
WARTAIDAMAN.com
“Ayah, bagaimana rencana Ayah selanjutnya?”
“Maksud, Puput?”
“Ya. Ayah kan punya rencana pulang ke Kota Raja. Sementara kita masih di sini, di Rupat.”
“Bukannya Puput yang minta, kita semua berwisata ke Rupat. Ayah mau jalan-jalan dulu di pantai. Lagian nanti malam ayah mendapat undangan buka puasa bersama di Kantor Camat. Puput kalau pengin istirahat, nyantai saja di kamar. Biar ayah jalan jalan dengan Bunda.”
“Bunda mau kawani Puput di kamar, Kanda ….” bisik Bunda Lilik.
“Baiklah kalau begitu, biar ayah puaskan jalan jalan berwisata di Pantai Rupat Utara.” seru Pujangga Halim.
Pujangga Halim dengan santai berjalan di atas pasir putih. Air laut nampak makin lama makin surut. Pantai berpasir pun makin menjorok ke laut. Tapi Pujangga Halim tidak bermaksud berenang di pantai. Akhirnya Pujangga Halim malah naik ke darat. Di sana Pujangga Halim menjumpai suatu bangunan. Nampak masih baru, tetapi belum dimanfaatkan.
“Assalamu’alaikum.” sapa Pujangga Halim.
Tidak ada yang menyahut. Pujangga Halim mencoba masuk. Ruang tunggunya bagus. Tiba-tiba muncul seorang anak muda dari dalam. Wajahnya polos, tanda penurut.
“Hotel ini sudah disewakan?” tanya Pujangga Halim.
Anak muda itu hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu sendiri di sini?”
Anak muda itu kembali menngelengkan kepalanya. Tidak lama kemudian muncul anak muda yang lain lagi. Kelakuannya mirip yang muncul pertama tadi. Pujangga Halim mengurungkan niatnya untuk bertanya kepada anak muda yang baru datang.
‘Jangan-jangan dapat jawaban gelengan kepala lagi,’ pikir Pujangga Halim.
Pujangga Halim terus masuk ke lorong. Begitu ada pintu, seperti sebuah kamar, oleh Pujangga Halim kemudian pintu itu dibuka. Tampak di dalam sebuah kamar yang bagus. Ada TV ada ac ada 2 tempat tidur. Ada kamar mandi dalam.
‘Boleh juga nih, hotel. Bisa untuk istirahat paripurna.’ Pikir Pujangga Halim.
Ke dua anak muda tadi hanya mengikuti ke mana Pujangga Halim pergi, tanpa mengatakan sesuatu.
Namun ketika Pujangga Halim membuka sebuah kamar. Tiba-tiba dari dalam kamar, banyak orang berteriak.
“Ampun, kami nggak tahu apa-apa Pak. Tugas kami hanya menjaga gedung ini.” ribut anak anak perempuan menjawab.
“Maaf.” seru Pujangga Halim, kemudian mencoba mencari jalan ke luar. Baru anak laki laki tadi ada yang mau bicara.
“Ke arah sini, Pak.”
“Terima kasih.”
Pujangga Halim segera bergegas meninggalkan gedung itu. Kembali ke penginapan di tepi pantai, tempat Bunda Lilik dan Putri Raisani beristirahat.
“Sampai mana saja jalan-jalannya Kanda.” sapa Bunda Lilik.
“Kanda capek, Yang. Istirahat dulu, ya. Sambil menunggu buka puasa bersama di rumah pak Camat.”
“Lalu rencana setelah itu, bagaimana?”
“Kelihatannya Puput ingin kembali ke Jakarta segera ….” bisik Bunda Lilik.
“Nggak masalah, habis buka bersama, kita lalu berangkat ke Rupat Selatan. Pagi-pagi kita bisa ke Batam. Insya Allah, besuk sore kita sudah sampai Jakarta.”jawab Pujangga Halim.
“lalu mobil kita bagaimana, Kanda?”
“Ah itu mah gampang sama emjeka. Anak buahnya kan banyak. Biar dia yang urus.”
“Kanda percaya. Itu mobil kita satu-satunya. Tapi memang Puput sudah begitu ingin sampai Jakarta, sih. Kalau pakai mobil kan bisa empat hari malam, ya, Kanda.”
“Makanya, kita minta tolong emjeka saja bantuin ngurus tuh mobil.”
Putri Raisani samar-samar mendengar, besuk ayahandanya ingin mengajak pulang ke Jakarta via Batam.
‘Aduh, Bunda bantuin temukan si ganteng cepat dong.’ Lamun Putri Raisani melambung.
Setelah Pujangga Halim mengikuti acara Buka Bersama di Kantor Camat sebetulnya Pujangga Halim bermaksud segera berangkat menuju Rupat Selatan. Info yang diterima Pujangga Halim, dari Rupat Selatan dapat memilih dua laternatif. Malam itu langsung melanjutkan perjalana via kapal pompong ke Dumai. Menginap di Dumai. Baru besuk paginya, berangkat ke Pekanbaru via travel, Insya Allah siang sudah dapat berangkat ke Jakarta.
Alternatif ke dua. Pujangga Halim dapat menginap di Rupat Selatan, habis sahur, bersiap siap ke pelabuhan Batu Panjang, Rupat Selatan. Nanti ada kapal pompong reguler yang melayani route Batu Panjang langsung ke ferry Dumai-Batam. Insya Allah sore dapat berangkat ke Jakarta via Batam. Alternatif pertama hanya dilakukan jika situasi sangat mendesak, karena berlayar malam, bagaimana berbeda. Bukan hanya situasinya, tetapi juga pembayarannya. Selain harga charteran, juga sangat teegantung kepentingan yang akan berangkat.
Jika berlayar pagi, kapal reguler, jadi tidak perlu charter. Bahkan langsung diantar terlebih dahulu ke ferry Dumai-Batam.
Akhirnya dengan seggala pertimbangan Pujangga Halim memilih alternatif ke dua. Karena Pujangga Halim sudah memilih alterenatif ke dua, maka Pujangga Halim kemudian diminta untuk menyaksikan acara khusus kaum Tionghoa di Pulau Rupat Utara. Sekedar untuk berpartisipasi saja, tidak harus mengikuti acara intinya.
Acara khusus kaum tionghoa tersebut berlangsung aman dan tenteram. tidak ada gejolak yang berarti. Masyarakat seolah sudah terbiasa bertolernasi. Walaupun dilaksankan pada bulan puasa. Kaum Tionghoa, tidak berusaha memberikan buka puasa kepada umat Islam di sana. Bahkan mungkin membantu pelaksaaan Buka Bersama di Kantor Camat. Masyarakat pada acara khusus kaum tionghoa tersebut juga ikut meramaikan, ada yang mungkin mencari angpao, ada yang bahkan berjualan. semua berjalan aman tertib damai tanpa ada keributan antar sesama.
Malam itu juga, Pujangga Halim memutuskan berangkat menuju Batu Panjang Rupat Selatan, bersama Bunda Lilik dan Putri Raisani. Namun sesampai Batu Panjang hari sudah sepi. Nampak Dumai dari kejauhan masih bercahaya. Putri Raisani hatinya gelisah melihat Dumai yang banyak dipenuhi cahaya dari pelabuhan Batu Panjang Rupat Selatan. Tapi apa daya, menyeberang malam itu penuh resiko.
Pagi harinya, rombongan Pujangga Halim, Bunda Lilik dan Putri Raisani berangkat ke Dumai. WA dari emjeka, semua tiket sudah oke dan ada kode bookingnya. Selamat jalan. terima kasih sudah berkunjung ke Rupat. Pesisir indonesia.
“Ayah, antarkan Putri ke halte di dekat hotel Acacia.”
“Ada apa Puput? Ini kan hari sudah malam. Lagian kamu kan perempuan. Kan apa kata orang nanti, kalau Puput malam malam di halte.”
“Ayah. Puput mau merasakan kembali sensasinya.”
“Ah, kamu ini ada ada saja. Ayah nggak setuju. Puput boleh minta apa saja selama ini. Puput minta ke Rupat Utara, padahal Ayah mau ke Kota Raja. Ayah kabulkan.
Puput mau ke Jakarta, karena Bunda Lilik juga mendesak. Ayah kabulkan.
Yang tidak ayah kabulkan, kan hanya tidak setiap Puput minta, langsung Ayah setujui. Ayah punya jadwal Buka Puasa Bersama di Kantor Camat, lalu ayah diminta menyaksikan acara kaum tionghoa di Rupat Utara. Setelah itu, ayah, urus Puput lagi.
Tapi permintaan Puput sekali ini, ayah tidak dapat memenuhi. Hari sudah malam, lagian sensasi apa yang Puput hendak cari?”
“Kanda. Mengapa Kanda tidak berpikir untuk minta bantuan emjeka?”
“Minta bantuan emjeka. Bunda ini, bagaimana? Kita sekarang ini di mana, emjeka di mana? Lagian ini kan masalah Puput. Tidak ada hubungannya dengan emjeka. Bikin malu saja Bunda.”
“Tapi ini kan fiksi, Kanda. Boleh-boleh saja kan, dicoba?”
“Hemmmm. Maksud Bunda Lilik?”
“Kita minta bantuan emjeka, untuk bisa menginap di Hotel Acacia. jadi Puput pun bisa mencoba mencari sensasinya. Kita berdua menunggu di kamar. Kita minta ekstra bed saja. Satu kamar bertiga, bagaimana?”
“Tapi Bunda Lilik, ke mana mau ditaruh muka Kakanda?”
“Kanda lupa, ini kan fiksi … hihi.”
“Bolehlah dicoba kalau begitu. Puput berdoalah, keinginanmu dapat terkabul.”
Ting Tong Ting Tong
“Assalamu’alaikum Mentor. Sudah sampai Jakarta? Bagaimana perjalanannya nyaman, bukan. Terkadang jalan darat itu penuh resiko. sementara jalan laut, kita bisa istirahat. Pemandangannya pun bagus.”
“Waalikum salam, mas. Ini, Pujangga mau minta tolong lagi?”
“Oh, ya. Apa yang saya bisa bantu, Mentor? Insya Allah kalau saya bisa, akan saya bantu.”
“Kami pengin nginap di Hotel Acacia ….”
“Bagus itu. Hotel lama, tetapi pelayanannya oke. Di Lantai 10 kalau malam lapar, malas ke luar, ada restoran yang buka. Kalau mau sahur, bisa ke bawah. Di Jakarta kan nggak masalah kalau soal makan. Kalau macet, banjir baru masalah.”
”Maksud Pujangga, pengin minta tolong direserve emjeka. Satu kamar saja, pakai ekstra bed. Biarlah Puput nanti tidur di ekstra bed.”
“Oh begitu. Sebentar nanti saya kontak staf. Mentor bisa menunggu?”
“Insya Allah bisa, mas. Tapi sungguh, mohon maaf. Kalau merepotkan mas emjeka.”
“Astaghfirullah, ini kan fiksi Mentor. Kalau beneran dari kemarin, saya sudah bangkrut.”
“Terima kasih, mas. Mudah mudahan menjadi amal baik mas emjeka.”
“Amin.”
###
Putri Raisani pernah merasakan sensasi itu. Ya. Waktu itu, kalau tidak salah, pada saat Ayahanda ingin menjemput Putri Raisani berangkat ke Sumatra. Bahkan Tante Ming ada di mobil itu. Ya. Pemuda itu, tiba-tiba turun dari mobil, kemudian memandang Putri Raisani tanpa berkedip. Bahkan agak terkejut melihat Tante Ming ada di dalam mobil.
Pemuda itu, bahkan kelihatannya ingin mengejar mobil mereka. Putri Raisani ingin kembali merasakan sensasi itu. Siapa tahu itulah pemuda ganteng seperti dalam mimpinya d pantai Rupat.
“Jangan malam-malam ya Put. Walaupun Jakarta tak pernah kenal sepi. Tapi tetap tidak baik, kalau malam-malam seorang perempuan sendirian di halte. Nanti pasti diganggu orang juga. Masih ingat kunci kamar Puput. Kami di sebelah kamar Puput. Ada connecting doornya. Jangan ragu, kalau butuh pertolongan kami. Jaga diri baik-baik ya ananda!”
“Baik Ayahanda. Terima kasih telah mengabulkan permintaan Puput.”
“Bersyukurlah kepada Allah. Kapan kapan kamu sungkem sama emjeka, ya.”
“Insya Allah, ayahanda.”
Tiba-tiba sensasi itu muncul lagi. Putri Raisani komat kamit berdoa. Hanya kepada Allah semua bergantung. ‘Apakah dia akan datang secepat ini?’ Pikir Putri Raisani.
“Anak gadis, malam-malam kok duduk di sini?” Sepulang dari Jepang, Ki Difangir menyempatkan diri blusukan dan kebetulan melihat Putri Raisani di halte yang sama seperti saat pertama kali dulu dia melihatnya.
Putri Raisani terkejut. Ada seorang laki-laki lugu bicara padanya.
“Kamu dulu kan pernah dijemput mobil innova D 2103 PM. Mengapa sekarang malam malam masih duduk di sini?
Namamu siapa, Nona?” Tanya Ki Difangir Raja Kerajaan Matraman Raya.
Putri Raisani terkejut,’apakah ini pemuda lugu, yang menatapnya waktu itu. Kok dia tahu nomor plat mobilnya. Ya. Allah. Apakah dia jodoh Puput.’ Pikir Putri Raisani.
Putri Raisani dengan lembut menjawab:
”Putri Raisani. Panggilanku Puput.”
“Mengapa kamu malam-malam begini, masih duduk di halte?
Ayo kuantar pulang, nanti, ke dua orang tuamu mencari-cari baru tahu.
Pengawal bawa mobil ke sini cepat, Tadi aku naik Go-Jek.”
“Baik Paduka. Posisi Paduka sekarang di mana?”
“Masih tanya lagi. Bukannya kalian sudah dilengkapi sensor, sehingga dengan cepat dapat menemukan posisiku. Harus masuk dklat lagi kamu!”
“Ampun Paduka. Hamba segera meluncur.”
“Putri Raisani, buka puasa jam berapa tadi? Bagaimana kalau kita minum sebentar di Acacia. Nanti kalau pengawal saya datang. Saya antar Putri Raisani ke rumah orang tuamu.
“Pa … Paduka. Sebenarnya siapa?”
“Oh wilayah kerajaaan Matraman Raya ini, merupakan wilayah kekuasaanku.”
”Jadi Paduka Raja Difangir yang terkenal itu?”
“Terkenal apanya.”
“Paduka merupakan idola kalangan independen. Aksi Paduka sebagai Calon Independen telah mengguncang dunia.”
“Dunia apa? Paling paling dunia emjeka.
Hayo kita, minum dulu di cafe.”
Putri Raisani seperti kerbau dicocok hidungnya. Ikut saja, ke mana di bawa Raja Difangir.
Setelah mereka minum-minum. Nampak pengawal Raja Difangir telah tiba, tapi tidak berani mendekat. Namun tiba-tiba Ayahanda Pujangga Halim muncul. Putri Raisani bingung mau menjelaskan kepada Ayahanda, bagaimana semua ini terjadi.
“Puput. mengapa kamu duduk di sini. Kapan kamu kenal dengan Paduka Raja Difangir?”
“Mohon Paman Pujangga Halim tidak marah. Sesungguhnya Putri Raisani duduk di sini, karena saya yang mengajaknya.”
“Baik, tetapi karena hari sudah malam, Ayah minta, Puput patuh pada perintah Ayah. Kita istirahat dulu. Besuk masih ada waktu lagi. Bukan begitu Paduka?”
“Betul Paman Pujangga. Besuk masih ada waktu kita untuk bercerita banyak, Put.”
Putri Raisani tidak dapat berkata-kata selain mengikuti perintah Ayahandanya. Putri Raisani segera masuk ke kamarnya. Pujangga Halim pun lega.
Sampai di kamar ada WA dari Raja Difangir.
[Besuk pagi langsung ke Bandara. Kita ke Singapura via Batam. Kalau dari Jakarta, nanti ketahuan pejabat kerajaaan.]
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 270725
Views: 74