
WARTAIDAMAN.com
Oleh: H. J. FAISAL
Prolegomena
Pada dasarnya, proses pendidikan adalah sebuah proses sosial yang selalu berubah sistemnya dan selalu berkembang seiring perubahan sosial, budaya, dan teknologi itu sendiri.
Namun, sering kali pendidikan hanya dipahami dalam aspek fisiknya, seperti struktur institusi, kurikulum, metode pembelajaran, atau asesmen akademiknya.
Padahal, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai wahana pembentukan karakter, nilai, serta kesadaran spiritual peserta didik, yang berisi nilai-nilai metafisiknya.
Oleh karena itu, penting untuk memahami pendidikan secara holistik dengan mempertimbangkan unsur fisik dan metafisiknya secara bersamaan.
Unsur fisik dalam pendidikan mencakup elemen-elemen yang dapat diukur dan diamati secara konkret. Ini meliputi infrastruktur sekolah, fasilitas pembelajaran, sistem pengajaran, serta regulasi akademik yang mengatur jalannya pembelajaran secara sistematis.
Unsur fisik memiliki peran penting dalam mendukung kelangsungan pendidikan, namun tanpa unsur metafisik, pendidikan berisiko menjadi sekadar mekanisme administratif tanpa makna yang mendalam. Karena itu, pendidikan tidak cukup hanya dipandang dari sisi teknis, tetapi juga harus dilihat dari nilai, moral, dan tujuan hakiki yang membentuk manusia berakal, berpikir, dan beradab.
Sedangkan unsur metafisik pendidikan mencakup aspek-aspek yang tidak kasat mata tetapi memiliki dampak fundamental dalam proses pembelajaran.
Konsep ini berakar pada filsafat pendidikan, kesadaran spiritual, serta nilai-nilai yang menentukan arah perkembangan peserta didik.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai panutan umat muslim, dan para ulama Melayu pemikir pendidikan seperti Buya Hamka, Syed Naquib Al-Attas, Sidek Baba, serta para pemikir pendidikan lainnya, menekankan bahwa pembelajaran bukan hanya soal keterampilan dan akademik, tetapi juga pembentukan jiwa yang memiliki ketakwaan, etika, dan kebijaksanaan.
Maka, jika unsur metafisik diabaikan, pendidikan hanya akan menghasilkan individu yang pintar secara intelektual tetapi miskin dan bodoh dalam karakter dan moral.
Apalagi dalam era globalisasi dan digitalisasi saat ini, pendidikan menghadapi tantangan besar, di mana sistem pendidikan semakin berorientasi pada target kuantitatif, sertifikasi, dan administrasi dibanding esensi pembelajaran yang sejati.
Banyak guru dan dosen yang lebih fokus memenuhi standar birokrasi daripada mendidik dengan kebebasan berpikir dan kreativitas.
Akibatnya, kepuasan mahasiswa dalam proses belajar menurun, dan pendidikan kehilangan makna transformasionalnya.
Ketika guru dan dosen lebih banyak disibukkan oleh urusan administratif, sertifikasi, dan target penelitian demi kenaikan karir atau insentif, ada risiko bahwa fungsi utama mereka sebagai pendidik menjadi tergeser.
Guru yang selalu direpotkan dengan urusan administratif demi kenaikan pangkat dan kenaikan gaji, serta dosen yang selalu disibukkan dengan urusan pencapaian penelitian atau sertifikasi dosen, hanya demi kenaikan karir dan kenaikan insentif pendapatan per bulan, sesungguhnya akan mematikan kreatifitas pendidik dalam memberikan pengajaran kepada siswa dan mahasiswanya, karena waktu mereka telah habis untuk mengurusi kenaikan insentif dan administrasi mereka.
Perspektif yang saya angkat ini, pastinya sudah menjadi fenomena dan tantangan serius dalam dunia pendidikan saat ini.
Dan dampak yang paling terasa adalah:
• Minimnya eksplorasi kreativitas dalam pengajaran, karena waktu lebih banyak tersita untuk memenuhi tuntutan administratif.
• Pendekatan pendidikan menjadi lebih mekanis, karena hanya berorientasi pada angka dan pencapaian formal, bukan pada pendalaman ilmu yang bermakna.
• Kurangnya ruang refleksi dan inovasi dalam metode mengajar, karena pendidik lebih fokus pada memenuhi standar birokrasi dibanding membimbing perkembangan intelektual dan karakter peserta didik.
• Terjadinya tekanan psikologis bagi pendidik, yang bisa berujung pada kelelahan profesional (burnout), sehingga mengurangi semangat dan ketulusan dalam mengajar.
Karena hal seperti itu, maka tidak heran jika banyak kampus yang pangkat administratif dosennya banyak yang naik, tetapi jumlah mahasiswanya yang masuk ke kampus tersebut menjadi berkurang, hal ini dikarenakan kepuasan mahasiswa di kampus tersebut dalam menerima pengajaran menjadi sangat jauh berkurang.
Padahal, kepuasan mahasiswa dalam pembelajaran harus menjadi prioritas utama, karena tanpa ekosistem akademik yang menyenangkan dan produktif, kampus bisa kehilangan daya tariknya.
Dan salah satu cara paling efektif untuk menjaga kreativitas mahasiswa adalah dengan membangun keterlibatan aktif antara dosen dan mahasiswa melalui proyek bersama. Ini tidak hanya meningkatkan motivasi belajar, tetapi juga menjadikan pendidikan lebih aplikatif dan bermakna.
Maka dari itu, untuk mengatasi masalah ini, pemahaman tentang keseimbangan antara unsur fisik dan metafisik menjadi sangat krusial.
Unsur Fisik Dan Metafisik Pendidikan
Dalam proses pendidikan, unsur fisik dan metafisik berjalan beriringan seperti dua sisi mata uang.
Unsur fisik mencakup segala hal yang bisa diamati secara konkret, sedangkan unsur metafisik menyangkut makna, nilai, dan tujuan terdalam dari pendidikan itu sendiri.
Berikut pembagiannya:
Unsur Fisik
Ini adalah aspek yang bisa diamati, diukur, dan disentuh secara langsung. Unsur ini menjadi wadah dari sebuah proses pendidikan.
1. Pendidik dan Peserta Didik, yaitu subjek dan objek utama dalam proses pendidikan.
2. Sarana dan Prasarana, seperti gedung, ruang kelas, buku, teknologi, dan media pembelajaran.
3. Kurikulum dan Silabus, yang berisi struktur isi pembelajaran yang dirancang secara sistematis.
4. Metode dan Teknik Pengajaran, yaitu strategi penyampaian materi, seperti ceramah, diskusi, eksperimen.
5. Evaluasi dan Asesmen, yang menjadi alat ukur keberhasilan proses belajar mengajar.
Adapun unsur metafisik, terdiri dari aspek yang tidak kasat mata, namun menjadi jiwa dari pendidikan itu sendiri.
1. Tujuan Hakiki Pendidikan, yakni mencapai kesempurnaan manusia (insan kamil), bukan sekadar transfer ilmu.
2. Nilai dan Etika, dimana pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter dan moralitas.
3. Spiritualitas dan Kesadaran Diri, yaitu menjadikan pendidikan sebagai jalan menuju pengenalan diri dan Tuhan.
4. Filosofi Pendidikan, yaitu menyempurnakan pandangan kita tentang hakikat manusia, pengetahuan, dan kehidupan.
5. Motivasi dan Niat, dimana dorongan batin menjadi dasar kebermaknaan dari sebuah proses belajar.
Konsep dan Pemikiran Buya Hamka Tentang Keseimbangan Fisik Dan Metafisik Pendidikan
Berikut ini, saya akan ajak anda untuk menyelami sekelumit pemikiran Buya Hamka tentang metafisik pendidikan, yang sangat kaya dengan nilai-nilai Islam, filsafat hidup, serta pembentukan karakter manusia secara utuh.
Buya Hamka berpendapat bahwa:
1. Pendidikan sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan Insan Kamil
Buya Hamka menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi proses pembentukan manusia seutuhnya, baik akal, hati, maupun spiritualitas.
Buya Hamka mengacu pada konsep Insan Kamil (manusia sempurna) dalam Islam, di mana pendidikan harus mengarahkan manusia kepada kesadaran akan Tuhan, akhlak mulia, dan kebebasan berpikir.
2. Akal dan Iman sebagai Pilar Pendidikan
Dalam buku Falsafah Hidup yang beliau tulis pada tahun 1939, Buya Hamka menegaskan bahwa akal dan iman harus berjalan beriringan.
Pendidikan yang hanya mengandalkan akal tanpa iman akan melahirkan manusia yang cerdas tetapi kehilangan arah moral. Sebaliknya, iman tanpa akal bisa membuat seseorang terjebak dalam dogma tanpa pemahaman mendalam.
Buya Hamka mempunyai sebuah filosofi yang sangat dalam, yaitu “Akal adalah cahaya yang menerangi jalan hidup, tetapi iman adalah kompas yang menentukan arah.”
3. Pendidikan sebagai Pembebasan Jiwa
Buya Hamka sangat menekankan kemerdekaan berpikir dalam pendidikan. Beliau menolak sistem pendidikan yang hanya menekankan hafalan tanpa pemahaman kritis.
Menurutnya, pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan penjajahan mental.
• Pendidikan harus membentuk manusia yang merdeka, bukan sekadar pekerja yang patuh.
• Kebebasan berpikir adalah bagian dari ibadah, karena manusia diberi akal untuk merenung dan mencari kebenaran.
• Pendidikan harus menghidupkan jiwa, bukan hanya mengisi kepala dengan informasi.
4. Pendidikan sebagai Sarana Mencapai Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Menurut Buya Hamka, pendidikan tidak boleh hanya berorientasi pada kesuksesan duniawi, tetapi juga harus membimbing manusia menuju kebahagiaan akhirat. Buya mengkritik sistem pendidikan yang hanya berfokus pada keterampilan teknis tanpa memperhatikan nilai-nilai spiritual dan moral.
• Ilmu harus membawa manfaat bagi kehidupan, bukan sekadar alat untuk mencari nafkah.
• Pendidikan harus membentuk manusia yang berakhlak, bukan hanya yang berprestasi akademik.
• Keseimbangan dunia dan akhirat adalah tujuan utama pendidikan Islam.
5. Pendidikan sebagai Tuntunan, Bukan Paksaan
Buya Hamka sejalan dengan Ki Hajar Dewantara dalam hal ini, berpendapat bahwa pendidikan harus menjadi tuntunan, bukan sekadar instruksi yang dipaksakan. Ia percaya bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membimbing manusia sesuai kodratnya, bukan yang menekan atau mengontrol secara berlebihan.
Menurut Buya Hamka, Pendidikan bukanlah sekadar mengisi kepala dengan ilmu, tetapi membimbing hati agar mengenal kebenaran.
Konsep Metafisik Pendidikan Profetik
Dalam konsep Pendidikan Profetik, unsur metafisik yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah berakar kepada nilai-nilai spiritual, etika, dan kesadaran manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Allah Ta’ala.
Berikut beberapa unsur metafisik utama dalam pendidikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
1. Tauhid sebagai Fondasi Pendidikan
• Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menanamkan kesadaran akan Allah sebagai inti dari segala ilmu dan pembelajaran.
• Pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses mendekatkan diri kepada Tuhan.
• Ilmu yang tidak berlandaskan tauhid bisa melahirkan kesombongan intelektual tanpa arah moral.
2. Akhlak sebagai Tujuan Pendidikan
• Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
• Pendidikan harus membentuk manusia yang berkarakter, jujur, dan berempati, bukan hanya cerdas secara akademik.
• Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengajarkan pendidikan berbasis keteladanan, di mana guru harus menjadi contoh nyata bagi muridnya.
3. Pendidikan sebagai Proses Humanisasi
• Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam pendidikan profetik menekankan humanisasi, yaitu menjadikan manusia lebih bermartabat.
• Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membimbing manusia agar memahami hakikat dirinya.
• Pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan, ketakutan, dan penjajahan mental.
4. Transendensi dalam Pendidikan
• Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan bahwa ilmu harus membawa manusia kepada kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
• Pendidikan bukan hanya untuk dunia, tetapi juga untuk persiapan kehidupan akhirat.
• Konsep ini menekankan bahwa ilmu harus digunakan untuk kebaikan, bukan sekadar alat untuk mencari keuntungan materi.
Manfaat Pemahaman yang Mendalam Terhadap Metafisik Pendidikan
Pendidikan yang melengkapi fasilitas fisiknya dengan fasilitas mewah yang terbaik, sesungguhnya adalah untuk menghasilkan peserta didik yang diharapkan akan memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang lebih pula, sedangkan kemampuan berpikir dan kemampuan bertindak dengan akhlak yang baik, merupakan unsur metafisik pendidikann itu sendiri.
Artinya, sebenarnya unsur metafisik inilah yang akan memainkan peranan yang lebih jauh dalam hal pendidikan.
Fasilitas fisik yang mewah dan modern memang bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, tetapi esensi pendidikan tetap terletak pada unsur metafisiknya.
Tanpa dimensi metafisik, seperti pemahaman moral, kesadaran intelektual, dan pembentukan karakter, pendidikan hanya akan menjadi industri akademik, bukan wahana pembentukan manusia yang utuh.
Fasilitas memang dapat mendukung proses belajar, tetapi tidak otomatis menjamin kualitas berpikir dan bertindak peserta didik.
Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa banyak tokoh besar, seperti ilmuwan, ulama, dan pemimpin-pemimpin hebat yang lahir dari lingkungan pendidikan yang sederhana, tetapi mereka memiliki kedalaman spiritual, kecerdasan berpikir, dan integritas moral yang tinggi.
Maka, unsur metafisiklah yang menjadi penentu utama dalam keberhasilan pendidikan.
Tanpa penguatan nilai-nilai ini, meskipun institusi pendidikan memiliki fasilitas terbaik, peserta didik dapat kehilangan makna dalam pembelajaran, karena hanya mengejar sertifikasi dan gelar, bukan kebijaksanaan dan etika.
Tetapi terkadang banyak sekali pendidik yang belum mampu melihat unsur metafisik ini di dalam dirinya, artinya mereka masih belum mampu untuk ‘menundukkan’ dirinya sendiri agar terlepas dari yang namanya pragmatisme materialistik yang berlebihan, sehingga apa yang mereka ajarkan dan contohkan kepada peserta didiknya adalah hanyalah bagaimana mendapatkan materi yang banyak setelah mereka lulus dari sebuah lembaga pendidikan.
Ya, kesalahan dalam memandang arti sukses ini sesungguhnya merupakan bahaya laten yang sangat mengerikan.
Menurut saya, kesalahan dalam memaknai arti kesuksesan dalam pendidikan adalah bahaya laten yang bisa merusak esensi pendidikan itu sendiri.
Jika pendidik belum menyadari unsur metafisik dalam dirinya, yaitu kesadaran akan nilai, moral, dan tujuan sejati pendidikan, maka mereka berisiko mewariskan pola pikir materialistis kepada peserta didik.
Akibatnya, pendidikan lebih dilihat sebagai alat untuk mencari keuntungan finansial daripada sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan pembentukan karakter.
Sungguh sebuah ancaman laten yang sangat berbahaya, bukan?
Dan jika kita rinci beberapa dampak bahaya laten ini dalam dunia pendidikan kita, adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan Akan Selalu Berorientasi Kepada Kapitalisme
o Kampus menjadi institusi yang hanya “mencetak tenaga kerja” tanpa membentuk kesadaran intelektual dan moral.
o Mahasiswa melihat gelar sebagai tiket menuju uang, bukan sebagai jalan untuk memahami kehidupan lebih dalam.
2. Minimnya Keteladanan dalam Dunia Akademik
o Dosen dan guru yang terlalu sibuk mengejar sertifikasi dan insentif akan kehilangan esensi sejati sebagai pendidik.
o Mahasiswa lebih diarahkan untuk mengejar prestasi yang bersifat formal, bukan kebermanfaatan ilmu untuk masyarakat.
3. Hilangnya Motivasi Murni dalam Belajar
o Jika pendidikan hanya diukur dari seberapa besar materi yang bisa diperoleh, maka semangat belajar demi eksplorasi ilmu akan menurun.
o Mahasiswa akan lebih banyak fokus pada “keuntungan pribadi” dibanding pencarian ilmu sebagai bentuk peningkatan diri dan pemberdayaan sosial.
Sejatinya, pendidikan harus mengajarkan bahwa kesuksesan bukan hanya soal materi, tetapi soal kepuasan intelektual, kebermaknaan hidup, dan kebermanfaatan bagi orang lain.
Kesuksesan sejati dalam pendidikan bukan tentang berapa banyak harta yang diperoleh setelah lulus, tetapi berapa banyak kebijaksanaan dan kebermanfaatan yang bisa diberikan kepada dunia. Jika tidak disadari sejak awal, pendidikan bisa berubah menjadi pabrik materialisme, bukan pusat refleksi dan pencarian makna.
Artinya, ketika peserta didik itu lulus dari sebuah lembaga pendidikan, maka dunia akan bertanya….What do you speak? Do you speak about humanity? atau Do you speak about environmental ethics? atau Do you speak about technology? atau Do you speak about law supremacy? dan lain-lain.
Dan pastinya, sebuah lembaga pendidikan yang memahami itu semua akan melahirkan lulusan yang tidak akan gugup dan gagap dalam menjawab itu semua.
Lembaga pendidikan yang memahami esensi sejati pembelajaran akan menghasilkan lulusan yang siap berbicara tentang makna kehidupan, bukan sekadar menjadi pekerja tanpa visi.
Mengapa demikian? Ya, karena dunia tidak hanya menanyakan “Apa gelarmu?” atau “Di mana kamu sekolah atau kuliah?”, tetapi dunia akan bertanya:
• What do you speak?
Apakah kamu berbicara tentang kemanusiaan, etika lingkungan, teknologi, supremasi hukum, atau nilai-nilai universal yang membentuk dunia?
• What do you stand for?
Apakah kamu sekadar menguasai teori atau benar-benar mampu menerapkannya untuk kemajuan peradaban?
• What contribution do you make?
Apakah ilmu yang kamu peroleh hanya untuk kepentingan pribadi atau bisa memberikan manfaat bagi masyarakat luas?
Lembaga pendidikan yang memahami ini akan membentuk lulusan yang percaya diri dalam menjawab pertanyaan dunia, karena mereka telah belajar lebih dari sekadar teori akademik.
Mereka telah mengalami refleksi filosofis, keberanian berpikir kritis, dan kemampuan mengaitkan ilmu dengan realitas kehidupan.
Jika pendidikan hanya berorientasi administratif dan materialistik, lulusan akan gagap menjawab pertanyaan mendasar tentang makna ilmu yang mereka pelajari.
Oleh karena itu, pendidikan harus menanamkan kesadaran metafisik agar peserta didik siap menjadi manusia yang memiliki visi, karakter, dan keberanian berbicara tentang hal yang benar dan bermakna.
Mampukah lembaga pendidikan kita meluluskan peserta didik yang akan menjawab semua tantangan-tantangan dunia tersebut di masa yang akan datang?
Wallahu’allam bisshowab
Jakarta, 15 Juni 2025
*Dosen Sekolah Pacasarjana Prodi MMPI UNIDA Bogor/ Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) / Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Anggota PJMI
Views: 15