpindah peran, dari pemikir pinggiran ke parpol hingga jadi pengurus besar salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.

Ulil kini menjadi bagian dari elite Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tepatnya di Lakpesdam NU—lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia. Bersamaan dengan itu, pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo membuka ruang bagi ormas keagamaan untuk terlibat dalam bisnis tambang.

Melalui tangan Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi saat itu, Ormas keagamaan termasuk NU diberikan konsesi tambang sebagai bentuk “pemberdayaan umat.” Di sinilah Ulil tampil bukan sebagai pengkritik tambang, melainkan pembela bahkan pro tambang.

Ia menyatakan bahwa tambang bisa menjadi sarana maslahat, asal dikelola dengan baik. Bahkan ia menyebut aktivis yang menolak tambang atas nama lingkungan sebagai bagian dari “wahabisme lingkungan.”

Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar.
Apa yang sebenarnya berubah dari Ulil?

Sejumlah pengamat mempertanyakan perubahan pandangan Ulil, tapi menurut saya, jawabannya bukan perubahan nilai, tapi konsistensi dalam pragmatisme.

Dulu, ketika ada peluang pendanaan besar dari luar negeri untuk menyuarakan Islam liberal, ia berdiri di barisan depan, namun seiring waktu proyek demokrasi dan liberalisme Islam semakin mengering pendanaanya, Ulil pun memasuki dunia politik dengan bergabung ke Partai Demokrat sekaligus menjadi pengurus PBNU.

Sekarang, ketika pemerintah membuka keran tambang dan memberikan konsesi kepada PBNU, Ulil pun kembali ke mimbar untuk membela kebijakan itu, kali ini atas nama “maslahat.”

Kritik terhadap posisi ini bukan datang dari luar. Banyak warga NU sendiri yang mempertanyakan, apakah benar tambang adalah jalan terbaik untuk memberdayakan umat? Atau justru membuka jalan bagi ormas menjadi bagian dari kapitalisme ekstraktif yang selama ini menjadi biang kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial?

Ulil hanyalah satu contoh dari bagaimana elite ormas keagamaan bisa berubah posisi seiring perubahan peluang politik dan ekonomi. Pragmatisme bukan sekadar strategi, tapi sudah menjadi mentalitas.

Dan publik patut bertanya:
Jika mereka yang dulu bersuara lantang atas nama nilai kini bersuara demi konsesi,
siapa lagi yang bisa kita percaya untuk menjaga moral ruang publik?

 

*Penulis adalah Sekjen Greenpress Indonesia

 

 

*maaz/ pjmi/ wi/ nf/ 160625

Views: 11

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *