
“Paduka Baginda Raja Armanda, hamba Bondan Kaja menghadap,” sapa Ustaz Bondan Kaja saat menemui Baginda Raja Armanda di Dieng Plato. Baginda Raja Armanda adalah ayahanda Putri Biyan. Raja Armanda menyerahkan tahta kerajaan kepada Ki Difangir, suami pertama Putri Biyan. Saat ini Raja Armanda berdiam di Dieng Plato sambil menyepi, bersama istri kedaunya —Bunda Fitri. Adapun permaisuri Raja Armanda adalah Putri Ming Nyamat yang setelah lama berpisah dengan Raja Armanda lalu menikah dengan Raja Difangir. Saat itu Putri Biyan sedang jengkel dengan Ki Difangir, lalu Putri Biyan meninggalkan istana.
Raja Armanda tinggal bersama Bunda Fitri, ibundanya Putri Biyan.
Namun pada suatu hari, datang Putri Pambayun ke Dieng Plato membawa surat wasiat dari Ki Tabuh Rasa, ayahanda Putri Pambayun.
Sebelum Ki Tabuh Rasa meninggal, Putri Pembayun diberi surat wasiat yang isinya menitipkan Putri Pambayun kepada Raja Armanda, abang tirinya. Putri Pambayun sebetulnya dapat saja menjadi pewaris tahta Kerajaan Matraman Raya, jika dia menuntut karena Putri Pambayun masih tergolong cucu Kondolangit, ayahanda Baginda Raja Armanda.
Namun kelihatannya Putri Pambayun lebih memilih tinggal bersama Raja Armanda di Dieng Plato.
“Alhamdulillah, Ustaz Bondan Kaja, berkenan berkunjung ke Dieng Palto,” sapa Raja Armanda.
“Pambayun, apakah telur asin oleh-oleh dari Ki Koh Agil, masih ada? Ini ada tamu penting yang datang dari jauh,” seru Raja Armanda kepada Putri Pembayun.
“Memang ada urusan penting apa, dia dari jauh datang ke sini, Paman?” balas Putri Pambayun.
“Husss. Kau tidak boleh begitu dengan tamu. Setiap tamu harus kita hormati. Kalau dari jauh sampai datang ke sini, pasti ada urusan penting,” seru Raja Armanda.
“Tapi dari tadi, Pambayun perhatikan, tamu ini lebih banyak istigfar, Paman. Jadi urusan pentingnya apa?” tambah Putri Pambayun.
“Nah, kau sudah mulai ikut masuk ke dalam materi pembicaraan. Itu tidak sopan, Putri. Ingat Ustaz Bondan Kaja itu, tamu pamanmu!” seru Raja Armanda.
“Wah, apalagi dia ustaz. Ustaz kok datang menemui Paman. Lalu apa urusan pentingnya, Paman?” tambah Putri Pambayun.
“Telur asin Pambayun. Itu tugasmu!” sergah Raja Armanda.
“Betul, Baginda. Hamba datang ke sini memang ingin mohon petunjuk.” Tiba-tiba Ustaz Bondan Kaja menyebutkan tujuan kedatangannya.
“Nah. Itu salah pula. Ustaz kok datang minta petunjuk kepada Paman!” seru Putri Pambayun.
“Pambayun, kau bisa dengar omongan pamanmu, nggak?” seru Raja Armanda.
“Betul, Baginda. Hamba mohon maaf. Kedatangan hamba adalah untuk mohon petunjuk Baginda. Anak hamba Danang, Sayidin Panotogomo, Raja Kerajaan Matraman Raya, Bagus Tinukur anak adinda Bejo Cinekel dan Abu Arang, anak Tuan Raja Slamet … mereka bertiga hilang terlempar ke udara,” seru Ustaz Bondan Kaja khawatir pembicaraannya dipotong lagi oleh Putri Pambayun.
“Weleh-weleh. Aneh bin ajaib Ustaz ini. Ada anak hilang kok minta petunjuk kepada Paman Raja!” celoteh Putri Pambayun.
“Astagfirullah,” seru Baginda Raja Armanda.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Ustaz?” tanya Baginda kemudian.
Ustaz Bondan Kaja pun menceritakan dengan detail dari awal, mulai saat mengajar mengaji tiga pemuda itu hingga saat dia ditugaskan Raja Slamet untuk meminta petunjuk ke Baginda Raja Armanda.
“Untuk itulah, kedatangan hamba kemari, Baginda,” tutur Ustaz Bondan Kaja.
“Mana ada orang terlempar di udara, kok bisa hilang!” seru Putri Pambayun. Rupanya dari tadi Putri Pambayun diam-diam mengikuti terus pembicaraan ustaz Bondan Kaja dengan Pamannya, Baginda Raja Armanda.
“Astagfirullah. Pambayun!” seru Baginda Raja Armanda.
“Begini Ustaz, mari kita bersama berdoa kepada Allah, semoga ketiga pemuda itu dapat segera diketahui keberadaannya,” kata Baginda Raja Armanda.
“Paman, jangan mencoba menjadi dukun, ya. Banyak orang berkonsultasi kepada Paman mengenai jalan kehidupan. Jalan kebenaran, tetapi bukan tempat bertanya tentang orang hilang!” seru Putri Pambayun.
“Mohon maaf, Baginda, atas kekhilafan hamba. Hamba hanya sekedar menjalankan perintah Raja Slamet,” tutur Ustaz Bondan Kaja.
“Nah, apalagi seorang ustaz kok mau maunya diperintah orang lain. Ustaz kok diperintah orang yang tidak jelas perintahnya, kok ya mau,” tambah Putri Pambayun.
“Astagfirullah. Ustaz silakan istirahat dulu. Nanti kita bersama-sama berdoa kepada Allah untuk memohon ampun dan memberikan jalan yang terbaik kepada ketiga pemuda itu. Insya Allah. Aamiin,” seru Baginda Raja Armanda.
***
“GaZa, apa saja kerja temanmu dari Matraman Raya itu?” tanya Putri Ming.
“Mereka istirahat saja, Bunda,” jawab GaZa.
“Berbulan istirahat saja! Coba bawa mereka ke sini!” seru Putri Ming.
GaZa pun membawa Niki dan anaknya, Adi, menghadap Putri Ming. Saat Gaza membawa Niki dan Adi itulah Putri Ming terkejut.
“Adi!” teriak Putri Ming Nyamat seolah tidak percaya melihat pemuda yang bersama GaZa itu wajahnya mirip dengan Adi. Adi yang merasa namanya dipanggil, lalu melihat ke arah Putri Ming Nyamat. Adi kaget melihat keadaan Putri Ming Nyamat yang sedang duduk bertapa tanpa sehelai benang pun. Tubuh Putri Ming Nyamat berkilau, putih seperti batu pualam. Beda jauh dengan tubuh Niki ibunya.
Putri Ming Nyamat yang melihat pandangan kurang ajar Adi itu pun lalu marah dan segera melemparkan jarum dari bagian bawah tubuh yang tidak boleh terlihat oleh kaum pria, tetapi hanya ke arah perut Adi, mengingat Adi sangat mirip dengan wajah Raja Adi. Kontan Adi merasa kesakitan perutnya bagian bawah.
Walaupun terjadi keanehan, karena jarum yang dilemparkan oleh Putri Ming Nyamat berjatuhan. Tanpa seorang pun yang menyadari, tiba-tiba atap pondok pertapaan yang didesain dapat terbuka dengan tenaga listrik, yang sering dibuka tutup oleh GaZa karena perintah Putri Ming Nyamat terbuka sedikit.
Sementara Adi menutup perut dengan kedua tangan untuk menahan rasa sakit di bagian bawah perutnya. Lalu Adi pun berteriak memanggil ibunya.
“Ibu, Adi haus!” Sambil masih memegangi perut dengan kedua tangannya.
Niki yang tidak jauh dari Adi, segera datang dan memeluk Adi, lalu membawa Adi menuju kamarnya kembali sambil memeluk Adi di dadanya.
“Manusia tidak berguna!” seru Putri Ming Nyamat.
Namun, kemudian Putri Ming Nyamat terkejut, karena merasa ada udara segar dari atap yang berembus masuk ke tempat itu.
“GaZa! Mengapa kau buka atap, tanpa perintahku!” teriak Putri Ming Nyamat.
GaZa diam saja, karena tidak tahu apa yang terjadi.
oleh: MJK, jurnalis PJMI.
*mjkr/ pjmi/ wi/ nf/ 220925
Views: 13