
Niki berlari dengan pakaian yang masih amburadul, sambil menarik Adi. Niki ingin menghindari Putri Selendang Biru yang mungkin saja dapat meringkusnya karena Niki pernah mendengar kesaktian Putri Selendang Biru sewaktu menjadi paskhas Miss Tami Zen. Sambil berlari Niki menengok ke arah belakang dengan maksud untuk memastikan dirinya dan Adi anaknya dari Raja Adi, sudah tidak terlihat oleh Putri Selendang Biru mau pun Miss Tami Zen.
Begitu Niki melihat Miss Tami Zen ternyata mengejar dirinya —walaupun masih jauh— Niki segera mempercepat larinya. Tanpa Niki sadari, karena dari sejak menengok ke belakang Niki tidak tahu kalau di depannya ada orang, Niki pun menabrak orang itu, hingga tubuh Niki dan orang itu jatuh terjengkang bersama-sama. Adi yang tadi digandeng Niki pun ikut terjatuh di dekat Niki dan orang yang ditabrak ibunya.
“Niki?” tiba-tiba orang yang jatuh terjengkang ditabrak Niki itu berseru.
Niki pun terkejut, namanya dipanggil orang yang ditabraknya. Sesaat Niki agak bingung, lalu ia memperhatikan orang yang ditabrak. Sungguh Niki terkejut, setelah tahu orang yang ditabraknya.
“GaZa?” teriak Niki.
“Niki,” seru GaZa.
Niki sering mengajak GaZa main petak umpet sewaktu menjadi Pelayan Utama Istana Kerajaan Matraman Raya. GaZa adalah Panglima Tertinggi yang badannya sekuat besi. Tiang bendera istana pun bisa bengkok kalau disruduk kepala GaZa. Namun, Niki dianggap GaZa sebagai kawan bermain di istana karena GaZa waktu itu masih anak-anak. Karena GaZa sakti mempunyai ajian Tameng Waja dan karena atas permintaan Putri Ming Nyamat, GaZa diangkat sebagai Pangti oleh Raja Adi.
“GaZa cepat bawa kami pergi dari sini. Sebelum kami ditangkap Putri Selendang Biru!” teriak Niki, sambil menggandeng Adi dan memeluk GaZa.
GaZa yang kebingungan karena ajian Tameng Wajanya hilang terkena pukulan Telapak Tangan Langit Raja Armanda, ia jadi tidak dapat berbuat banyak. Namun, GaZa masih memiliki ilmu ginkang yang tinggi. GaZa pun membawa Niki dan Adi melompat terbang menuju pertapaan ibundanya, Putri Ming Nyamat di Wanarejo.
Sementara Miss Tami Zen yang masih terengah-engah mengejar Niki dan Adi, begitu melihat Niki dan Adi dibawa pergi GaZa hanya dapat berdiri bengong.
“Kau terlambat lagi Ayu!” seru Miss Tami Zen, saat Putri Selendang Biru sampai di dekat dia berdiri.
“Maaf, Bunda. Ayu terlambat,” seru Ayu, yang sebetulnya memang tidak ingin menangkap Niki dan Adi. Ayu sengaja tidak mengejar Niki dan Adi dengan senjatanya Selendang Biru. Selendang Biru jika sudah digunakan oleh Ayu, bisa berupa senjata yang hebat dan dapat menjangkau sampai ke tempat sasaran yang jauh.
“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Sebaiknya kita segera pulang ke Kediri saja,” seru Miss Tami Zen.
“Baik, Bunda,” jawab Putri Selendang Biru, sambil menuju ke tempat parkir mobil mereka.
Sementara itu, tanpa Miss Tami Zen dan Putri Selendang ketahui, ternyata perjalanan mereka dilihat oleh Miss Kiara. Namun, karena Miss Kiara ingat kalau Ki Ageng Batman ingin berbulan madu sampai lama di situ, Miss Kiara pun tidak ingin dirinya diketahui oleh Miss Tami Zen dan Putri Selendang Biru.
‘Mengganggu kenyamanan saja,’ pikir Miss Kiara. ‘Aku harus taat dan patuh kepada Ki Ageng Batman. Saat ini kami sedang bulan madu. Urusan lain nanti dulu.’ Miss Kiara membatin.
***
“Tapi kok balihonya aneh, ya, Tante Raisa,” seru Wahyudi, yang akhirnya ikut memperhatikan baliho pengumuman pesta pernikahan Danang, Sayidin Panotogomo Raja Kerajaan Matraman Raya itu dengan Dewi Anya.
“Betul juga, kamu Wahyudi. Sejak kapan Danang mempunyai permaisuri? Lagian kok gambarnya buram, hanya namanya saja yang tampak, Nyi Ronggeng,” seru Putri Raisa, agak menyesali ulah Danang yang menikah tanpa seizinnya.
“Jilbabnya Dewi Anya calon selir Danang, juga tidak menutup kepala dengan benar. Masih ada rambutnya yang tampak,” seru Wahyudi.
“Ayolah, kita pergi ke pesta Danang, Bunda lapar, Putri Raisa.” Tiba-tiba Putri Biyan ikut bersuara.
“Baik, Bunda,” jawab Putri Raisa.
Saat Putri Raisa dan rombongan menemukan tempat pesta Danang, ternyata tempat duduk antara tamu pria dan wanita dipisah, sehingga Wahyudi duduk di antara tamu pria, sedangkan Putri Raisa dan Putri Biyan duduk di antara tamu wanita. Putri Biyan yang sudah tidak mampu menahan lapar, langsung mengambil antrian di tempat konsumsi.
Sementara Putri Raisa memandang ke pelaminan, untuk meyakinkan diri, bahwa si pengantin lelaki memang Danang, Sayidin Panotogomo Raja Kerajaan Matraman Raya. Karena ruang pendopo Ki Lurah Brewok sangat besar, maka Danang yang berpakaian adat Jawa pun tidak begitu jelas wajahnya dari jauh.
Adapun Wahyudi tanpa basa-basi, juga langsung mengikuti keinginan ibundanya, mendekati antrian konsumsi di tempat duduk pria. Wahyudi makan dengan lahap dan cepat menyelesaikannya. Setelah selesai makan Wahyudi mencoba bertanya kepada tamu di sebelahnya.
“Siapa sebetulnya pengantin lelaki itu?” tanya Wahyudi.
“Entah, ya mas. Kata pak Lurah Brewok, beliau itu Danang, Sayidin Panotogomo Raja Kerajaan Matraman Raya. Makanya putri tunggal Lurah Brewok yang menjadi kembang desa ini, langsung diberikan sebagai selir Raja, begitu diminta,” kata tamu di sebelah Wahyudi.
“Tapi maaf, Mas, jangan banyak bertanya, nanti terkena uut ite,” tambahnya.
Sesaat Wahyudi agak bingung dengan yang dikatakan oleh tamu di sebelahnya. Namun kebingungan Wahyudi tidak berlangsung lama. Rasa bingung Wahyudi berubah menjadi kaget. Karena tiba-tiba terdengar suara dengan nada keras muncul di luar pendopo.
“Danang! Katakan di mana Abu Arang!” seru Raja Slamet.
Rupanya Raja Slamet yang berkeliling di pantai Selatan Jawa, setibanya di Pacitan melihat juga baliho pengumuman pesta pernikahan Danang. Tentu saja Raja Slamet berharap Danang dapat memberitahu keberadaan Abu Arang. Karena saat Abu Arang menghilang, Abu Arang juga bersama Danang dan Bagus Tinukur.
‘Kalau Danang bisa selamat karena sekarang sedang mengadakan pesta pernikahan, tentu saja Abu Arang juga selamat,’ pikir Raja Slamet. ‘Tetapi jika Abu Arang tidak selamat, tatapi Danang selamat, bisa jadi Danang mencelakai Abu Arang,’ lamun Raja Slamet.
Mendengar teriakan keras Raja Slamet, para tamu undangan pun pada kaget dan sebagian berhamburan ke luar pendopo dari pintu samping. Danang yang masih duduk di pelaminan, juga terkejut dengan pertanyaan Raja Slamet. Karena dirinya, tidak mengetahui keberadaan Abu Arang dan Bagus Tinukur.
“Selamat datang, Paman Raja Slamet. Silahkan duduk dahulu. Nanti kita bicarakan lagi soal Abu Arang,” seru Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya.
“Jangan banyak bicara Danang. Cepat katakan di mana, Abu Arang berada?” teriak Raja Slamet yang tidak lagi menghiraukan sopan santun kepada raja karena cemas akan nasib putra kandungnya dengan Miss Tami Zen, Abu Arang.
“Paman Raja Slamet, jujur Danang tidak mengetahui tempat Abu Arang berada,” jawab Danang tegas.
“Apa kaubilang?! Kau sengaja mencelakai Abu Arang, bukan?!” teriak Raja Slamet.
Setelah itu Raja Slamet lalu mengerahkan Ajian Seribu Bulan, maksud Raja Slamet hanyalah untuk membuat agar Danang mau membuka mulut, memberitahu Abu Arang berada. Namun pada saat Raja Slamet ajian Seribu Bulan sudah akan dipukulkan kepada Danang, tiba-tiba terdengar bunyi-bunyian dari gua Stalagtit dan Stalagmit dengan irama ‘Lesung Jumengglung’.
Rupanya Danang waspada terhadap tindakan Raja Slamet yang akan menyerangnya lalu Danang mencoba memecah konsentrasi Raja Slamet dengan terlebih dulu mengeluarkan ajian ‘Lesung Jumengglung’ yang mampu membuat suara musik yang dapat memekakkan telinga Raja Slamet. Tak dapat dielakkan pertempuran Punung pun terjadilah.
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 220925
Views: 6