
Jakarta, 16 Juni – Sebagai lanjutan dari acara diskusi via Zoom bertema “Indonesia Bukan Hanya Tambang: Dari Raja Ampat ke Konawe Sulawesi Tenggara”, pada Jumat (13/6), Direktur Green Press Indonesia IGG Maha Adi menyampaikan beberapa pandangan tentang pengelolaan lingkungan di sektor industri ekstraktif.
Menurut Maha Adi, praktik industri ekstraktif terutama pertambagan mineral di Indonesia sudah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat. tetapi masih beberapa langkah di belakang praktik terbaik di sektor ini. Apa yang dilalukan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan mengesahkan UU No.2/2025 sebagai perubahan keempat kalinya atas UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), merupakan langkah maju dan lebih tegas. Dalam beleid baru ini, pemerintah telah mewajibkan adanya dana jaminan reklamasi sesuai bunyi Pasal 100 dan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) yang diatur dalam Pasal 108 untuk setiap pemegang izin usaha tambang, “Tetapi ini masih belum cukup dan konflik sosial berpotensi muncul terus di masa mendatang,” katanya.
Greenpress Indonesia menilai praktik pertambangan terbaik yang telah dilakukan di beberapa konsesi tambang dunia sudah beberapa langkah lebih maju karena mengimplementasikan dua prinsip lainnya, yaitu First Prior Informed Consent (FPIC) sebelum operasi pertambagan, dan adanya kewajiban alokasi Environmental Emergency Fund (EEF) sebagai wujud pertambangan yang bertanggung jawab.
Di Indonesia, FPIC diterjemahkan sebagai Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa), yaitu proses yang menjamin hak masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk memberikan atau menolak persetujuan mereka atas tindakan yang dapat mempengaruhi tanah, wilayah, atau sumber daya mereka. Prinsip prinsip di dalam FPIC telah dilaksanakan di berbagai lokasi tambang di dunia, misalnya di tambang batu bara Cerèrjon di Kolombia dan tambang emas Merian di Suriname (dalam infografis). Program pengurangan emisi karbon hutan (REDD) di Indonesia juga telah menerapkan serupa. “Padiatapa menjamin semua suara masyarakat lokal yang akan terdampak atas sebuah proyek, didengarkan dan dilaksanakan termasuk jika mereka menolak tambang itu,”kata Adi.
Proses Padiatapa harus dilaksanakan sebelum operasi pertambangan dimulai dan ketika ada perubahan rencana produksi, misalnya memperluas wilayah konsesi. Dalam FPIC, umumnya juga dibahas komitmen perusahaan untuk penyediaan lapangan kerja, penghormatan adat istiadat setempat dan lain lain yang dianggap penting masyarakat.
Kewajiban lain adalah penyediaan Dana Darurat Lingkungan (EEF) yang bertujuan memastikan adaya pemulihan lingkungan secara cepat ketika terjadi bencana yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Dana ini menjadi dana siaga bencana lingkungan di industri pertambangan yang dapat dikeluarkan dengan cepat dan harus ditempatkan dalam rekening dana ketiga atau escrow account yang penggunaannya diawasi oleh masyarakat atau wakil mereka, perusahaan, dan pemerintah. “Tidak boleh dana ini masuk rekening pemerintah atau perusahaan, karena rawan disalahgunakan,” kata Adi. Contoh pemakaian dana darurat ini antara lain saat bencana runtuhnya bendungan Samarco di Brasil dan tumpanhan kolam tailing di Mount Polley, Kanada.
Adi juga meminta pemerintah Indonesia hendaknya tidak terlalu lunak terhadap investor tambang dari luar maupun dalam negeri hanya demi menggaet investasi. Ia meminta pemerintah Indonesia lebih jujur melihat keberhasilan penerapan Padiatapa dan dana dararut lingkugan ini. “Lihat kasus di Kolombia yang konsesisnya dimiiliki investor besar dunia yaitu Glencore, dan di sana mereka mematuhi FPIC,”katanya. Dia juga menyebut kasus tambang emas Merian yang dimiliki Alcoa dari Amerika Serikat, kasus bendungan Samarco milik Vale dan BHP Biliton, di mana dua perusahaan ini yang juga punya tambang di Indonesia. “Jadi kalau dua prinsip ini belum diterapkan, jangan heran kasus seperti Raja Ampat terulang terus,”katanya.
Ia juga mencontohkan bahwa di Indonesia, dana serupa itu pernah dialokasikan oleh Newmont Minahasa Raya yakni sebesar $15 juta di tahun 2006 sebagai dana lingkungan pascapenutupan tambang. Jadi, jika ada yang mengatakan aturan yang lebih ketat seperti FPIC dan komitmen dana darurat lingkungan itu bisa membuat investor lari, adalah tak berdasar dan alasan yang dicari-cari,”ungkapya
*maaz/ pjmi/ wi/ nf/ 160625
Views: 13