Haramkah Melakukan Hal yang Belum Pernah Dilakukan Nabi

Posted by : wartaidaman 14/06/2025

 

WARTAIDAMAN.com   

 

 

Dr.H.M.Suaidi,M.Ag.

 

Dalam kitab al mustaia tentang definisi haram :

الحرام هو ما طلب الشارع تركه على وجه الحتم والإلزام

Haram ialah perintah Syari’ untuk meninggalkan suatu hal dalam bentuk penekanan dan keharusan.

Imam Baidhowi dalam Minhajul wusul mendefinisikan:

ما يذم شرعًا فاعله

Segala hal yang dalam syariat dihukum mereka yang melakukannya

Dari ta’rif ini para ulama menambahkan redaksi lain menjadi: segala hal dalam syariat yang apabila ditinggalkan mendapatkan ganjaran dan bila dilakukan berdosa.

Lafadz yang secara eksplisit menyebutkan kata haram diantaranya.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al Baqorah: 275)

Redaksi larangan. karena menurut ulama ushul, pelarangan itu bermakna pengharaman.

وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (Al An’am 152)

Perintah menjauhi sebuah perkara.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)

Penggunaan kata Tidak dihalalkan.

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Al Baqoroh: 230)

Kalimat yang mengandung konsekuensi ancaman hukuman atas sebuah perbuatan yang dilakukan.

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (An Nur: 4)

Segala redaksi yang bermakna pelarangan dengan lafadz yang keras

Misalnya laknat Allah, Allah memurkai, memasukkan pelakunya ke golongan kafir, fasiq, dzholim, dll.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Al Maidah: 44)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Dari Abdullah bin Umar berkata: Rasulullah SAW Bersabda: Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap (HR. Ibnu Majah: 2313)

cara ulama ushul mengidentifikasi hukum haram melalui dalil nusus tersebut, tidak kita temukan satupun tanda-tanda yang menerangkan bahwa yang tidak pernah dilakukan oleh nabi kemudian jika kita lakukan menjadi haram

Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, segala hal yang tidak tertera dalam nushus baik itu Quran ataupun Sunnah, bisa saja menjadi legal atau masyru’ dengan pertimbangan lain yang juga menjadi landasan dalam menarik kesimpulan hukum taklif yang lima. Bisa melalui maslahat mursalah, adat masyarakat luas, madzhab shahabi, dan lain-lain. Jadi tidak semena-mena kita langsung katakan bahwa yang dulu tidak dilakukan nabi menjadi haram bila dilakukan.

Dalam kitab Al-Muwafaqot, Imam As-Syatibhi menuliskan bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu perkara itu karena ada beberapa hal yang melatar belakanginya:

Karena beliau secara pribadi kurang menyukainya, tapi tetap dibolehkan bagi umatnya melakukan hal tersebut. Seperti ketika beliau menolak saat ditawarkan makan dhabb (sejenis daging kadal). Namun sahabat tetap diperbolehkan memakannya.

karena at-tarku atau hal yang ditinggalkan oleh nabi mengandung banyak kemungkinan, maka muncullah kaidah ushuliyah dalam kitab muwafaqot juga:

والدليل إذا تطرق إليه الاحتمال سقط منه الاستدلال

Kalau suatu dalil punya banyak kemungkinan (multi interpretasi), maka tidak bisa dijadikan alat berdalil

Begitu pula dalam kitab min ushulil fiqh ‘ala manhaji ahlil hadits” karangan Syeikh Zakariya bin Ghulam Qodir al Pakistani, beliau menulis sebuah kaidah:

ما أصله مباح وتركه النبي صلى الله عليه وسلم لا يدل تركه له على أنه واجب علينا تركه

Segala hal yang asalnya adalah mubah dan kemudian Nabi SAW meninggalkannya, tidak bermakna bahwa perihal meninggalkan tersebut wajib kita ikuti.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa yang ditinggalkan nabi suatu saat memang bisa menjadi sunnah dan bila dilakukan berkonsekuensi berdosa yakni apabila memang ada dalil khusus yang menjadi pelarangannya dan tidak ada dalil atas kebolehannya sama sekali walaupun berkonotasi umum.

 

 

*anwi/ pjmi/ wi/ nf/ 140625

Views: 64

RELATED POSTS
FOLLOW US

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *