
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis. Praktisi Branding. Pendiri Brandstory.id)
Kebijakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah dijalankan. Tepatnya, secara resmi telah diluncurkan sejak 6 Januari 2025. Sebuah program realisasi salah satu janji kampanye pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming saat kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) lalu. Banyak pakar memandang program ini hanya “Omon-Omon”, tak bakal bisa dilaksanakan. Tapi, ternyata, di luar perkiraan, bisa dilaksanakan juga.
Konon, MBG dirancang pemerintah untuk meningkatkan pemenuhan gizi masyarakat, terutama anak-anak dan pelajar, guna mendukung generasi muda yang lebih sehat dan berdaya saing. Program ini juga menjadi bagian dari visi besar pemerintah untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, di mana generasi penerus bangsa diharapkan memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan mampu bersaing di tingkat global.
Anggaran program ini banyak betul. Bahkan, ada penambahan dari rancangan anggaran sebelumnya. Kabarnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) siap ditambah Rp100 triliun untuk dapat disukseskan dengan harapan target yang lebih luas. Pemerintah resmi menaikkan anggaran program MBG pada 2025, dari yang sebelumnya ditetapkan senilai Rp71 triliun, menjadi Rp171 triliun. Tambahan anggaran untuk program andalan Presiden Prabowo Subianto itu disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara BRI Microfinance Outlook 2025 di International Convention Exhibition (ICE) BSD City.
Ia mengatakan, penambahan anggaran MBG itu untuk melipatgandakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). SPPG itu merupakan dapur tempat memasak menu makanan yang dibagikan dalam program MBG. “Ditambah Rp 100 triliun maka jadi Rp171 triliun, jumlah sentranya akan meningkat, maka saya berharap ini akan menimbulkan multiplier yang luar biasa bagi UMKM di seluruh Indonesia,” kata Sri Mulyani. Program MBG kini dijalankan dengan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai ujung tombak pelaksanaannya.
Di tengah-tengah gegap-gempitanya penyelenggaraan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dilaunching. Beragam kritikan datang. Salah satunya datang kritik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kenapa? Organisasi keagamaan ini menilai program tersebut belum benar-benar siap untuk dijalankan.
Pelaksanaannya tidak merata, sehingga masih banyak sekolah, madrasah, dan pondok pesantren (ponpes) yang belum kebagian.
Dilansir beberapa media, Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, menyarankan agar program itu dibatalkan, ketimbang menimbulkan diskriminasi ke anak sekolah. “Kalau enggak berani menyesuaikan semuanya, batalkan. Kalau didiskriminasi, ya dibatalkan saja,” tegasnya.
Pemerintah, dinilai, tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan fakta sebenarnya soal kemampuan negara dalam membiaya program MBG. “Kalau misalkan alasannya enggak ada uang, ya batalkan saja,” ucap Anwar.
Terlepas dari kritikan, satu pertanyaan perlu kita ajukan, apakah sudah ada lembaga secara khusus yang mengawal program ini? Saya kira, ketika kebijakan sudah dijalankan, menjadi urgent masyarakat (publik) untuk melakukan pengawalan, terlebih program ini melibatkan dana yang begitu besar. Saya kira di sini, pakar-pakar kesehatan (terutama dokter), perlu ambil peran pengawalan, begitu juga praktisi-praktisi kebijakan publik. Memastikan, bagaimana program ini bisa berjalan secara tepat sasaran.
Adakah yang tertarik membuat lembaga kawal MBG ini?. []
*edj/ pjmi/ wi/ nf/ 130225
Views: 4